Oleh: Ahmad Nurcholis
(Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama PCINU Tiongkok)
Isu ketegasan Tiongkok di Laut Cina Selatan dan kebangkitannya kerap mewarnai dinamika politik domestik di Indonesia. Bahkan, rumor mengenai isu agama beberapa kali muncul sebagai dagangan politik yang berimpak pada munculnya tindakan intoleransi terhadap etnis Tionghoa dalam negeri. Dua isu itu hanyalah sedikit dari sekian banyak yang menyeruak.
Tapi jika ditelisik dengan seksama, paling tidak ada tiga isu populer terkait Tiongkok di Indonesia. Pertama, Tiongkok sering kali dipersepsikan diskriminatif terhadap etnis muslim. Kedua, komunisme, sebagai ideologi tunggal Tiongkok masih menjadi momok yang menakutkan di telinga orang-orang Indonesia. Ketiga, pinjaman (utang-piutang) dari pemerintah Tiongkok kerap kali diwanti-wanti untuk diwaspadai karena dianggap sengaja diciptakan sebagai strategi ‘trap debt’ atau jebakan utang. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Untuk menjawab itu semua, perlu diadakan sebuah ruang diksusi yang adil, agar berbagai pemberitaan yang menyangkut Tiongkok dapat berimbang. Beragam rumor negatif tentang Tiongkok di Indonesia faktanya memang merupakan sesuatu yang inheren, yang terkonstruk bertahun-tahun lamanya seiring dengan proses globalisasi dan sentimen ras yang pernah muncul di masa orde baru dan bahkan jauh semasa kolonial.
Di masa Soeharto, rezim yang mendapat dukungan AS itu bahkan memutuskan untuk membekukan hubungan bilateralnya dengan Tiongkok tepat pada 1967. Tiongkok dituduh berada di balik peristiwa berdarah kudeta 1965. Kelak, buruknya hubungan Soeharto dan Tiongkok menyumbang imajinasi buruk orang-orang Indonesia terhadap komunisme dan etnis Tionghoa dalam lanskap politik nasional sebab konstruksi ke arah tersebut secara langsung sengaja didesain dan dikomandoi oleh negara.
Negara kadung membuatnya demikian karena rezim yang pro barat sedang gencar-gencarnya membendung segala hal yang berbau komunis di tengah kecamuk perang dingin saat itu. AS memback-up itu semua. Makanya tak heran bila hingga saat ini, prasangka buruk terhadap Tiongkok dan etnis tionghoa masih sering muncul-tenggelam dalam inkubasi sentimental politik di Indonesia.
Tapi isu dan rumor negatif tentang Tiongkok dalam kenyataannya tidaklah semanis berita-berita hoaks yang mewabah di berbagai platform media sosial. Rata-rata hal yang diberitakan sering kali tidak benar dan banyak persepsi menyimpang tentang Tiongkok. Dalam hal menjalankan ritual agama misalnya, faktanya muslim masih diberikan hak untuk beribadah, alih-alih dilarang apalagi dihalang-halangi. Bahkan masjid menjadi bangunan yang diizinkan pendiriannya. Buktinya, tidak sulit untuk menemukan bangunan masjid di seantero Tiongkok.
Di kota tempat saya tinggal, masjidnya begitu besar dan halamannya bersih dengan taman masjid yang indah. Hal ini bertolak belakang dengan kabar bohong yang merebak, yang menganggap seolah-olah tidak terdapat masjid sama sekali di Tiongkok, dan pemerintah Tiongkok dituduh membatasi ruang beragama bagi muslim. Sekali lagi, muslim bebas melakukan ibadah dengan leluasa. Malah muslim asing dapat melakukan ibadah salat Jumat bersama-sama dengan muslim pribumi di tempat yang telah disediakan oleh pemerintah.
Suasana ibadah di Tiongkok lazim dengan kondisi peribadatan di Indonesia. Jumlah rakaat shalat masih sama. Ketentuan puasa masih serupa. Alih-alih, saat peristiwa terorisme terjadi di New Zealand beberapa tahun lalu, pemerintah Tiongkok menyediakan pengamanan super ketat di sekitar masjid guna menciptakan suasana tenang dan nyaman saat beribadah. So, dimana diskriminasinya?
Sementara itu, terkait kasus Uighur, yang beritanya sering memicu respon negara-negara muslim, dalam kenyataanya tidaklah seseram seperti yang dibayangkan. Kita selalu menganggap bahwa kasus Uighur adalah soal diskriminasi agama. Sama sekali bukan. Kasus Uighur murni gerakan separatisme yang karenanya pemerintah Tiongkok memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Rasionalnya, tak ada satu pun negara di dunia ini yang bersikap lembek saat menyangkut kedaulatan wilayah mereka, termasuk Indonesia. Lihat betapa sangarnya pemerintah kita saat berhadapan dengan GAM atau OPM. Apakah lalu kemudian kita menghubungkannya dengan sikap pemerintah yang anti terhadap islam, mengingat kelompok GAM didominasi muslim atau anti terhadap Kristen dalam kasus OPM itu? Sekali lagi, separatisme tidak mengenal batas-batas agama.
Maka lumrah saja bila pemerintah Tiongkok meletakan Uighur sebagai prioritas kebijakan dalam negerinya. Mengontrol Uighur bukan berarti membatasi hak beribadah mereka, namun berupaya untuk mencegah mereka dari paham-paham separatisme dan keagamaan radikal yang memicu terjadinya instabilitas di wilayah tersebut.
Selain itu, tentang komunisme yang secara umum dipersepsikan atheis oleh kebanyakan orang-orang Indonesia, faktanya sangat jauh seperti yang disangkakan. Meski angka atheis masih dominan namun tidak berarti orang-orang Tiongkok menafikan agama secara total. Berdasarkan buku putih yang dikeluarkan pemerintah cina dengan berjudul “China’s Policies and Practices on Protecting Freedom of Religious Belief” yang dikutip dari Chinadaily, sekitar 200 juta orang Tiongkok adalah penganut agama. Dengan penganut muslim sekitar 20 juta orang plus jumlah ulamanya kira-kira 57 ribu orang.
Terakhir, sebagai penutup tulisan ini, terlepas dari atheis atau theis, masyarakat Tiongkok toh hidup dalam suasana penuh damai dan toleransi. Beragama atau tidak adalah urusan private masing-masing orang. Mereka nyatanya tetap hidup dalam harmoni dengan fokus- disiplin dan komitmen tingginya pada aktivitas ekonomi. Ya, mereka suka berbisnis. Bagi orang-orang Tiongkok, hidup adalah ruang kompetisi demi meraih sukses hidup. Kini, hal itu telah dibuktikan.
Mereka telah sukses sebagai negara ekonomi terbesar di dunia. Bagi saya, satu hal yang saya petik dari kebangkitan Tiongkok adalah: sistem politik apa pun, tak akan pernah membawa manfaat bagi pemerintahan tertentu apabila elitnya tidak memiliki niat baik mengelolanya. Demokrasi bukanlah jawaban absolut bagi kemakmuran rakyat. Ingin mencoba komunis? Selamat berpuasa.