Menyemai Kemajemukan dan Pluralitas Di Sekolah

982
pluralitas
Sumber Foto www.background.id

Polarisasi masyarakat dalam konteks pemahaman agama berpotensi merenggangkan kerekatan sosial yang telah lama dibangun di atas pondasi pluralitas. Pesta demokrasi (Pileg, Pilpres, dan Pilkada) yang diharapkan mampu mendewasakan warga bangsa, tak jarang justru berdampak buruk. Ia menyisakan residu politik yang merentangkan jarak antar kelompok yang disebut oleh Iwan Pranoto sebagai perbedaan biner, benar-salah, hitam-putih.

Perselisihan yang timbul tentu bukan karena pesta demokrasinya, oknum politisi yang membawa agama sebagai komoditas dalam gelanggang kompetisi elektoral, turut menyumbang keriuhan akibat pertentangan pendapat dalam memahami ajaran agama.

Baca juga: Jalan Terjal Pendidikan Keragaman di Indonesia.

Cara pandang fundamentalis yang cenderung dikotomis kerap menjadi sumber persoalan. Cara pikir ini tendensius. Ia melahirkan kelompok yang tak segan keras dan kasar terhadap kelompok lain yang tak sepaham. Bahayanya, jika nalar halal-haram ini melekat pada oknum politisi yang kebetulan punya kans besar menjadi anggota parlemen daerah atau kepala daerah. Lahirnya kebijakan eksklusif melalui perda-perda syariah dan turunannya merupakan fakta bahwa model berpikir sesat-selamat ini diterapkan.

Kebijakan yang Melanggar Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan

Kebijakan mewajibkan memakai jilbab di sekolah negeri adalah salah satu contohnya. Kebijakan ini secara terang melanggar prinsip penyelenggaraan pendidikan. Pasalnya, sekolah negeri merupakan kepanjangan tangan negara dalam melayani seluruh masyarakat tanpa kecuali untuk mengakses pendidikan. Apa pun latar belakang agama, suku, atau keyakinan kepercayaannya, semua berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam layanan pendidikan.

Layanan itu salah satunya adalah peserta didik, guru, tenaga kependidikan dan semua steakholder sekolah berhak mengekspresikan cara berpakaian berjilbab atau tidak berjilbab, selama dalam koridor kesantunan. Jilbab, meski secara global bukanlah pakaian kekhususan keagamaan, tapi di Indonesia jilbab telah menjadi penanda identitas keagamaan.

Meski pula, dalam Islam sendiri terdapat perbedaan memaknai jilbab sebagai kewajiban atau hanya sebatas produk budaya terkait kenyamanan dan kepantasan diri. Maka, jika dalam lingkup agama yang sama saja berbeda memaknai, yang berarti tak boleh memaksakan, apalagi terhadap penganut agama lain.

Konteks pemaksaan itulah yang melanggar prinsip penyelenggaraan pendidikan. Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pasal 4 ayat 1 mengamanatkan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Mewajibkan atau melarang peserta didik berjilbab jelas tidak sesuai dengan semangat prinsip penyelenggaraan pendidikan seperti terbaca pada Undang-undang tersebut.

Misedukasi

Kebijakan wajib berjilbab yang dialami siswa di Padang memperburuk wajah pendidikan kita. Alih-alih menyemai keragaman, melalui kebijakan eksklusif itu, pendidikan malah menafikan kemajemukan. Meminjam istilah yang digunakan Henny Supolo, jika kemajemukan telah absen sejak dalam pikiran, penerimaan atas perbedaan sulit diwujudkan.

Hasil belajar yang idealnya melahirkan sikap rendah hati, rasa empati dan mandiri berpikir, merupakan harapan kosong. Di alam bawah sadar, pemaksaan seperti itu akan membunuh nalar empati, menyuburkan mental pembenci.

SKB dan Tantangan Keragaman

SKB tiga menteri untuk menyikapi kebijakan wali kota Padang melalui dinas pendidikan daerah, perlu kita apresiasi. Dalam hal ini, negara hadir untuk melindungi hak warga negara yang punya kebebasan mengekspresikan keyakinan agamanya.

Ketika seseorang yang melakukan tindak kejahatan tak boleh dipersekusi, demikian saat orang mengekspresikan identitas keagamaannya melalui simbol pakaian. Menyeru orang yang seagama mengikuti pendapat yang kita yakini, sementara dia berbeda, itu saja tidak boleh. Apalagi menyuruh orang yang beda keyakinan untuk mengenakan simbol keagamaan kita. Ini sama saja kita mempersekusi kebebasan.

SKB tiga menteri memastikan itu, supaya jangan ada yang boleh semena-mena memaksakan kehendak, lebih khusus dalam hal beragama.

Di lain hal, SKB tiga menteri soal ekspresi seragam sekolah, sesungguhnya juga bermakna keprihatinan. Betapa upaya menguatkan kesadaran bahwa kita ini beragam (dan sudah sepatutnya saling menghargai) masih perlu perjuangan yang tak putus-putus.

Memastikan majemuk sejak dalam pikiran, dibutuhkan sekolah yang berisi para pendidik yang berpikiran terbuka dan merdeka. Tanpa itu, kasus mewajibkan seragam sekolah dengan kekhususan agama tertentu akan muncul kembali dalam bentuknya yang lain.

Penulis: Muhammad Dopir
(Guru Matematika SMP Al Fath BSD)