Mencium tangan guru adalah salah satu adab seorang murid terhadap seorang guru. Begitulah setidaknya yang diajarkan oleh orang tua dan guru-guru saya. Beradab kepada guru adalah cara kita menghormati ilmu.
Merujuk pada aplikasi KBBI V, mencium berasal dari kata cium yang memiliki arti sentuh dengan bibir atau hidung. Artinya yang kita dekatkan ke tangan adalah bibir atau hidung kita, bukan jidat atau pipi.
Baca juga: Nasib Guru Honorer
Tradisi Menghormati Guru
Di pondok pesantren mencium tangan guru sudah menjadi tradisi yang mengakar. Tentu dengan menggunakan bibir atau minimal hidung. Lain halnya di lembaga pendidikan selain pesantren, yang pada umumnya, akan kita temukan aktivitas tersebut sebatas menempelkan tangan sang guru di kening atau bahkan pipi si murid.
Pada saat saya kecil, kebiasaan ayah saya saat bertemu orang besar (baca: orang alim) adalah mengarahkan tangan saya untuk mengambil dan mencium tangan orang alim tersebut. Hal itu nampaknya dilakukan sampai saya sudah besar. Ayah pernah berujar, kurang lebih sebagai berikut :
“Ayah akan cium tangan dengan guru, meski usianya lebih muda.”
Waktu itu hari Senin, 25 April 2016. Bakda salat Subuh, kami mengaji dengan Almaghfurlah Pak Kiai Ali Mustafa Yaqub. Ketika pengajian selesai, seperti biasa kami para muridnya akan mencium tangan beliau secara bergiliran.
Biasanya saya mencium tangan beliau dengan dua kali ciuman. Namun, saat itu saya hanya melakukan satu kali ciuman dan sedikit ditahan lebih lama. Setelah selesai, saya menuju barisan paling belakang untuk melakukannya lagi.
Tiga hari kemudian Pak Kiai pergi meninggalkan kami selamanya. Kabar itu kami terima saat tengah mengaji. Semua berduka dan merasa kehilangan. Hari Senin adalah hari terakhir saya mencium tangan beliau.
Teruntuk beliau, Alfatihah.
Sekian.
Penulis: Zaim Najibuddin Rahman, Lc. S.Pd