Tingkat literasi bangsa Indonesia katanya rendah. Kalau yang dimaksud “literasi” itu sebatas kemampuan membaca dan menulis yo masak sih bisa rendah. Yang dimaksud membaca itu membaca apa dulu?
Apakah membaca Alquran, Injil, kitab kuning, sudah dihitung? Itu baru teks tertulis di kertas, belum lagi kalau teks yang dimaksud yaitu “semua hal yang bisa dibaca” maka hidup Anda merupakan teks yang tak putus-putus Anda baca hingga Anda meninggal.
Namun kalau yang dimaksud yaitu membaca buku ya memang rendah, lha wong buat membeli buku saja susah. Toh kenapa juga harus beli buku, sastrawan dan akademisi amat gemar menulis buku dengan bahasa yang tidak mudah dimengerti orang awam, terlalu banyak jargon yang tidak penting.
Menulis adalah Berkarya
Menulis? Menulis apa dulu? Jika menulis an sich, berarti akuntan, pengacara, penulis notulen rapat, kasir, pengantar paket, santri yang menulis di kitab gundul, tingkat menulisnya tinggi. Jika menulis juga bisa dimaknai sebagai berkarya, betapa banyaknya konten kreator di media sosial yang bisa Anda baca, dengar dan tonton tiap hari.
Namun kalau yang dimaksud menulis itu cuma jadi sastrawan dan akademisi ya mau sampai kapan tingkat literasinya bisa lebih baik, jika Pemerintah, lembaga kebudayaan dan kampus di Indonesia saja tidak berpihak pada penulis.
Justru apabila kita melihat fenomena media sosial, tingkat literasi bangsa Indonesia sudah naik level, bahwa kemampuan diskursus bangsa ini amat tinggi. Polemik baru selalu hadir setiap hari, dan Wikipedia, Google, serta situs-situs berita tidak berhenti dibaca, demi dan hanya demi bisa ikut berdebat dan bertukar pikiran.
Saking banyaknya polemik baru hingga tiap diskursus cuma bertahan paling mentok satu atau dua minggu. Hingga diskursus yang minggu lalu menjadi trending topic bisa dengan mudah dilupakan.
Fenomena ini bisa terwujud, didukung oleh media sosial yang gratis, kuota internet makin murah, emosi pada hidup yang tidak tersampaikan dan banyaknya generasi Zilenial maupun Milenial yang menganggur seperti saya, membuat bangsa ini gemar mengomentari hal-hal yang tidak seharusnya dikomentari.
Baca juga: Menulis untuk Sebuah Harapan Kehidupan
Memantik Polemik
Misalnya di sekitar rumah saya banyak orang di pinggir jalan yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid. Bisa saja hal ini menjadi polemik yang diangkat di media sosial, tinggal foto lalu diberi komentar “Apakah Islam mengajarkan mengemis?”, lalu klik tombol “upload”. Wah tentu bisa ramai.
Tapi apa ya hal seperti ini harus dikomentari semua orang, kan tidak. Perkara agama seperti di atas yang bisa komentar ya Gus Mus, Gus Baha, pengurus PBNU, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan warga di sekitar masjid yang membutuhkan masjid yang lebih mewah.
Sementara saya yang jarang ke masjid (paling mentok seminggu sekali) sangat tidak paham alasan meminta sumbangan masjid di jalan dan memilih tidak berkomentar. Apalagi saya ikut nyumbang saja tidak.
Jika Tidak Tahu, Lebih Baik Diam
Saya memilih menghindari perkara yang menyangkut ketuhanan, agama, politik, dan yang tidak dekat dengan saya, karena tidak saya ketahui atau tidak saya pahami seluk beluknya. Saya sebagai orang Jawa yang percaya klenik masih takut kualat. Makanya saya acungi jempol kalau ada orang yang mengangkat (bahkan mengkampanyekan) bahan diskursus seperti “child free dalam islam”.
Kok ya berani-beraninya gitu lho, apa tidak memikirkan perasaan orang yang sudah bertahun-tahun susah payah bikin anak tapi tetap belum dikaruniai anak juga. Diskursus LGBT juga saya mending diam, wong kalau saya dilahirkan kembali dengan memiliki keraguan gender apalagi kelainan alat kelamin atau kelainan hormon juga saya tidak mau.
Hidup LGBT sudah berat karena masih direndahkan dan sering mendapat diskriminasi. Sudahlah didoakan saja, ditemani saja, diberi hak asasinya sebagai sesama anak bangsa, lembaganya didukung, asal tidak terlalu masif mengkampanyekan LGBT karena mayoritas bangsa Indonesia masih kontra.
Saya komentar begini saja masih bisa diributkan, lho. Toh nanti kalau ada orang yang merasa ragu dan ingin jadi LGBT ya mencari komunitasnya sendiri, kok.
Berbeda dengan perkara-perkara di atas, saya berani berkomentar jika menyangkut polemik di bidang IT, bidang sastra, bidang game, yang memang saya tahu seluk beluknya dan setiap hari bekerja serta mempelajari bidang-bidang tersebut.
Namun berani juga belum tentu aktif berpendapat. Belum tentu semua diskursus berbau IT saya ikuti. Bidang IT itu amat luas, dan makin paham Anda tentang suatu hal, makin Anda yakin bahwa Anda sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Menghargai Sekitar
Nah, jika kita kembali ke tingkat literasi di Indonesia, tingkat literasi kita tinggi tapi kita tidak memiliki maupun menghargai budaya “paham”. Kita tidak dibiasakan memahami sesuatu dari kecil, cukup “tahu” saja, tidak perlu “nglothok”.
Budaya kita budaya kritis, asal sering bertanya itu sudah cukup, asal sering bercakap, berdebat, berdiskusi sudah cukup, asal bisa merebut hati atasan di kantor itu sudah amat cukup menjamin gaji Anda, asal cerdas tawar menawar dengan klien, hidup Anda sudah cukup.
Sebenarnya kalau Anda mengaku ahli bidang sales, tidak masalah, tapi biasanya Anda mengaku sebagai ahli di bidang konstruksi bangunan, digital marketing, konsultan IT, dan bidang lain yang bahkan tidak pernah Anda pelajari.
Terdidik dan Terlatih
Dan “paham” biasanya kita serahkan pada orang-orang yang kita anggap benar-benar paham. Kontrak pembuatan video animasi misalnya, kita subkontrak ke mahasiswa seni atau DKV.
Pencetakan kaos, kita subkontrak ke percetakan lain di Kota lain yang hasilnya lebih bagus. Dan anehnya lagi, orang-orang yang beneran “paham” ini karena sudah dididik dari kecil bahwa menjadi “paham” itu tidak terlalu penting, mau-mau saja dibayar murah.
Ini merupakan akibat dari pendidikan “sistem bank” (baca Paulo Freire: Pendidikan orang tertindas) di Indonesia yang cuma mencetak sales dan pelobi, selain itu ya cuma budak korporat dan buruh-buruh.
Jika ada siswa berprestasi, sekolah di luar negeri, masuk perusahaan top Indonesia atau BUMN, ya tetap tidak bisa berjaya kalau tidak bisa melobi petinggi perusahaan, akhirnya cuma jadi budak. Cuma bisa “iya, pak”, “iya, bu”. Softskill berkomunikasi dan lobi memang penting tapi ketahuilah skill utama Anda juga tidak kalah penting.
Skill utama yang butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar Anda pahami. Lebih dari sekadar budaya membaca dan menulis. Dan tidak peduli jika tidak mendapat penghargaan apapun, dan apapun yang terjadi Anda lebih memilih diam.
Penulis: Affix Mareta
(Dosen Informatika Universitas Bunda Mulia)