Aliran filsafat pendidikan Esensialisme, sebagaimana dikutip dari Muhammad Anwar di buku Filsafat Pendidikan (2017: 160), dapat ditelusuri dari aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Menurut aliran ini, kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.
Secara historis, kebudayaan lama telah ada semenjak peradaban umat manusia dahulu, terutama semenjak zaman Renaissance mulai tumbuh dan berkembang dengan megahnya. Selain itu, kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno.
Pemikiran yang esensialis dikembangkan oleh para pengikut dan simpatisan ajaran filsafat tersebut sehingga menjadi satu aliran filsafat yang mapan. Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme.
Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya dengan ide-ide, jika hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua aliran itu bersifat eklektik, yakni keduanya sebagai pendukung, tidak melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-masing aliran.
Muhammad Anwar (2017: 161-163) memberikan penjelasan bahwa pola dasar pendidikan aliran Esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme, yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah, dan materialistik.
Selanjutnya, untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci, kita harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme. Dikutup dari Imam Barnadib (1985), ada beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, sekaligus memberikan pola dasar pemikiran pendidikan mereka.
a. Desiderius Erasmus
Humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada ”dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional sehingga dapat diikuti oleh kaum tengah dan aristokrat.
b. Johann Amos Comenius (1592 – 1670)
Tokoh Renaissance pertama yang berusaha menyistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realistis yang dogmatis. Karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
c. John Locke (1632-1704)
Tokoh dari Inggris dan populer sebagai ”pemikir dunia” mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Ia juga memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827)
Mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan yang wajar. Selain itu, la percaya akan hal-hal yang transendental, menurutnya manusia mempunyai hubungan transendental
langsung dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Froebel (1782-1852)
Seorang tokoh transendental yang corak pandangannya bersifat kosmissintetis. Menurutnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai bagian dari alam ini. Oleh karena itu, ia tunduk dan mengikuti ketentuan dan hukum-hukum alam.
Terhadap pendidikan, ia memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif. Sedangkan, tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik ke arah kesadaran diri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
f. Johann Friedrich Herbart (1776-1841)
Salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak. Artinya, penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, yang disebut ”pengajaran yang mendidik” dalam proses pencapaian tujuan pendidikan.
g. William T. Harris (1835 – 1909)
Berusaha menerapkan idealisme objektif pada pendidikan umum. Menurut dia, tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat.
Jadi, sebagaimana penjelasan Muhammad Anwar (2017: 164) sebelumnya, bahwa tujuan umum aliran Esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Isi pendidikannya ditetapkan berdasarkan kepentingan efektivitas pembinaan kepribadian yang mencakup ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dalam kehidupan dan mampu menggerakkan keinginan manusia.
Karena itu, kurikulum sekolah Esensialisme dianggap semacam miniatur dunia yang dapat dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan kegunaan. Dengan demikian, peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menjadi lebih berfungsi, berhasil guna, dan berdaya guna sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial. (MZN)