Oleh: Subro
(Penggiat Literasi di Kalimantan Barat)
Bulan Ramadan kali ini menjadi momen yang spesial. Spesial sebagai bulan baik di tengah kondisi bangsa (bahkan dunia) yang serba sulit akibat pandemi COVID-19.
Dampak sosial ekonomi dari penerapan jaga jarak aman (physical distancing), pembatasan sosial (social distancing) sampai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai terasa. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkrit dan terpadu dalam upaya pencegahan COVID-19 sembari menyalurkan bantuan tunai maupun nontunai bagi kelompok rentan terdampak.
Selain bantuan rutin bagi masyarakat miskin juga ditambah dengan bantuan lain guna mengantisipasi dampak lanjutan pandemi global ini. Tak terkecuali masyarakat juga turut ambil bagian, atas nama pribadi, profesi, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, termasuk organisasi politik bahu membahu mengulurkan tangan untuk meringankan beban sesama. Baik yang dilakukan secara diam-diam maupun terbuka. Ramadhan sebagai bulan berlipat gandanya amal kebaikan bertemu dengan kondisi sulit yang memerlukan uluran tangan dermawan.
Memberi merupakan perbuatan baik dan terhormat. Nabi menyebutnya dengan “Tangan di atas”, sebagaimana hadits Nabi yang cukup familiar terjemahannya, “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”. Makna populernya, tangan yang memberi lebih baik dari tangan yang menerima.
Di bulan penuh rahmat berselimut pandemi ini kita banyak menyaksikan aksi kemanusiaan di mana-mana. Media sosial juga punya andil besar turut menyebarkan aksi terpuji itu yang manakala menyaksikannya acapkali membuat kita tersentuh, haru, bahkan menitikkan air mata. Pertunjukan kedermawanan di satu sisi paralel dengan parade kemiskinan di sisi lain.
Lantas, bagaimana sejatinya standar kepantasan umum ketika kita memberi sembari mengambil dokumentasi? Bebaskah kita mempublikasikannya sesuka hati atau ada batas kewajaran yang mesti kita pahami kendati tak tertuang dalam regulasi? Di sinilah diperlukan kepekaan hati.
Sekali lagi, memberi merupakan perbuatan baik. Tapi bukan berarti yang menerima tidak lebih baik-untuk tidak mengatakan lebih hina-dari yang memberi. Silahkan terus memberi bahkan sebanyak-banyaknya, tapi mari barengi kepekaan sosial kita dengan kepekaan rasa. Rasa untuk menjaga perasaan si penerima.
Dalam beberapa tayangan di media-pada kasus tertentu-terkesan si pemberi mengambil lebih banyak dari si penerima daripada apa yang telah diberikan pemberi kepada penerima. Katakan sang hartawan dermawan atau sang relawan budiman datang memberikan bantuan sekarung beras atau paket bantuan berisi sembako (beras, mie instan, minyak goreng, tepung, susu, gula, sirup, kurma, ditambah sejumlah uang tunai-ini ukuran maksimalnya). Berapa lama kira-kira bantuan itu akan menopang hidup si penerima? Seminggu, sebulan, atau setahun? Katakan paling banter untuk sebulan.
Marilah kita lihat apa yang telah diambil pemberi dari si penerima. Ketika mendapat info si pemberi akan datang, si penerima mungkin sudah menunggu entah berapa lama, mengisi data dan tanda tangan bukti terima, diambil foto bahkan divideokan. Tak cukup dirinya sebagai penerima, bahkan seluruh anggota keluarganya termasuk kalau ada keluarganya yang sakit atau cacat, kondisi kediamannya yang memprihatinkan, belum lagi info pekerjaan, penghasilan, pendek kata semakin lengkap narasinya semakin baik.
Tak cukup sampai di situ, sebagai makhluk media sosial, si pemberi lalu mengunggah di akun media sosialnya dengan harapan atau sembari menjapri teman dan followernya dengan permintaan untuk like dan subscribe. Lantas viral dan mendapat keuntungan materi. Nah, di sinilah kepekaan rasa itu mesti hadir. Rasa menjaga perasaan penerima jika ia melihat publikasi sedemikian rupa, perasaan keluarganya di seberang sana, perasaan anak-anaknya yang kelak akan tumbuh dan mungkin bermain gadget bersama teman sebayanya, kawan sekolahnya. Bagaimana jika kelak karena video reality show masa lalu itu anaknya akan dibully teman-temannya. Bahkan tak mau sekolah dan mengurung diri di rumah.
Tanpa kepekaan itu, maka yang terjadi sesungguhnya tangan di bawah telah berpura-pura menjadi tangan di atas, atau ada tangan terselubung yang telah mengambil keuntungan dari hubungan sebab akibat tangan di atas dan tangan di bawah. Padahal kita tahu bahwa kedermawanan si kaya (tangan di atas) dan do’a si miskin (tangan di bawah) itu sama pentingnya. Memberi tanpa harus mengeksploitasi. Jika untuk dokumentasi sewajarnya saja dengan seizin doi. Si miskin juga manusia, punya rasa punya hati. Mari memberi dengan tetap menjaga harkat dan martabat si penerima. Salam hormat buat para hartawan dermawan yang selalu berbuat dalam sunyi publikasi.