Memberantas Paham Radikalisme dengan Paham Aswaja

792
aswaja
Sumber Foto Flickr.com

Menjadi Muslim yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jamaah An Nahdliyyah (Aswaja) bukan hanya sekedar embel-embel belaka, atau bahkan hanya sekedar eksistensi semata. Lebih jauh dari itu, menjadi muslim adalah sebuah tanggung jawab moral yang harus kita perjuangkan.

Belakangan ini kita warga Indonesia dihebohkan oleh aksi yang sangat tidak manusiawi, sangat tidak dibenarkan oleh agama manapun dan sangat ditentang keras oleh semua manusia di muka bumi ini, yaitu aksi terorisme. Aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, hingga Zakiyah yang nekat meneror kompleks Mabes Polri dengan beberapa tembakan.

Baca juga: Tiga Kewajiban yang perlu Diperhatikan oleh Setiap Manusia

Kejadian aksi terorisme berawal dari intoleransi dalam beragama, yang kemudian menjadi fanatisme, lalu radikalisme, ekstremisme, dan akhirnya menjadi tindak terorisme.

Dengan kasus terorisme yang telah terjadi, menjadi bahan evaluasi bersama bahwa paham-paham ekstremisme dan terorisme masih sangat bebas berkeliaran di luar sana. Ini menjadi PR besar pemerintah Indonesia dalam memberantasnya.

Namun, diluar dari tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam menangani paham-paham tersebut, tentu saja kita sebagai muslim yang menjunjung tinggi ideologi moderasi dalam beragama, rasa toleransi yang tinggi, dan sikap menjaga NKRI bisa ikut serta dalam membatunya.

Dalam sebuah acara, KH. Said Aqil Siradj, mengajak para hadirin untuk selalu menyebarkan ajaran Islam Rahmatan Lil Alamin, yakni ajaran yang lebih mengedepankan nilai toleransi dan moderat, agar menjadi muslim yang ramah-ramah bukan muslim yang marah-marah.

“Sebagai umat Islam, kita memiliki kewajiban untuk terus melakukan dakwah tentang pentingnya toleransi antar umat di negeri ini,” ungkap Kiai Said.

Dakwah yang bisa kita mulai dari diri sendiri yaitu pengimplementasian nilai-nilai pokok dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah An Nahdliyyah (Aswaja) yang bertumpu pada karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), dan taaddul (adil);

Tawasuth (moderat)

Tawasuth secara bahasa berasal dari kata وَسْطَ yang berarti ditengah-tengah, secara istilah bisa diartikan juga sebagai sikap moderat atau tidak memihak kepada pihak manapun, tidak condong pada paham kiri maupun kanan.

Dalam beragama kita diharuskan bersikap moderat, tidak mudah menghakimi seseorang dan tidak gegabah mengambil keputusan, tentu saja dengan banyak pertimbangan.

Sikap Tawasuth telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW berabad-abad yang lalu dalam peristiwa piagam madinah yang mana di dalam peristiwa tersebut telah terjadi kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dengan berbagai macam kelompok di luar Islam untuk membangun tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan kepentingan bersama. Yang mana tidak ada dari satu golongan pun yang merasa keberatan atas apa yang telah disepakati.

Tasamuh (toleransi)

Dalam bahasa Arab arti tasamuh adalah sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan pemaaf. berarti dapat diartikan sebagai sikap toleransi antar manusia yang di dalam klasifikasinya ada berbagai macam suku, ras, dan agama. Dimana kita dituntut untuk menghargai perbedaan serta menghormati keputusan orang lain yang tidak sama dengan kita.

Sikap tasamuh sangat diperlukan, terutama dalam hidup bernegara di negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), karena banyak sekali perbedaan yang akan kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti perbedaan pendapat dalam diskusi, perbedaan ras, suku, budaya, hingga perbedaan agama yang dianut.

oleh karena itu sikap tasamuh dapat dijadikan pondasi bagi seluruh masyarakat Indonesia agar dapat menerima perbedaan dalam berbangsa dan bernegara, jika sudah memahami tasamuh secara lebih jauh, maka seseorang akan memahami bahwasannya perbedaan itu indah.

Tawazun (seimbang)

Tawazun dapat diartikan seimbang, seimbang dalam segala aspek kehidupan, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah demi terciptanya keselarasan hubungan antara sesama umat manusia ataupun antara manusia dengan Allah SWT.

Sederhananya, kita sering menyebut hal tersebut sebagai hubungan vertikal dan horizontal. Maksud vertikal adalah hubungan kita dengan tuhan (Allah). Sedangkan maksud horizontal adalah hubungan kita dengan manusia. sebagai umat islam, kita dituntut untuk seimbang dalam menjalani hubungan, hubungan dengan tuhan maupun dengan manusia. Jadi kita tidak boleh mengabaikan salah satunya.

Taaddul (adil)

Adil bukan berarti sama rata, tetapi adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya tanpa melihat latar belakang suku, ras, dan agama. Selalu berada di posisi atas pertimbangan dan pemikiran yang matang, tentu saja posisi dimana kemaslahatan masyarakat luas itu berada.

Konsep adil memang sangat rumit, namun akan saya coba permudah konsep adil dalam kehidupan, adil bukanlah sama rata, namun adil adalah sesuai dengan hak gunanya. Adil juga menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai hak dan kewajiban.

Jika muslim sebagai mayoritas di Indonesia dapat beribadah dengan tenang, maka alangkah indah jika agama lain yang notabenya adalah minoritas di Indonesia juga mendapatkan hak yang sama, beribadah dengan baik dan bermasyarakat dengan baik, sehingga kita bisa hidup dengan tenang, aman dan tentram.

Dengan menerapkan empat nilai-nilai pokok dasar Aswaja dilingkungan terkecil kita yaitu keluarga, lalu dilanjut ke masyarakat sekitar hingga masyarakat luas, maka secara tidak langsung kita telah membantu tugas pemerintah Indonesia dalam memberantas paham-paham radikalisme dan terorisme.

Penulis: Achmad Faiz Taftazany
(Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)