Saat Hari Raya Idul Fitri tiba, seringkali kita mendengar ucapan kalimat “semoga kita kembali ke fitrah”. Lalu sebenarnya apa makna di balik istilah “fitrah” itu sendiri?
Menurut ahli Tafsir Al-Qur’an Prof. Quraish Shihab (2020: 351-352) dalam buku Kosakata Keagamaan, kata فطرة (fithrah, fitrah) terambil dari kata فطر (fathara) yang mempunyai beragam arti, antara مain membuat pertama kali, mencipta, membelah, terbuka, kecenderungan hati, butir-butir buah pada awal masa tumbuhnya.
Dari makna-makna yang terkandung pada kata ini lahir antara lain kalimat فاطر السموات (fathir al-samawati) yakni Allah Pencipta semua langit, juga kata انفطر (infathara) dalam arti langit terbelah/terbuka. Demikian juga kata إفطار (ifthar) dalam arti berbuka atau menghentikan puasa.
Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan kata “fitrah” dapat diartikan sebagai kesucian karena manusia diciptakan pertama kali dalam keadaan suci, tidak membawa dosa. Dari sini, antara lain hari raya setelah bulan puasa Ramadan usai dinamai “Idul Fitri” yakni hari raya kesucian fitrah.
Hal itu karena dengan berpuasa sebulan penuh diharapkan dosa-dosa antara manusia yang berpuasa dengan Allah terampuni dan dengan saling memaafkan antar sesama diharapkan yang merayakannya kembali kepada kesucian dan bebas dari dosa.
Dari sini lahir ucapan populer من العائدين والفائزين (minal ‘aidin wa al-faizin) yang maknanya semoga kita termasuk kelompok orang-orang yang kembali kepada fitrah kesucian dan termasuk pula orang yang memperoleh keberuntungan atau diampuni dan masuk ke surga. Perlu dicatat bahwa kata faiz dalam berbagai bentuknya digunakan oleh Al-Qur’an dalam arti pengampunan dosa dan masuk ke surga.
Ada lagi yang memahami maksud dari kata “fitrah” yang bermakna asal kejadian dalam arti kembali ke jati diri sebagai manusia yakni makhluk sosial yang memiliki naluri dan kecenderungan sesuai ciptaan Allah sejak asal kejadian. Manusia sejak asal kejadiannya berjalan dengan kaki, melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, masing-masing disesuaikan dengan objeknya.
Demikian juga berpikir dengan premis-premis yang benar dan logis, cenderung kepada keindahan, kebaikan serta hak dan keadilan. Nah, diharapkan dengan selesainya puasa, maka manusia dapat kembali ke asal kejadiannya bukan dengan sekadar memfungsikan panca indranya sesuai dengan fungsi yang diharapkan darinya, tetapi juga menggunakan kemampuan akliahnya secara baik dan benar serta menggunakan juga potensi rohaniahnya secara proporsional untuk kembali mendekat kepada Allah.
Itulah sifat-sifat dasar manusia sejak kelahirannya yang dapat menyimpang jika terpengaruh oleh satu dan lain hal. Salah satu fitrah terpenting yang digarisbawahi Al-Quran adalah fitrah keagamaan. Pemahaman ini didapat dari Surat al-Rum ayat 30 yang menunjuk fitrah yang Allah ciptakan pada manusia atas dasarnya bahwa “itulah agama yang benar”. (MZN)