Mengenang Kembali Masa Belajar di Cina

862
Photo by Theodor Lundqvist on Unsplash
Ilustrasi/Photo by Theodor Lundqvist on Unsplash

Oleh: A.N Cholis

(Alumni Universitas Shandong,China)

Sore itu saya putuskan untuk tidur di perpustakaan. Kantuk saya tak tertahankan setelah setengah hari berkutat dengan data riset soal keterlibatan Indonesia di AIIB. Bank baru Cina saingan IMF dan Bank Dunia itu. Tentu saja saya tidur  tanpa kasur dan bantal saat itu. Saya hanya bersandar di atas kursi tempat mengerjakan tugas. Menelungkupkan kepala  di atas meja sambil lalu kedua tangan nampak kompak menjadi bantalan. Nyaman rasanya.

Sekejap, terlelap nikmat tak terkirakan. Dan sesuatu yang tak terduga terjadi setelahnya. Kejadian itu masih membekas sampai sekarang. Di sela tidur saya yang pulas, tiba-tiba seorang perempuan Chinese menggoyangkan tangan saya hingga saya terbangun. Samar-samar saya coba mengingat apa yang dikatakannya “If you want to sleep, please don’t do it here. Go to the up floor or your room. Your snore disturbs us”. Jika tidak salah ingat, perempuan itu menegur saya dalam bahasa inggris, bukan cina, saya agak lupa.

Intinya, dia  mengusir saya jika masih tidur serta ngorok di sekitar tempatnya belajar. Dia merasa terganggung. Dengkuran tak beraturan iramanya,  memecah konsentrasi belajar. Sontak saya malu.

Sekejap itu saya kembali berpura-pura mengetik apa saja yang ada di laptop, “damn”. Lucunya, setelah peristiwa itu, Christophe, teman dari Burundi sering menirukan bagaimana saya tertidur sambil mendengkur di perpustakaan. Dia sering mencandai saya: “hookkkkk…hookkkk…hokkkkk” sambil menggetarkan bibirnya setiap kali bertemu dengannya.

Kisah lainnya yang tak lekang dari ingatan saya selama di Cina adalah sewaktu belajar bersama satu kelas dengan mahasiswa Cina. Ketika itu kelas saya yang didominasi mahasiswa asing digabung menjadi satu bersama mereka. Sebuah kelas campuran. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengenalan karakter, budaya, dan perekat persahabatan antara mahasiswa asing dan Cina.

Bagi saya, yang tak luput dari streotip tentang mereka adalah sifat pantang menyerah dan etos kerjanya. Benar apa yang digosipkan banyak orang bahwa  mereka adalah orang-orang yang pantang meyerah dan pekerja keras.

Fakta ini masih terekam dalam memori saya karena suatu waktu, Dr. Nath, dosen yang konon berdarah Jerman-Yordan-Turki yang mengampu kelas bersama itu (dia fasih berbahasa mandarin) pernah menugasi kita sebuah tugas presentasi wajib menggunakan bahasa inggris. Celakanya, tidak semua mahasiswa Cina lancar berbahasa inggris.

Sebagian dari mereka bahkan begitu pemalu untuk memulai percakapan menggunakan bahasa asing. Saya mengenal beberapa di antara mereka yang bahkan terbata-bata saat merespon percakapan yang saya ajukan dalam bahasa inggris. Untuk sepatah dua patah kata saja sudah untung jika mereka mampu merespon balik.

Tapi anehnya yang membuat saya tercengang adalah ketika hari H presentasi. Mereka tiba-tiba begitu lancar menerangkan bahan diskusinya menggunakan bahasa inggris: panjang-lebar. Sontak saya penasaran dan mulai mencari tahu mukjizat apa di balik peristiwa tersebut. Bisa-bisanya, dengan sekejap, bahasa inggris mereka berubah menjadi fasih.

Usut punya usut, keajaiban mereka akhirnya terbongkar. Ternyata mereka menghafal teks inggris bahan presentasinya selama berminggu-minggu. Berlembar-lembar teks inggris itu mereka hafalkan siang-malam. Ini terjadi bukan hanya kepada satu-dua mahasiswa, tapi hampir seluruh mahasiswa Cina yang memiliki keterbatasan bahasa inggris di kelas itu.

Kisah di atas hanyalah sedikit cerita selama perantauan saya di Cina.  Menjelang satu bulan kelususan ini, saya rasa memang perlu menuliskan kembali pengalaman-pengalaman menarik yang saya alami. Tentang ikhwal-ikhwal yang tak terekam oleh kebanyakan orang. Khususnya kepada mereka-mereka yang sengaja menutup mata terhadap kebangkitan Cina saat ini dan selalu menyinyiri Cina dengan umpatan-umpatan bernada pejoratif.

Saya akui, sebagai sebuah bangsa, Cina tidak luput dari kekurangan. Seperti kita yang tak pernah sampai mengatasi ketidakdisiplinan dan kemalasan kita yang telah membudaya. Namun kita harus adil, fakta kemajuan ekonomi global kini, telah membuktikan, Cina-lah yang paling perkasa. Dan itu tidak terjadi secara instan.

Pada tahun 2010, Cina sukses menyalip Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua. Selang 6 tahun kemudian, giliran posisi AS di urutan pertama direbutnya. Dahsyatnya, jika kita mendedah laporan PwC untuk prediski ekonomi tahun 2030, gap antara GDP AS dan Cina jumlahnya mencapai 14.533 miliar dolar AS. Selisih yang fantastis. Wajar jika AS kini ketar-ketir berupaya membendung kebangkitan Cina.

Berbagai cara telah dilakukan. Lewat perang dagang salah satunya dan lewat blaming kasus Corona contoh lainnya.  Belum lagi isu represifitas terhadap muslim Uighur dan isu-isu lainnya.

Kebangkitan cina memang tidak bisa ditampik. Bahkan Nun jauh di sana, di belahan dunia lain, Bonaparte pernah berseloroh sambil mewanti-wanti “China is a sleeping Lion. Let her sleep, for when she wakes she will shake the world”, (SCMP, 28/03/2014). Cina adalah singa yang tengah tertidur. Biarkan dia tidur, (sebab) ketika ia bangun ia akan gentarkan dunia.

Namun kini ia benar-benar telah terbangun. Ia tengah bersiap menjadi raksasa dunia. AS kelabakan merespon bangunnya singa Cina. Cina pun berhati-hati agar kebangkitannya tidak disalahi arti. Tapi satu hal yang membuat kita patut turut bahagia dengan kebangkitan cina terlepas dari tensi geopolitik global adalah karena trickle down effect yang dihasilkannya.

Dampak kemajuan ekonomi cina tidak hanya berhenti di (sana), melainkan juga menyesap ke nadi perekonomian kita. Perekonomian kita semakin bergairah, ASEAN bergairah, India bergairah, seluruh kawasan (baca: Asia) bergetar menerima efek kejut kebangkitan Cina.

Untung kita sudah menjalin hubungan resmi dengan Cina sejak 1950. Lebih lama dibanding negara-negara lainnya di Asia Tenggara.  Bandingkan dengan Malaysia tahun 1974, Filipina dan Thailand pada 1975 (Lee Lai To, 2001). Artinya itu telah menumbuhkan rasa solidaritas antar kita, meningkatkan rasa percaya, dan ujungnya menginisiasi kita untuk saling meningkatkan kerja sama. yang terpenting siap untuk silih membantu pada setiap kesukaran yang tengah dihadapi.

Beberapa kali Cina terbukti membantu kita, misalnya memberikan bantuan saat krisis Asia 1997-1998, bencana tsunami 2004, teranyar, bantuan alat kesehatan untuk Corona 2020.  Yah dialah Cina sekutu lama kita. Yang dulu Sukarno pernah merangkulnya sebagai sahabat karib dalam poros aliansi Jakarta-Beijing dan membelanya mati-matian supaya diterima sebagai anggota PBB yang jejaknya bisa ditelusuri lewat petikan pidatonya yang berjudul “To Build The World a New”.

Cukup berhenti di situ. Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk membahas lebih jauh aspek hubungan internasional dari kedua negara. Juga perlu digarisbawahi, tulisan ini tidak ditujukan untuk mengagung-agungkan Cina.

Saya hanya ingin mengekplorasi apa yang dilakukan masyarakat Cina kontemporer untuk meneruskan perjuangan Den Xiaoping yang membuka takdir kebangkitan ekonominya. Sengaja kisah saya yang tidur di perpustaakan lalu ditegur perempuan Cina dan cerita para mahasiswa cina yang tiba-tiba lancar berbahasa inggris menjadi pembuka tulisan. Sebab itu lah fenomenan Cina kini. Mereka tengah berlomba, bahu membahu, meraih takdirnya sebagai bangsa besar. Segenap jerih payah, etos kerja, sikap pantang menyerah menjadi fenomena lazim yang turun temurun diwariskan kepada generasi-generasi Cina kini.

Hingga sekarang para generasi muda mereka masih menjaga warisan tersebut. Teguran di perpustakaan hanyalah refleksi sederhana dari keseriusan mereka saat belajar.  Totalitas dalam segala hal, itulah mereka. Saya pastikan perpustakaan mereka tak pernah sepi sejak dibuka pukul 8 pagi hingga 11 malam. Semoga kelak kita bisa melampaui mereka.