Bagi saya desa selalu istimewa. Andai ingatan saya tak ingkar, sejak ada dana desa, buku bercerita tentang desa cukup banyak diterbitkan. Rerata buku-buku baru. Salah satunya “Catatan Perjalanan tentang Satu Bahasa: Melihat Desa lebih Dekat”, karya Nurhady Sirimorok, menjadi satu dari banyak pilihan yang amat layak dibaca.
Buku ini saya kira amat tepat untuk dinikmati dalam waktu berlibur di tengah desa. Terlebih bagi pembaca yang sedang hidup di seluk belukar kota. Apalagi bila si pembaca memang juga berasal dari desa.
Baca juga: Murid Sebagai Subjek Belajar untuk Mendidik Keberagaman
Ini adalah buku non fiksi. Kita disediakan kumpulan 21 cerita catatan perjalanan penulis di desa pedalaman. Banyak latar ruangnya banyak mengisahkan di luar pulau jawa, khususnya di Pulau Sulawesi. Sementara latar waktunya berkisar dari mulai kebijakan migrasi dan pembangunan desa era Orde Baru hingga awal tahun 2000-an.
Bangunan Tua Bernama Desa
Membaca buku ini membawa kita memahami bagaimana memecahkan bangunan tua bernama desa. Iya, desa. Tempat yang kerap diganjar sebagai daerah terbelakang. Begitu berseberangan dengan kota. Wilayah di mana awal semula dari kemajuan dimulai. Kita barangkali sudah biasa mengamini pendapat umum tentang desa, masyarakat jumud yang seolah mesti ditolong oleh kita sebagai manusia yang hidup di kota.
Melalui buku ini kita diberikan palu pemecahnya. Gagasan empiris penulis mengiris-iris bangunan tua itu. Tidak selamanya masyarakat desa terbelakang. Adakalanya warga kota yang mesti belajar dari desa. Cakupannya cukup kompleks. Bahasan buku ini melibatkan sejarah kebijakan pemerintah, kontruksi budaya, tentang geliat ekonomi, antusias pendidikan dan paling riskan perihal kelestarian lingkungan.
Nurhady Sirimorok menceritakan dengan baik bagaimana kebijakan pemerintah selama ini tak selalu sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat desa. Kita sering mendengar dalih pemerintah. Selalu tersedia berbagai macam bentuk bantuan untuk desa. Mulai dari bantuan infrastruktur, pelatihan untuk petani, penyediaan bibit ataupun pemberian pupuk dan alat teknologi. Namun alih-alih masyarakat desa tertolong, yang terjadi di lapangan malah berkakhir dengan perusakan lahan dan kesia-siaan anggaran.
Dua dari sejumlah kumpulan tulisan cukup menarik bagi saya. Pertama ketika Nurhady mengisahkan keseragaman pendidikan untuk semua wilayah di Indonesia. Sementara kedua, anjuran penanaman bibit kakao dan pinus yang merampas lahan masyarakat desa.
Keseragaman Bukan Bagian dari Mereka
Soal keseragaman, Nurhady menuliskannya dengan jelas dalam esai kesembilan di bukunya itu. Ia menyebut lomba gerak jalan Agustusan sebagai “pesta keseragaman”. Orang merayakan kemerdekaan justru tanpa memiliki kemerdekaan. Mereka menjadi persona yang lurus dan taat komando. Tak dapat bersikap manasuka. Mereka pelan-pelan gandrung keseragaman. Orang berseragam. Pikiran menjadi seragam. Yang berbeda disebut bukan bagian dari mereka.
Desa juga tumbuh secara hampir seragam. Aturannya sama, aparaturnya dididik secara sama, hingga lahirlah cara-cara yang sama dalam memperlakukan desa. Sebelumnya, di mana-mana, desa sibuk membangun gedung dan jalan. Tak ada habisnya. Akibatnya, secara wajar, desa menghadapi masalah yang seragam.
Keseragaman bahkan menyangkut soal pertanian. Pemerintah mengatur benih apa yang mesti ditanam petani di ladang. Pinus dan Kakao, dua komoditas yang dianjurkan. Benih itu bisa menuai keuntungan instan, tetapi tidak untuk jangka panjang. Sebab dua komoditas ini tidak ramah untuk jenis pertanian lain.
Hal ini berujung fatal, mengakibatkan pembukaan lahan hutan yang menyebabkan maraknya penyakit Malari. Pemuda desa menjadi menjauh dari tanah dan lahan pertanian. Mereka membuat pilihan untuk mengiba hidup yang lebih baik di selasar kota. Bekerja sebagai petani adalah hidup yang tidak lagi menjanjikan.
Kepadatan penduduk, ketimpangan ekonomi dan kepenatan jalan di Jakarta sebagai ibu kota negara, menjadi satu potret bagaimana imbas kebijakan masa lalu masih belum selesai. Selain itu masalah yang dahulu dihadapi pemerintah juga memungkinkan masalah yang lebih besar menganga lebih lebar untuk diselesaikan saat ini. Kita bisa belajar bahwa setidaknya dalam mengambil kebijakan dan pijakan mestilah dengan ukuran jangka panjang bukan semata mengeruk keuntung di masa sekarang lantas kemudian mewariskan bebannya untuk generasi mendatang.
Setidak-tidaknya melalui buku ini saya berasumsi kecil. Nurhady Sirimorok ingin memberi bisikan. Desa bukanlah tempat dimana keterbelakangan mesti ditolong oleh mereka yang hidup di tengah kota. Tetapi sebaliknya, desa merupakan sumber pelajaran bagaimana semestinya kota dikelola dengan kewarasan akal sehat dan kepedulian terhadap lingkungan.
Baiknya barangkali buku ini bisa menjadi pemantik dialog wacana desa. Terlampu muluk andai buku-buku maca mini bisa dibaca aparat desa. Entah, siapa yang akan membacanya. Masyarakat desa? Saya tak tahu meski berharap begitu. Para pemuda desa semoga diberi kedekatan pada wacana macam ini, membaca desa sebelum dewasa. Tentang desa, tanah dan segala isinya.
Penulis: Ali Nur Alizen