Media Sosial dan Toleransi Beragama

819
Foto: elsaonline

Konflik dan intoleransi antaragama belakangan ini mengalami peningkatan, sehingga perlu mendapat perhatian khusus serta disegerakan penanganannya. Apalagi kini masyarakat terhubung dengan dunia internet, pesan-pesan toleransi maupun intoleransi di media sosial diduga dapat menjadi salah satu mesin yang bisa mempengaruhi toleransi maupun intoleransi seseorang terhadap keberagaman. Namun, saat ini di Indonesia belum memiliki penelitian terkait hal tersebut yang berbasis eksperimen sosial.

Oleh sebab itu, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian tentang media sosial dan toleransi dengan menggunakan metode between-subject experiment. Eksperimen dilaksanakan sepenuhnya melalui media daring (Google forms) dikarenakan adanya wabah COVID-19 yang tidak memungkinkan pertemuan tatap muka dengan partisipan di laboratorium.

Terdapat 74 partisipan yang bergabung dalam eksperimen ini dan (tanpa sepengetahuan mereka) dibagi ke dalam lima kelompok manipulasi: paparan konten media sosial netral, Islam toleran, Islam negatif tidak toleran, Kristen positif toleran, dan Kristen tidak toleran.

Hasil Penelitian

Berikut ini beberapa hasil penelitian tentang media sosial dan kaitannya dengan toleransi beragana.

(1) paparan terhadap berbagai jenis konten media sosial yang menunjukkan toleransi (baik oleh pemilik akun media sosial Islam maupun Kristen) akan dipersepsikan lebih kompeten dan hangat dibandingkan pemilik akun media sosial dengan konten netral dan pemilik akun media sosial dengan konten tidak toleran (baik Islam maupun Kristen);

(2) Partisipan akan merasa lebih kagum terhadap pemilik akun yang toleran, baik Islam maupun Kristen, dibandingkan dengan pemilik akun yang netral dan pemilik akun yang tidak toleran (baik Islam maupun Kristen), dan begitu pula sebaliknya;

(3) Tendensi partisipan untuk melakukan perilaku yang mendukung pemilik akun Islam dan Kristen toleran, baik secara aktif maupun pasif, akan lebih tinggi dibandingkan kepada pemilik akun netral dan pemilik akun Islam dan Kristen tidak toleran dan begitu pula sebaliknya;

(4) Paparan terhadap berbagai jenis konten media sosial (netral, Islam toleran, Kristen toleran, Islam fanatik, dan Kristen tidak toleran) akan memengaruhi evaluasi partisipan terhadap pemilik akun secara umum.

Penelitian ini merekomendasikan kebijakan sebagaimana berikut:

(1) pemerintah perlu menggunakan media sosial untuk sarana peningkatan harmonisasi antarumat beragama dengan menggunakan akun-akun yang toleran;

(2) perlu lebih banyak advokasi peningkatan harmoni antarumat beragama yang menggunakan teknologi yang digunakan generasi milenial dan di bawahnya;

(3) menggunakan media daring untuk kegiatan-kegiatan kooperatif dan kontak antarumat beragama,;

(4) adanya upaya kerja sama dengan pihak media sosial (misal instagram) untuk merekomendasikan akun-akun toleransi kepada pengguna media sosial supaya algoritma preferensi media/konten penuh akun/konten mengenai toleransi.

Bentuk kerja sama ini juga bisa dalam bentuk advokasi atau pun menggunakan media online untuk kegiatan kooperatif antar-umat/antar-agama. Ini adalah hal yang penting dan mendesak. Karena, dunia maya adalah suatu tempat yang memberikan penggunanya fitur untuk mengkonsumsi konten yang dikurasi sendiri melalui rekomendasi postingan, riwayat kunjungan situs-situs, dan lain-lain.

Dalam konteks intoleransi, jika seseorang hanya mengkonsumsi konten tentang intoleransi maka konten tersebut akan terus muncul dan akan mempengaruhi wawasan pengguna menjadi sempit. Serta akan dipenuhi dengan hal-hal bersifat intoleran di mana pengguna akan kemungkinan besar membawakan hal-hal tersebut ke kehidupan sehari-hari serta memengaruhi orang lain di sekitarnya. (MZN)