Maaf, Tak Ada Ramadhan untuk Kita

2602
Pixabay

Oleh: Khoirul Anam
(Pegiat Literasi dan Dosen Bahasa Indonesia di Sampoerna University)

Selain korona yang tak jua sirna, masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, ternyata juga harus menerima kabar kurang mengenakkan lainnya, yakni kenyataan bahwa Ramadhan tak benar-benar datang. Tentu hal ini tak disebabkan oleh beberapa hal misalnya, aturan pemerintah yang melarang umat untuk berpuasa demi menghindari korona, bukan itu sebabnya.

Satu-satunya alasan mengapa Ramadhan tak datang adalah perubahan ejaan pada kata yang merujuk pada bulan ke-9 di tahun hijriah itu. Menurut aturan bahasa, sebagaimana dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penulisan yang benar adalah Ramadan, bukan Ramadhan.

Aturan yang baru ini mendepak huruf “H” dari kata “Ramadhan” lantaran kaidah kebahasaan kita sedang melakukan diet ketat terhadap gabungan huruf konsonan, dalam konteks ini adalah huruf “d” dan “h”. Diet ini perlu dilakukan karena seringkali huruf konsonan yang menumpuk justru menyulitkan pembacaan. Ketimbang menyiksa lidah dengan melafalkan “dzikir” misalnya, mari menyederhanakannya menjadi “zikir” saja. “Dzuhur” menjadi “zuhur”, “ustadz” menjadi “ustaz”, dst.

Karenanya, diet terhadap gabungan huruf konsonan hanya berlaku pada tumpukan huruf mati yang menyulitkan pembacaan saja; gabungan huruf konsonan yang tak menyulitkan pembacaan tetap ditulis seperti biasa, tak ada perubahan. Contoh: “nyamuk” (n dan Y), “mengantuk” (n dan g), “kritis” (k dan r), dst.

Mari kembali ke “ramadhan” yang kini menjadi “ramadan”. Bagi sebagian orang, perubahan terhadap kata ini justru memunculkan masalah baru, utamanya dari segi pemaknaan. Dirunut dari bahasa aslinya (Arab), “ramadan” yang berarti “panas yang terik” berasal dari kata “ramida” atau “ar-ramad”, penekanan pada huruf “h” yang dihilangkan justru mengubah makna dasar dari kata ini.

Sejumlah sumber menyebut pelafalan “ramadan” yang lebih ringan ketimbang “ramadhan” justru merujuk pada makna “orang yang sakit mata hingga nyaris buta”, tak ada kaitannya sama sekali dengan makna panas oleh terik matahari yang kerap dimaknai sebagai lambang gosongnya (hilang) dosa-dosa orang yang berpuasa lantaran dibakar oleh matahari.

Perbedaan pemahaman seperti di atas sebenarnya adalah hal yang lumrah belaka. Sebabnya, proses penyerapan bahasa asing umumnya dilakukan dengan dua cara; transkripsi dan transliterasi. Jika transliterasi dilakukan dengan menyerap kata asing sesuai dengan kaidah kebahasaan yang ada, transkripsi justru dilakukan dengan hanya bertumpu pada pengucapan kata dari bahasa aslinya, sehingga kerap tak sesuai dengan kaidah kebahasaan.

“Tak sesuai dengan kaidah kebahasaan bukan berarti otomatis salah, sebab kaidah kebahasaan hanyalah panduan, bukan kumpulan kewajiban. Semuanya kembali ke kenyamanan kita selaku pengguna bahasa”.

Jadi, Anda lebih suka mana; ramadhan atau ramadan? Ramadan saja, ya!