Laku Tasawwuf dengan Konstitusi Syari’at

470
Laku Tasawwuf Dengan Konstitusi Syari'at
photo by mistikus-sufi.blogspot.com

Dalam sebuah syair yang sangat populer dikatakan :

فشريعة كسفينة وطريقة # كالبحر ثم حقيقة در غلا

“Syariat adalah kapal, kemudian thariqah adalah lautan, dan haqiqat adalah mutiara yang mahal.”

Begitulah kira-kira hubungan antara syariat, thariqat, dan hakikat. Syariat merupakan ketentuan-ketentuan Allah baik larangan maupun perintah yang termaktub dalam Alquran dan Hadist. Sementara thariqah merupakan sikap berhati-hati dalam beramal dan haqiqat adalah puncak dari kesemuanya yang biasa diungkapkan dengan مشاهدة الربوبية yakni melihat dengan mata hati percikan-percikan cahaya ketuhanan Yang Maha Kuasa. Yang pertama (syariat) masuk kedalam ranah kajian fikih sementara yang kedua dan ketiga (thariqat dan hakikat) masuk dalam ranah kajian tasawwuf.

Seseorang yang mengamalkan laku tasawwuf seharusnya terlebih dahulu paham tentang syariat (hukum-hukum islam). Apabila tasawwuf ini lepas dari syariat maka bukan haqiqat yang akan didapatkan melainkan sesuatu yang menjerumuskannya pada kesesatan.

Baca juga: Mengenal Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Dalam kisahnya disebutkan bahwa disaat munajatnya kepada Allah, beliau digoda oleh Iblis dengan bisikan-bisikannya yang membolehkan segala sesuatu yang ada, baik yang halal maupun yang haram. Bisikan-bisikan itu dibungkus dengan pengakuan iblis bahwasannya dia adalah Allah. Andai saja beliau menyelami laku tasawwuf dan tak paham akan ketentuan-ketentuan syariat niscaya bisikan itu akan ditelan beliau mentah-mentah.

Fenomena tasawwuf yang tercerabut dari akar syariatnya juga menjadi perhatian Imam Syafi’i. Dalam syairnya beliau pernah berkata :

فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا # واني بحق الله اياك أنصح

وذاك قاس لم يذق قلبه تقى # وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح

” Jadilah engkau seorang yang sufi lagi faqih (paham tentang hukum-hukum islam). Demi Allah sesungguhnya aku menasihatimu.

Seseorang yang faqih saja tanpa dibarengi laku tasawwuf, hatinya akan keras dan sedikit rasa takwanya. Sementara seseorang yang menyelami laku tasawwuf tanpa dibarengi syariat  maka ia termasuk orang bodoh. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bisa memperbaiki dirinya ?”

Oleh karena itu alangkah bijaknya perkataan Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni dalam muqaddimah kitab al-Thabaqat al-Kubra yang berbunyi :

اعلم يا أخي أن علم التصوف عبارة عن علم انقدح فى قلوب الأولياء حين استنارت بالعمل بالكتاب والسنة. فكل من عمل بهما انقدح له من ذلك علوم وأداب و أسرار وحقائق تعجز الألسن عنها نظير ما انقدح لعلماء الشريعة من الأحكام حين عملوا بما علموه من أحكامها.

فالتصوف انما هو زبدة عمل العبد بأحكام الشريعة اذا خلا عمله من العلل وحظوظ النفس.

وقد أجمع القوم على أنه لا يصلح للتصدر فى طريق الله عز وجل الا من تبحر فى علم الشريعة وعلم منطوقها ومفهومها وخاصها وعامها وناسخها ومنسوخها وتبحر فى لغة العرب حتى عرف مجازاتها واستعاراتها وغير ذلك.

فكل صوفي فقيه ولا عكس.

” Ketahuilah wahai saudaraku! Ilmu tasawwuf adalah sebuah ilmu yang muncul di hati para kekasih Allah yang telah tercerahkan manakala mereka melakukan sesuatu yang termaktub dalam Alquran dan hadist.

Tiap-tiap orang yang melakukan apa yang termaktub dalam keduanya, maka di hatinya akan muncul berbagai macam pengetahuan, adab, rahasia, dan hakekat yang tidak mampu diungkapkan oleh kata-kata. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada ulama syariat manakala mereka melaksanakan bunyi perintah hukum-hukum syariat.

Tasawwuf merupakan intisari dari pelaksanaan hukum-hukum syariat manakala ia terbebas dari penyakit-penyakit hati dan godaan nafsu.

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang bisa melewati jalan tasawwuf (سالك) adalah mereka yang telah mengetahui ilmu syariat, mengetahui makna redaksi syariat, baik yang sifatnya eksplisit (manthuq) dan implisit (mafhum) maupun yang sifatnya general (umum) dan spesifik (khusus) serta mengetahui perihal nasikh-mansukhnya sebuah redaksi dalam syariat itu sendiri. Disamping itu mereka juga harus mendalami pengetahuan tentang bahasa arab sehingga mampu mengetahui redaksi-redaksi syariat yang sifatnya majas, isti’arah, dsb.

Oleh karena itu, seseorang yang sufi pastilah ia adalah seorang faqih dan seseorang yang faqih belum tentu ia adalah seorang sufi. ”

Dalam perkataan tersebut , Imam Sya’roni mengatakan :

  كل صوفي فقيه ولا عكس

” Setiap ahli tasawwuf pastilah dia seorang faqih bukan sebaliknya “. Perkataan ini sangat menarik karena muncul dari seseorang yang dijuluki al-qutb (wali qutb).

Pendapat senada bahkan mendukung kepada urgensitas konstitusi syariat dalam tasawwuf adalah perkataan seorang sufi besar, Abu al-Hasan al-Syadzily. Beliau berkata :

اذا عارض كشفك الكتاب والسنة فتمسك بالكتاب والسنة ودع الكشف، وقل لنفسك ان الله ضمن لي العصمة في الكتاب والسنة ولم يضمنها في جانب الكشف ولا الإلهام ولا المشاهدة.

” Ketika ada pertentangan antara apa yang kamu peroleh dari kasf (terbukanya mata hati atas rahasia-rahasia ketuhanan) dengan apa yang termaktub dalam Alquran dan Hadist, maka peganglah apa yang ada pada Alquran dan Hadist. Kemudian katakan pada dirimu sendiri bahwasannya Allah telah menjamin keselamatan pada Alquran dan Hadist dan tak menjamin keselamatan dalam kasyf, ilham, maupun musyahadah. ”

Oleh karenanya laku tasawwuf hendaknya didasarkan dengan konstitusi syariat sebagai fondasi dasar dalam mengamalkan islam yang kaffah (sempurna)

Wallahu a’lam bi al-showab

Penulis: Umam Annahar