Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang mengikutsertakan semua anak setelah gagalnya sistem pendidikan segregasi dan integratif. Pendidikan inklusi sebagai pengembangan dari program pendidikan terpadu yang pernah berjalan di Indonesia sekitar tahun 1980. Pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang diucapkan oleh UNESCO yang berasal dari kata Education for All yang berarti pendidikan ramah bagi semua orang dengan pendekatan pendidikan yang ditujukan untuk semua orang.
Situasi Pendidikan Pada tahun 1985 di Indonesia masih banyak anak usia sekolah yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar, karena kemampuan pemerintah untuk menyediakan sekolah bagi masyarakat belum maksimal. Hal ini terlihat di Kabupaten Tangerang, khususnya di Kecamatan Ciputat pada tahun 1985 yang hanya memiliki sedikit sekali TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah khususnya di bidang pendidikan mencanangkan wajib belajar 9 tahun yang artinya setiap anak yang berusia antara 7 sampai 9 tahun wajib bersekolah.
Baca Juga: Peran TPA Dalam Membentuk Pendidikan Karakter Anak
Melihat demografi penduduk di Kecamatan Ciputat yang rata-rata terdiri dari anak-anak usia wajib sekolah, almarhum Drs. H Enggus Subarman dan Ibu Kurniasih Subarman yang seorang pendidik tergerak untuk membantu pemerintah di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah yang berlokasi di Kecamatan Ciputat Timur pada tahun 1985. Mengenai sekolah inklusi, SDS Dua Mei menjadi sekolah inklusi ketika pemilik sekolah memiliki anak dengan keadaan berkebutuhan khusus.
Pendirian TK pada tahun 1985, SMP pada tahun 1986, SMA pada tahun 1988, SD pada tahun 1990, dan SMK pada tahun 1990. Jumlah pengajar di SDS Dua Mei Tangerang Selatan terdapat 11 orang yang terdiri dari 6 orang guru kelas, 3 orang guru pendamping, dan 2 orangguru mata pelajaran. Jumlah peserta didiknya sebanyak 77 siswa yang di dalamnya terdapat 6 orang anak berkebutuhan khusus (tunarungu dan autis).
Dari hasil observasi dan wawancara terkait pelaksanaan dan jenis layanan Pendidikan bagi anak tunarungu dan autis baik dalam pelayanan umum maupun khusus sudah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan secara khusus tersebut dengan menyiapkan alat bantu, media, ruangan, dan hal lain yang dapat mendukung proses belajar mengajar. Dalam berkomunikasi, ada beberapa metode komunikasi yang dapat diterapkan pada penyandang tunarungu antara lain dengan sistem isyarat, membaca ujaran dari gerak bibir atau mimik, ejaan jari, gesti, pantomimik, bantuan alat bantu dengar, menulis, menggambar serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu penyandang tunarungu.
Pada sekolah Dasar Swasta Dua Mei sendiri anak tunarungu dan autisme diberikan perlakuan khusus dalam menjalani proses pembelajarannya karena hambatan yang dimilikinya. Oleh karenanya SDS Dua Mei menyiapkan guru pendamping agar ketika anak mengalami kesulitan dalam memahami pembelajaran dapat dibantu oleh guru pendamping tersebut. Pada Sekolah Dasar Swasta Dua Mei, murid autis pun berkelakuan sama dengan anak autis pada umumnya, yang menyebabkan beberapa hambatan pada interaksi sosial, komunikasi dan pola bermain, serta aktivitas dan minat pun terhambat. Dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan ibu kepala sekolah, murid autis di sana setiap satu orang memiliki guru pendamping untuk melancarkan pembelajarannya, tetapi untuk murid yang kurang mampu membayar layanan guru pendamping tersebut hanya mengikuti kelas dengan sama saja tanpa banyak treatment khusus seperti anak yang mampu membayar layanan guru pendamping tersebut. Namun, saat ini masih kondusif dan baik untuk perkembangan murid-murid autis ini, karena kurikulum dan pembelajaran mereka disesuaikan.
Dalam seluruh kegiatan yang kita lakukan, terlebih kegiatan yang sudah tersusun dan terprogram dengan baik, pasti ada tantangan, faktor pendukung dan faktor penghambat. Tak terkecuali dalam pembelajaran di SDS Dua Mei Tangerang Selatan. Dari segi perangkat pembelajarannya, kurikulum yang digunakan saat ini masih menggunakan kurikulum 2013, namun di tahun ajaran depan menggunakan kurikulum merdeka.
Jika dilihat dari kompetensi yang ingin di capai, kurikulum pembelajaran banyak yang tidak sesuai dan harus dimodifikasi lagi oleh sekolah dan guru masing-masing sesuai dengan kondisi siswa di kelas. Seringkali dalam kurikulum yang dibuat oleh pemerintah bagi anak berkebutuhan khusus target yang ingin dicapainya terlalu rendah atau terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena pembuat kebijakan/kurikulum bukan orang lapangan hurusan PLB yang paham akan kebutuhan lapangan. Akhirnya sekolah memodifikasi kurikulum tersebut sesuai kebutuhan dan ketunaan yang ada. Pemodifikasian ini terutama pada indikator dan media pembelajaran. RPP dibuat oleh guru dan dapat dipakai beberapa kali sesuai kemampuan siswa.
Kendala lain juga sangat dirasakan terutama semasa covid yang belajar dengan pembelajaran daring. Masa itu sekolah mengganti pertemuan tatap muka dengan pertemuan daring seperti zoom. Guru cukup kesulitan karena fokus anak sangat terganggu terutama untuk berkebutuhan khusus. Untuk autis pun tidak kalah sulitnya, karena media pembelajaran yang ada di rumah belum tentu semuanya memadai. Selain itu, tidak semua orang tua yang peduli dengan perkembangan belajar anak, sebagian orang tua tidak mengerti dengan kebutuhan dan apa yang harus dilakukan, dan sebagian lainnya sibuk dengan pekerjaannya. Ketika covid, guru akan melakukan visit ke setiap rumah siswa/i nya sebanyak 2 kali dalam seminggu untuk memberikan materi pembelajaran. Disini perlu adanya komunikasi antara guru dan orang tua dalam proses perkemangan belajar anak.
Selain tantangan, terdapat juga faktor pendukung pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di SDS Dua Mei Tangerang Selatan seperti adanya kegiatan pembiasaan keagamaan setiap harinya dan juga kegiatan rutin mingguan di hari jumat. Kegiatan tersebut dilakukan di lapangan bagi seluruh siswa SDS Dua Mei Tangerang Selatan baik dari tingkat SD sampai SMA. Kegiatan tersebut antara lain shalat dhuha bersama, pembiasaan mengaji, dan berdoa bersama. Pembiasaan tersebut tetap ditanamkan walaupun anak-anak tidak mampu sepenuhnya mengikuti dengan baik.
Sebuah saran dan harapan dari pihak sekolah kepada pemerintah, adanya kurikulum tersendiri untuk menunjang pendidikan bagi ABK yang lebih baik lagi. Pemerintah seharusnya lebih banyak peduli juga terhadap ABK dengan adanya bantuan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai, adanya bantuan dana untuk ABK karena biaya terapis dan guru shadow tidaklah sedikit dan tidak sedikit pula yang tidak mampu.
Begitu juga harapan baik untuk perguruan tinggi terutama pada fakultas keguruan yang akan melahirkan banyak calon pendidik anak bangsa, supaya dikembangkan lagi mata kuliah pembelajaran inklusif dan difabelnya, dilakukan sosialisasi secara rutin tentang pembelajaran dan pendidikan bagi anak ABK dan ini menyuluruh bukan hanya untuk mahasiswanya saja.
Penulis adalah Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta