Politik Luar Negeri memiliki pengertian sebagai upaya yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya melalui kebijakan yang berhubungan dengan negara lain. Pola politik luar negeri yang dilakukan oleh negara dapat mencerminkan kondisi dalam negeri negara tersebut. Jika melihat pada rentang sejarah pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Indonesia lebih memprioritaskan kepentingan nasional untuk memperjuangkan kedaulatan secara penuh pasca kemerdekaan di tahun 1945, serta mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional, khususnya Belanda. Berdasarkan hal tersebut, politik luar negeri Indonesia lebih condong pada usaha-usaha yang dilakukan guna mencari simpati dan menjalin hubungan baik dengan negara maju dan negara dunia ketiga yang baru saja merdeka dari kolonialisme.
Awal Politik Bebas Aktif
Prakarsa awal politik bebas aktif Indonesia adalah Bung Hatta selaku wakil presiden Republik Indonesia, melalui pidatonya “Mendayung Diantara Dua Karang” mencetuskan konsep politik luar negeri bebas aktif pada 2 September 1948 dalam kelompok kerja KNIP.
Bung Hatta dalam sidang KNIP menyampaikan rumusan kerangka politik luar negeri Indonesia yang dikenal sebagai Politik Bebas Aktif. Dalam rumusan ini, Indonesia tidak hanya mengedepankan netralitas dalam berpolitik internasional,
namun juga memiliki tujuan untuk menjaga perdamaian dunia. Mengacu pada konstitusi Indonesia Politik Bebas Aktif memiliki dasar Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara berlandasan pada pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara dalam seluruh aspek kehidupan termasuk politik luar negeri.
Baca juga: Islam Dalam Pusaran Konflik Ideologi Di Indonesia-Part 1
Landasan konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia adalah UUD 1945 alinea pertama dan alinea keempat, serta pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 11 dan Pasal 13. Sedangkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia terdapat dalam TAP MPR no IV/MPR/1978.
Tantangan Politik Bebas Aktif
Jika menilik pada kondisi global modern saat ini relevansi politik bebas aktif dapat mengutip dari pendapat Wamenlu A.M Fachir mengatakan bahwa politik luar negeri Indonesia masih memiliki kondisi yang relevan.
“Dalam dunia yang dinamis dan dipenuhi dengan perebutan kepentingan seperti saat ini, kebijakan politik bebas aktif masih relevan. Hal ini karena politik bebas aktif bermakna dapat memutuskan nasib sendiri dalam mencapai cita-cita bangsa, bukan hanya sekedar memilih antara dua blok,”
Mengutip dari pendapat Prof. Mochtar Peran politik bebas aktif dilihat dimensi historis-politik dan juga dimensi sosio-humanis. Dimana konteks historis-politik dipengaruhi oleh situasi dunia saat itu yang sedang dalam era kolonialisme dan Perang Dingin.
Sedangkan dalam dimensi sosio-humanis, aspek yang mempengaruhi adalah ide mengenai kemerdekaan, kesetaraan, dan saling menghargai. Implementasi kebijakan politik bebas aktif di era Presiden Joko Widodo dituangkan dalam Nawacita dan Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri RI 2015-2019 yang di dalamnya mengatur mengenai diplomasi ekonomi, perlindungan WNI, kedaulatan dan pertahanan nasional, poros maritim, diplomasi maritim, kepemimpinan ASEAN, serta peningkatan peran internasional.
Dengan peran dan Langkah politik Indonesia Bebas Aktif, bukan tidak mengalami tantangan. Tantangan hadir dari kondisi didalam negeri dan kondisi ekternal luar negeri. Dalam ruang lingkup regional Indonesia di hadapkan pada issue geopolitik Laut Tiongkok Selatan,
Strategi Rencana Kerjasama
Selanjutnya adalah isu terorisme dan kekerasan bersenjata yang mulai bergeser medan kearah negara-negara asia tenggara dan Indonesia salah satunya, dan ditambah lagi kondisi pandemi Covid-19 yang melumpuhkan banyak sektor.
Maka Indonesia bersama dengan negara lain menginisiasi dan bergabung dalam kesepakatan ekonomi komprehensif di tingkatan regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang merumuskan strategi rencana Kerjasama guna pemulihan ekonomi pasca pandemi. Indonesia akan menemui tantangan karena dihadapkan pada China, Jepang, dan Korea Selatan, yang ikut berpartisipasi dalam kemitraan ini.
Jika tidak pintar mengambil peluang, RCEP berpotensi menjadikan Asia Tenggara sebagai arena kompetisi semata bagi ketiga negara tersebut, negara dengan kekuatan ekonomi yang besar saja yang akan diuntungkan dan mempengaruhi arus dominasi perdagangan regional.
Dengan peran politik bebas aktif yang selama ini dijalankan, Indonesia menolak untuk berpihak pada aktor besar manapun demi menciptakan keseimbangan kekuatan di kawasan Asia Tenggara dan mempertahankan sentralitas ASEAN.
Jika dilihat secara langsung memang Indonesia tidak terlibat dalam sengketa Laut China Selatan, Namun Indonesia harus terus mendesak semua pihak yang berkepentingan didalamnya untuk mematuhi Hukum Laut Internasional, termasuk menolak secara tegas sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang selama ini dijadikan dasar klaim historis China di Laut China Selatan.
Selanjutnya dalam upaya baik untuk menyelamatkan kondisi ekonomi pasca pandemi Covid-19, pemerintah perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memperkuat sektor industry kecil dan kreatif. Terutama pemulihan sektor pariwisata, mengingat pariwisata adalah salah satu sektor yang terdampak cukup parah dari pandemi Covid-19.
Di sektor pariwisata, misalnya, pemerintah melalui Kemenparekraf perlu memfasilitasi pelatihan teknologi digital bagi pelaku dan industry wisata. Dengan potensi Kerjasama RCEP yang diikuti oleh 15 negara, pemerintah perlu memaksimalkan diplomasi ekonominya di dalam kemitraan RCEP untuk memperluas kemitraan pelaku industri lokal dan memperluas pasar bagi produk-produk local terutama industry kecil menengah dan ekonomi kreatif. sehingga Indonesia mampu mencapai tujuan dari kepentingan nasional, peningkatan nilai ekspor, investasi asing, dan menambah pendapatan domestik bruto.
Penulis: Habibi Fahmi