Angka perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus.
Di kompleks rumah saya yang sebagian besar PNS dan pegawai BUMN, hanya ada dua duda, yang satu sudah tua, tetangga saya, satunya lagi kakak saya. Saya tidak pernah mendengar gosip buruk tentang mereka berdua.
Yang saya baca di berita, di daerah asal saya di Wonosobo, yang penduduknya hanya 800,000 jiwa, setiap tahun ada 2000 janda baru dan 150-an pasangan meminta dispensasi agar menikah di bawah umur.
Penyebab Perceraian
Penyebab terbanyak perceraian, karena pernikahan dini. Daripada anak perempuannya salah pergaulan dan hamil di luar nikah, lebih baik dinikahkan. Namun, jumlah pengangguran yang tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan, menyebabkan sebagian besar pasangan muda, hidup dalam kemiskinan.
Sebab hidup dalam kemiskinan, yang perempuan menjadi buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara laki-lakinya, tugasnya menghamburkan kiriman uang dari istrinya, beberapa dari mereka pun selingkuh.
Mengetahui uangnya dihamburkan dan bahkan diselingkuhi, buruh-buruh migran yang sudah mandiri secara ekonomi – alias sudah kaya- ini pun menceraikan pasangan mereka.
Beberapa dari mereka sudah punya anak, dan nasib anaknya pun terlantar. Bagi anak-anak ini pilihannya cuma dua, masuk pesantren, atau ikut kakek-neneknya, yang sudah terlalu renta untuk benar-benar mendidik cucunya.
Anak-anak yang terlantar ini akan terlibat dalam pergaulan bebas, yang menurut bidan setempat, menghasilkan banyak bayi-bayi di luar nikah. Jumlah bayi di luar nikah yang tinggi menyebabkan orang-orang tua setempat berpendapat, mending menikahkan anak perempuannya selepas lulus SMP/SMA.
Demikianlah lingkaran setan ini berputar dari waktu ke waktu.
Pentingnya Peran Keluarga dan Kerabat
Melihat tingginya angka perceraian, saya jadi berpikir menceraikan pasangan itu mudah. Iya, proses hukumnya memang menyebalkan, tapi jika ada dukungan dari orang tua atau kerabat dekat, tentu akan lebih mudah.
Namun di lingkungan keluarga yang lebih religius, hanya “mandiri secara ekonomi’ tak bisa menjadikan perempuan direstui menjadi janda. Bahkan, tidak ada kata “janda” di keluarga-keluarga ini. Laki-laki berhak dilayani dan sebaiknya diperbolehkan memiliki dua istri.
Di kasus teman saya, Ia sering mendapat bogem mentah suami, setelah bertikai, suaminya main tinder sembunyi-sembunyi. Anaknya tidak luput dari perlakuan sewenang-wenang si suami, kadang dicubit, dikeplak, dipukul, hingga lebam.
Namun, si istri enggan bercerai. Sebab apabila keluarganya tahu Ia ingin bercerai- hanya ingin lho, Ia akan dikucilkan dari keluarga. Ibunya pernah bilang, “wajar bila suami memukul kamu, justru kamu yang harus lebih sabar menghadapinya.”
Sebagai lulusan S2 Universitas terbaik di Indonesia, Ia hanya bisa berkeluh-kesah pada teman-temannya dulu semasa kuliah. Tanpa ada solusi.
Jadi, bercerai, tidak selamanya mudah, setelah bercerai dan menjadi janda, hidup juga tidak lebih mudah.
Janda dimata Umum
Di novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar”, karangan penulis terpopuler Indonesia, Eka Kurniawan. Diceritakanlah Rona Merah, si Janda Gila yang diperkosa oleh penjahat, karena meskipun gila, Rona Merah amat cantik.
Lain halnya dengan buku “Raden Mandasia” karangan Yusi Avianto Pareanom, Raden Mandasia tergila-gila dengan kecantikan Nyai Manggis, si janda cantik, pemilik rumah inap.
Dari dua buku sastra ini, Janda tidak lepas dari kenikmatan duniawi dan keelokan wajah atau bentuk tubuhnya. Janda terkesan lebih mudah dipacari, lebih murahan, layaknya barang, kalau sudah pernah terpakai, nilai jualnya langsung turun.
Janda juga terkesan lebih berpengalaman dalam urusan ranjang – Saya sendiri heran, mengapa janda selalu lebih berpengalaman dalam urusan ranjang, sementara pria, baik itu lajang atau duda, tidak identik dengan hal tersebut.
Mungkin dalam urusan ranjang, pria selalu seperti bocah – Namun urusan ranjang adalah urusan tabu, di negara ini, tahu sedikit tentang seks saja tidak boleh, apalagi tahu banyak. Seksolog saja mendapat stigma negatif, apalagi janda.
Kerasnya Status Janda
Stigma “murahan” dan “hebat di ranjang” langsung menempel selepas perempuan mengenakan predikat janda. Kastanya bisa dibilang lebih bermartabat dari pekerja seks tapi lebih rendah dari perawan tua.
Sebagai orang Islam, saya sempat mikir, meski Nabi Muhammad menikahi khadijah yang janda, kok bisa-bisanya stigma janda amat buruk di negeri mayoritas muslim ini dan yang lebih populer justru urusan poligami.
Di negeri ini, janda sepertinya bukan manusia, sehingga petuah Gus Dur untuk “memanusiakan manusia” sepertinya kurang cocok bagi janda. Namun, meski bukan manusia seperti kita, tingkah laku janda selalu jadi bahan omongan menarik.
Kalau janda hinggap di lelaki ini, lalu hinggap lagi di lelaki yang lain, langsung jadi omongan. Padahal kelakuan duda, tidak jauh berbeda.
Perjuangan janda agar dapat mendapat reputasi baik, dalam mitologi Yunani layaknya sisifus yang dikutuk mendorong batu ke puncak gunung. Sekeras apapun usaha sisifus, begitu batunya sampai di puncak gunung, lalu batu itu menggelinding lagi ke bawah.
Sekeras apapun usaha janda agar hidup bahagia, meski tidak ada motivator atau workshop janda yang memberi petuah-petuah agar kuat hidup sebagai janda, seperti Khadijah, seperti Cut Nyak Dien atau Megawati. Janda akan dikenal sebagai janda, “murahan” dan “hebat di ranjang”
Janda adalah Pilihan
Yang lebih menyedihkan dari janda ialah janda miskin. Sama-sama janda tapi beda tingkat ekonominya. Memang ada janda yang sukses menjadi tulang punggung keluarga dan membesarkan anak-anaknya.
Tapi ada juga cerita seperti teman saya, rela dipukul suami daripada hidup menjadi janda, padahal gajinya dua kali lipat gaji suaminya. Atau ada lagi cerita yang saya baca di media online, seorang Ibu pasrah si Suami memperkosa anak perempuannya, karena takut diceraikan.
Penulis: Affix Mareta