Mengenal Lebih dalam Istilah Habib dan Ulama

2144
ulama
Sumber Foto Santrinews.com

Beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan berbagai macam komunitas keagamaan yang berkomitmen untuk mengikuti tokoh-tokoh panutannya, baik dari kalangan habib ataupun ulama.

Berbagai komunitas tersebut memiliki gerakan yang beragam, mulai dari sekadar ikut jam’iyyah maulid Nabi atau majelis taklim, hingga rangkaian aksi yang mengatasnamakan bela habaib dan sebagainya.

Baca juga: Banser, santri dan Protokol Keamanan Ulama.

Dari sinilah muncul bermacam pertanyaan, diantaranya: kriteria seseorang bisa dikategorikan habib dan ulama? Bagaimana jika seorang dari kalangan habib dan ulama melakukan suatu kekhilafan, apakah tetap harus dijadikan panutan bahkan perlu digelar serangkaian aksi berjilid-jilid? Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita perlu mengetahui konsep dan kriteria seseorang bisa dikategorikan habib dan ulama.

Sekilas tentang Habib

Dalam  al-Mu’jam  al-Wasith,  disebutkan  bahwa  habib  menyimpan  makna  mahbub, artinya orang yang dicintai. Sedangkan bentuk jama’ dari habib adalah ahibba’ atau ahibbah, dan bentuk jama’ dari habibah adalah habaib. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, habib berarti orang yang dicintai, panggilan kepada orang yang bergelar sayid (keturunan Nabi Muhammad Saw).

Habib merupakan suatu gelar yang ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada Ahli Bait (keturunan Nabi Muhammad Saw). Selain gelar habib, ada pula gelar syarif (keturunan Nabi dari jalur Hasan bin Ali) dan sayyid (keturunan Nabi dari jalur Husain bin Ali).

Adapun generasi awal masuknya Ahli Bait ke Nusantara adalah keturunan Muhammad al-Faqih Muqoddam. Mereka datang dari Hadramaut Yaman sekitar abad 12 dan masuk ke Nusantara melalui  Aceh,  turun  ke Palembang,  lalu  ke Jawa,  hingga kemudian  menurunkan generasi Walisongo di Jawa.

Para keturunan Rasulullah ini masuk dengan pendekatan kultur lokal. Diikuti, lalu perlahan-lahan digeser, sehingga tidak terjadi peperangan termasuk kepada kerajaan-kerajaan. Maka jadilah Islam di Nusantara tanpa menumpahkan darah. Dengan berkembangnya waktu, mereka dicintai oleh lingkungannya, dicintai oleh murid-muridnya, kemudian dipanggillah dengan sebutan al-Habib.

Akhirnya gelar sayyid-nya mulai hilang, dan dikenal habib. Sementara di beberapa tempat, misal di Aceh, dipanggil Said.

Sekilas tentang Ulama

Secara bahasa, ulama adalah bentuk jama’ dari ‘alim yang berarti orang yang berilmu, berpengetahuan. Ulama adalah suatu gelar bagi seseorang yang ahli dalam bidang ilmu agama, bahkan lebih khusus lagi menguasai beberapa disiplin ilmu agama.

Istilah ulama sendiri merujuk kepada seseorang yang mumpuni dalam bidang ilmu agama, berakhlak baik, menjadi teladan hidup  bagi  masyarakat,  dan  sifat-sifat  mulia lainnya. Ia senantiasa mengisi  sendi-sendi kehidupan dengan laku positif yang berdampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek.

Dalam buku Secercah Cinta karya Habib Muhammad Luthfi bin Yahya menjelaskan tentang kategori ulama yang tergolong ahli dzikir. Ahli dzikir ialah orang yang ‘arif, rijalul ‘arif. Habib Luthfi menyebutkan, kalau orang ‘arif sudah dipastikan ibadahnya baik.

Itu semua disaksikan dan diakui oleh Allah yang menciptakan. Para wali, ulama, dan orang-orang ‘arif itulah sumber-sumber akidah, bagaimana umat Islam bisa memahami agama dengan sumber-sumber mutawatir, dapat dipertanggungjawabkan, dan tersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW kemudian sampai kepada seluruh umat.

Sebab, para ulama selain dinyatakan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya juga mendapatkan kesaksian dalam Al-Qur’an. Ulama, sungguh derajat yang bukan main-main.

Kriteria Habib

Menurut keterangan Rabithah Alawiyah, setiap habib adalah sayyid, namun setiap sayyid belum tentu habib. Seorang sayyid bisa mendapatkan gelar habib apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Cukup matang dalam hal usia
b. Memiliki ilmu yang luas
c. Mengamalkan ilmu yang dimiliki
d. Ikhlas terhadap apapun
e. Bersikap wara’ serta bertakwa kepada Allah Swt
f. Berakhlakul karimah

Kriteria Ulama

Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, seseorang bisa disebut ulama apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Hanya takut kepada Allah
b. Ahli dalam ilmu agama
c. Berorientasi akhirat
d. Berakhlakul karimah, khususnya kepada kaum dhu’afa
e. Berusia minimal 40 tahun

Bersambung…

Penulis: Ahmad Fakhri Azizi, Lc, S.Pd.