Oleh: Syakir NF
(Santri Milenial)
Bulan Ramadan merupakan bulan suci, di mana tidurnya saja terhitung ibadah. Tapi, bukan berarti hal tersebut mengafirmasi kita untuk memperbanyak tidur selama bulan tersebut. Tidak gitu juga, Ferguso. Justru, jika tidurnya pun dianggap ibadah, apalagi belajar, terlebih mengaji, dan hal positif lainnya. Pasti pahalanya berlipat-lipat.
Karenanya, para santri dan masyarakat di pesantren selama Ramadhan hampir tak punya waktu untuk rebahan. Sepanjang waktu di setiap harinya dihabiskan untuk mengaji.
Saya ingin bercerita pengalaman seorang santri yang hampir 24 jam penuh memanfaatkan waktunya untuk belajar. Selepas sahur, dia langsung bersiap menuju masjid untuk berjamaah Subuh. Selepas berjamaah, dia menuju rumah seorang kiai yang ahli di bidang Al-Qur’an. Tentu saja kepadanya dia mengaji Al-Qur’an. Tetapi bukan seperti yang biasa didengar. Kali itu, dia sudah mengaji salah satu riwayat lain dari 14 riwayat bacaan Al-Qur’an yang sahih.
Ya, sebagaimana mazhab dalam berfiqih, bacaan Al-Qur’an juga ada mazhabnya. Nabi Muhammad SAW. sendiri dalam suatu hadisnya menyatakaan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh macam bacaan. Karenanya, dikenal dengan istilah Qiraat Sab’ah, tujuh bacaan. Dari setiap qiraat, terdapat dua riwayat. Jadi, ada 14 riwayat yang sahih.
Bacaan Al-Qur’an pada umumnya mengambil riwayat Hafsh dari qiraat ‘Ashim. Kali itu, dia mengambil riwayat Warsy dari Nafi’. Banyak perbedaan bacaan di antara keduanya, seperti banyaknya imalah, adanya taqlil, ibdal, tashil, dan sebagainya. Biasanya, pengajian tersebut selesai sekitar pukul 7 hingga setengah 8 pagi. Barulah, dia bisa tidur. dia tidak berangkat sekolah seperti rekan-rekannya karena sudah lulus di tahun yang sama.
Saat dzuhur tiba, ia bangun. Lalu, berangkat mengaji kepada salah satu kiai yang menamatkan studi doktoralnya di bidang tafsir. Kiai tersebut melanjutkan kakaknya dan abahnya untuk membuka pengajian kitab Tafsir Jalalain. Dia pun mengaji kitab tafsir karya dua ulama terkemuka itu hingga menjelang waktu asar.
Lepas asar, dia langsung melanjutkan ngajinya lagi kepada kiai yang membuka pengajian di waktu tersebut sembari menanti waktu buka tiba. Sebelum tiba di pondok, azan Maghrib lebih dulu berkumandang. Dia pun berbuka dan berjamaah Maghrib dengan santri lainnya. Sembari menanti Isya, biasanya santri mendaras Al-Qur’an. Lalu, kembali berjamaah shalat isya dan tarawih.
Setelah tarawih, kembali dia mengaji kepada kiai yang membuka pengajian di waktu tersebut. Saat itu, dia mengaji kitab Daqaiq al-Akhbar. Terkadang, pengajian selesai sekitar pukul 10 malam. Di jam tersebut, ada juga kiai yang baru membuka pengajiannya. Maka, dia pun mengejar pengajian itu hingga berakhir sekitar tengah malam.
Tak cukup sampai di situ, dia pun kembali mengaji kitab Tafsir Jalalain pada pukul 01.00 hingga menjelang waktu sahur. Pengajian tersebut dilakukan dua kali dalam sehari. Dalam pengumuman di mading dan beberapa tembok di tempat strategis, biasanya tertera keterangan waktu, nisfullail atau tengah malam dan bakda Dzuhur.
Dia yang tak mau ketinggalan pun harus mengejar pengajian tengah malam itu. Namun pernah satu ketika, dia tertidur dalam pengajian tersebut. Pulpennya sudah tak lagi dijepit jemarinya. Kitabnya terbuka. Sementara kepalanya tertunduk dan matanya sempurna tertutup. Entah ada dorongan dari mana, dia terbangun dan menempati aula tempat pengajian sudah kosong. Untungnya, waktu imsak belum tiba. Dia pun bergegas lari ke pondoknya yang terletak sekitar 200 M dari tempat mengajinya tersebut untuk segera mengambil jatah sahurnya.
Begitulah para santri menjalani kesehariannya selama Ramadan. Hampir tidak ada waktu untuk sekadar rebahan atau leyeh-leyeh. Mereka juga tetap menyediakan waktu untuk istirahat, seperti waktu paginya oleh santri yang diceritakan di atas.
Kita pun harus mampu memanfaatkan momentum Ramadan ini dengan tidak memperbanyak rebahan. Meskipun segalanya harus dilakukan di rumah, tentu bisa kita manfaatkan dengan memperbanyak membantu orang tua, baik dengan menyapu rumah dan halaman, mencuci piring dan pakaian, ataupun membantunya memasak di dapur.
Kita yang memiliki paket kuota internet lebih dapat memanfaatkannya untuk mengikuti diskusi atau pengajian yang dilakukan secara daring. Tinggal kita pilih acara mana yang sesuai dengan selera kita.
Kita juga dapat mengisi waktu luang dengan memperbanyak membaca, baik itu Al-Qur’an, berita, buku pelajaran, ataupun karya sastra, seperti novel, cerpen, atau puisi. Membaca dapat memberikan kita pengetahuan dan pengalaman yang mungkin tidak pernah kita alami secara langsung, tapi dapat dirasakan secara langsung saat kita membacanya.
Dengan begitu, Ramadan kita akan lebih produktif dan tidak monoton dengan hanya rebahan. Selamat menikmati Ramadan!