Menulis untuk Sebuah Harapan Kehidupan

1133
menulis
Photo by Thought Catalog on Unsplash

Ketika kau ingin menulis tapi tidak ada yang bisa kau tulis. Rasanya dalam gurun pasir di otakmu, kau tak akan pernah menemukan oase. Kau kepanasan, dehidrasi dan satu-satunya cara ialah merayakan kebodohanmu dengan tidur atau menari-nari sampai mati.

Padahal tiga jam lagi kalau kau tidak putus asa berjalan, kau akan menemukan sungai dengan air berlimpah. Bahkan kau bisa mandi. Kau juga menemukan ikan. Atau jika kau cukup pandai memotong beberapa batang pohon yang tumbuh di kanan dan kiri sungai, kau bisa menemukan perahu.

Analogi Mencari Inspirasi

Pergi ke hilir. Pergi ke kota, dimana kau bisa membaca, mengajak beberapa wanita untuk sekedar ngopi bersama, atau paling tidak kau tidak kepanasan. Itu pun kalau kau punya uang. Sayangnya kau tak punya uang. Dan kau masih terperangkap di tengah gurun, mengharap matahari segera menghilang. Mengharap kau benar-benar menemukan sungai.

Lima jam lalu sebenarnya kau memiliki pilihan, kau bisa membaca sebuah karya fiksi yang melatih imajinasi di otakmu atau cukup meluangkan waktu untuk menulis. Sayangnya, lagi-lagi kau memilih pergi bersama teman-temanmu.

Artikel terkait Menulis, lihat Memompa Ide Menulis.

Menghabiskan uang untuk membeli kopi. Sebungkus rokok. Dan dua ribu rupiah demi membayar parkir. Dan kau tak punya keinginan menulis. Bahkan saat kau paksa, hanya ada tiga kata di otakmu yang keluar, “Aku ingin pulang.”

Kenyataan yang Berlawanan dengan Keinginan

Ketika kau sungguh ingin menulis, rasanya sama saat kau sudah bosan menonton Drama Korea di laptopmu dan sekali saja kau ingin berpacaran dengan gadis secantik itu di dunia nyata, tapi kau tak punya pacar, kau tak punya uang.

Rasanya juga sama seperti saat kau lapar, sedang berada di sebuah restoran, tapi kau hanya bisa memesan segelas teh panas. Kenyataan memang kejam, saat kau tak terbiasa kejam dengan dirimu sendiri.

Harusnya kau pilih menulis sebelum keluar bersama teman-temanmu. Merangkai beberapa kata dalam selembar kertas virtual di laptopmu. Demi tiga lembar uang seratus ribuan yang dikirim perusahaanmu tiap kau meyelesaikan satu tulisan.

Tapi sudah sebulan ini kau tidak menulis. Sementara uang semakin habis. Dan kau selalu membuat pilihan yang salah, kemarin kau memilih begadang sampai pagi. Tiga hari lalu kau memilih tidur seharian.

Seminggu lalu kau malah pergi bersama gadis cantik yang kau dekati, meski kau tahu Ia tak sudi menjadi pacarmu. Jika hidup ini hanya soal untung dan rugi, maka kau selalu memilih selalu rugi.

Menulis Sebelum Uangmu Habis

Kau tahu kau harus menulis, sebelum uangmu benar-benar habis. Kau tak bisa bercanda, kau tak bisa menikmati kopi. Kau selalu gelisah meski dadamu sudah sesak hasil menghisap sebungkus rokok kretek. Kau ingin bergegas pulang.

Namun, kau bukan tipe orang yang berjalan sesuai dengan rencana. Kau senang berimprovisasi. Dan semesta mendukungmu. Seperti malam itu. Sepulang kau minum kopi bersama teman-temanmu. Di jalan raya depan warung kopi kau tertabrak mobil.

Kali ini rugi menghampirimu. Ia bukan lagi sekadar opsi. Di rumah sakit, setelah kau koma dua hari, kau mencari ponselmu. Inilah saat paling kritis dalam hidupmu. “Aku harus menulis, untuk sebuah Harapan Kehidupan”, pikirmu.

Penulis: Affix Mareta