Mancangah; Kisah Aryanti dan Segala Impiannya

674
aryanti
Photo by M.T ElGassier on Unsplash

Aryanti sudah menduga di mana ia akan berakhir. Di tempat ini dengan posisi seperti ini. Inilah alasan mengapa Aryanti dulu selalu menolak untuk meneruskan sekolahnya. Betapapun ia menyukai ilmu yang serasa melambungkannya ke cakrawala dunia, ia tahu semua akan sia-sia belaka. Ketika kedua orangtuanya meminta untuk meneruskan kuliahnya, Aryanti sangat meragukan anjuran itu.

Aryanti merasa tidak penting baginya untuk melanjutkan kuliah. Perkuliahan akan membuka pikirannya dan membuatnya mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Buat apa? Toh pada akhirnya ia akan kembali ke tempat di mana ia berasal. Di sini, dengan posisi seperti ini. Aryanti menyeka peluh yang membasahi pipinya. Tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Kedua kakinya pegal luar biasa. Mukanya tentu saja terlihat sangat berantakan. Aryanti tidak ingat lagi berapa banyak pekerjaan yang sudah dikerjakannya sejak subuh tadi. Begitu satu pekerjaan selesai, pekerjan lainnya menunggu. Begitu seterusnya seolah tidak ada habisnya.

Baca juga: Ketika Perempuan Menulis Perempuan – Resensi Buku

Aryanti belum sempat mendudukkan pantatnya barang sejenak pun sejak tadi pagi. Pekerjaan dapur dan tetek bengek rumah tangga ini seolah memutarnya seperti roda yang tidak tahu kapan akan berhenti. Suaminya, Darma Kusumah, tampaknya baru bangun. Aryanti mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Darma Kusumah tampaknya sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebentar lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan berangkat ke Cipaganti, tempat ia bekerja.

Darma Kusumah seorang Pegawai Pajak. Pekerjaan yang selalu membuat suaminya tidak pernah betul-betul mengajaknya bicara. Dia memang sering berkata-kata, namun kata-kata itu hanya membutuhkan pendengar, bukan lawan bicara. Darma Kusumah lebih sering terlihat sepeti bermonolog, berbicara dan kemudian memberikan komentar sendiri atas pembicarannya. Aryanti mungkin hanya menjadi cermin yang memantulkan bayangan suaminya.

Darma Kusumah juga sering terlihat terlalu sibuk denan kegemaranya sendiri. Darma Kusumah betah seharian dengan burung perkututnya yang sudah lama ia pelihara dan tidak memedulikan apapun, selain bermain dengannya. Secangkir kopi dan sepiring combro kesukaanya selalu menemaninya mengerjakan kegemarannya itu. Apakah laki-laki ini betul-betul membutuhkan seorang istri?

Aryanti tidak ingat kapan terakhir ia betul-betul bicara dengan suaminya. Apakah Darma Kusumah mewakili kemiripan sifat yang dimiliki oleh sebagian besar orang di kampung mereka? Lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan pelit mengucapkan kata-kata. Bukankah bicara bisa membuka pikiranmu?

Ah sudahlah, tidak ada gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah dipilihnya itu. Laki-laki yang di pilihkan oleh Ibu untuknya dan Aryanti menerimanya ketika ia merasa putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada saat batang usianya semakin tinggi. Pernikahan ini mungkin hanya menjadi tempat berlindung baginya karena ia takut disebut perawan tua. Dulu, Aryanti tidak pernah mencintai Darma Kusumah. Ternyata makin hari ia makin membenci laki-laki itu. Masih layakkah apa yang sedang di jalaninya ini disebut sebagai sebuah pernikahan?

Aryanti merasa menyesal tidak pernah memberi ruang pada perasaannya sendiri. Seharusnya ia biarkan perasaan itu memilih laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Perasaan cinta ternyata hanya tumbuh sekali dalam hidupnya. Cinta itu untuk teman kuliahnya di Kedung Kencana. Seorang laki-laki Sunda. Cinta itu terpaksa ia telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan dan membiarkannya tersekap di ruang sempit di dalam ususnya.

Ibu dan Bapak tidak pernah bisa menerima Laki-laki Sunda menjadi suami Aryanti, mereka tidak dapat menerima segala kerumitan yang mungkin terjadi bila ia menikahi orang yang begitu berbeda latar belakangnya. Ratusan pertanyaan pun bermunculan di benak mereka dan jawaban dari ratusan pertanyaan ini adalah tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin sebanyak seratus kali. Aryanti seolah dibenturkan dengan dinding yang maha tebal.

Namun, di balik itu, bagi Aryanti, kedua orangtuanya selalu memiliki sikap yang mendua, mereka beitu terobsesi menambahkan huruf S.Pd di belakang namanya, seperti anak kecil yang begitu menginginkan mainan kegemarannya. Ibu dan Bapak terus mendorongnya rajin belajar dan meraih gelar sarjana Keguruan, waktu itu, Aryanti mengira kedua orangtuanya memang sungguh-sungguh berharap ia akan mejadi perempuan yang intelek. Kini ia tahu, apa yang Ibu dan Bapak lakukan tidak semata-mata demi gengsi bahwa anak-anak mereka adalah orang yang berpendidikan. Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan yang telah mereka pelajari.

Ibu dan Bapak sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Aryanti, namun mereka tidak ingin ia lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Aryanti yang masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Ibu dan Bapak sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu mengenang Aryanti sebagai anak mereka yang bebal. Tidakkah mereka tahu bahwa pengetahuannya sudah jauh melesat ke angkasa? Apakah gelar dapat di pisahkan dengan ilmu yang dimilikinya?

Tepat seperti dugaannya. Aryanti hanya bisa pasrah ketika keluarganya menuntut ia membuang semua ilmu yang dimilikinya ke tempat sampah. Kesarjanaan itu kata mereka hanya membuat Aryanti menjadi perempuan yang tinggi hati. Ia direnggut dari tempat yan dicintainya dan dipaksa menempati “ruang sempit” yang ia rasakan seperti penjara. Disinilah segala kekuatannya dilucuti sehingga segala bentuk pikiran yang pernah dimilikinya dipaksa hanya bisa merinkuk tak berdaya.

Aryanti tahu baha suatu saat pikiran itu akan sekarat dan tewas, dan semua orang disekelilingnya malah bersorak dengan segala derita yang dialaminya seolah-olah Aryanti bukan seorang manusia. Aryanti selalu ingin bertanya-tanya dalam hati, mengapa laki-laki selalu mendapat pembelaan yang berlebih-lebihan?

“Suamimu memintamu untuk berhenti bekerja, Aryanti. Dia bilang begitu pada Ibu.”
“Kenapa dia tidak bicara langsung pada neng? Bukankah dia masih punya mulut.”
“Dia takut kamu menjadi marah, karena ia tahu kamu perempuan yang keras.”
“Apakah dia memang seorang laki-laki?”
“Kenapa kamu mengata-ngatai suamimu sendiri?”
“Suami pilihan Ibu tepatnya.”
“Kenapa kamu masih saja suka membangkang seperti dulu. Apa umur juga belum juga mendewasakanmu?”
“Menurut neng Ibu-lah yang belum dewasa di umur Ibu yang sekarang. Neng amat mecintai pekerjaan sebagai guru. Mengapa tiang harus berhenti? Bukankah tiang bisa membantunya secara ekonomi?”
“Suamimu merasa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada dirinya. Dia cemburu pada pekerjaanmu.”
“Laki-laki kurang kerjaan.”
“Belajarlah menghargai suamimu.!”
“Kang Darma yang tidak pernah menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa aku tidak boleh mengembarakan pikiranku? Apa yang ia inginkan dari neng?”

“Dia ingin kamu lebih banyak di rumah untuk menemaninya, bukannya sibuk dengan urusanmu Sekolah. Lagi pula pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Urusan rumah harus saja harus minta tolong orang lain. Bukankah seorang istri yang seharusnya mengerjakan semua itu?”

Aryanti hanya mendesah panjang. Ia sama sekali tidak setuju dengan kalimat terakhir Ibu. Sebuah keluarga yang harus mengerjakan semuanya. Sebuah keluarga terdiri dari istri dan suami. Mengapa semua orang tidak pernah berubah? Apakah ketika seorang perempuan dilahirkan ke dunia, ia terlahir sebagai manusia atau hanya sebuah barang yang kebetulan bernyawa?
“Bagaimana kalau neng menolak?”
“Ibu dan seluruh keluarga tidak akan menjadi keluargamu lagi. Ibu tidak mau anak Ibu menjadi tinggi hati karena pendidikannya.”
“Bukankah Ibu adalah keluarga neng. Mengapa Ibu malah membela Kang Darma?”
“Karena kamu sudah menyimpang dari kewajibanmu sebagai istri.”

Aryanti meradang, namun ditekannya kuat-kuat segala amarah jauh di dasar hatinya. Bahkan untuk marah saja, ia tidak memiliki tempat, Ibu yang dikenalnya sejak bocah tidak pernah berubah. Seorang ibu yan terus-menerus mngkritik anak perempuannya. Aryanti selalu merasa menjadi anak yang penuh kesalahan dan kebebalan di hadapan ibu.

Sejak kecil Ibu selalu mengatai-ngatai Aryanti dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan seperti babi. Itu badan apa gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau melihat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan Ibu, Aryanti merasa menjadi manusia yang paling gagal.

Aryanti tahu ini bukan kesalahan Ibu semata-mata. Barangkali seluruh cakrawala pikiran ibu dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Ibunya tidak ingin putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang dimengerti Ibu menyoal peranan perempuan. Karena Ibu juga pernah merasakan semua apa yang ia rasakan.

Bukankan Ibu lahir dan di besarkan oleh luka batin yang sama di lubuk hatiya? Sebagai perempuan selalu di pandang sebagai komoditas, sebagai objek. Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja Ibu tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut anaknya untuk mengamini nilai-nilai yang di percaya oleh Ibu. Hanya saja bagi Aryanti, tidak sudi mengamini nilai-nilai itu. Sebagai manusia ia merasa berhak diperlakukan sama dengan laki-laki.

“Baiklah neng menuruti Ibu sekarang, tapi bukan karena neng merasa Ibu benar. Neng akan berhenti bekerja, tapi jangan harap neng akan menghormati Kang Darma. Pernikahan ini memang masih ada, tapi bagi neng ini bukan pernikahan neng. Neng sudah mati dalah pernikahan ini yang tersisa hanya raga.”

Wajah Ibu terlihat memerah. Dengusan napasnya terdengar sangat keras. Aryanti hanya memandangnya dengan mata tenang. Ia tahu hanya ketegangannya yang membuat ia menjadi pemenang.

Hari-hari berikutnya Aryanti memusatkan perhatian pada setumpuk pekerejaan rumah tangga yang harus dikerjakannya. Aryanti bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu. Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya. Darma Kusumah terlihat menyeruput kopinya dengan begitu nikmat. Tidak pernah ada senyum atau sapa yang diperlihatkan Aryanti untuk suaminya, namun Aryanti kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sibuk mengoceh mengenai pekerjaannya sendiri. Aryanti semakin sadar, bagi suaminya ia bukanlah seorang istri, namun tak lebih dari sekadar perhiasan ruumahnya saja. Perempuan yang akan mengabulkan seluruh mimpi-mimpinya akan kesempurnaan dan kekuasaan laki-laki.

Aryanti selalu mengingat dirinya dengan posisi yang sama. Ia dengan mata kosong memandang ke luar jendela dapur. Ia merasa terkurung dalam penjara yang di sediakan untuk perempuan. Seolah dapur menjadi satu-satunya takdir bagi perempuan sekalipun memasak bukan kegemarannya. Bukankah di luar sana ada begitu banyak macam warna-warni dunia yang bisa di coba oleh perempuan.

Namun ia di paksa berada di tempat yang tidak diinginkannya, dan ia pun harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan seluruh energi yang dimilikinya. Setiap hari. Semua pekerjaan yang tiada habisnya itu akan menghampakan dia, sehingga tidak akan pernah ada ruang untuk berfikir. Mungkinkah dunia begitu takut pada pikiran perempuan? Akankah pikiran perempuan menjelma serupa bom waktu yang akan meledakan dunia?

Penulis : Oman Kholilurrohman
(Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA)