Oleh : Muhamad Dhofier
Pendiri Komunitas Pengkaji Pendidikan (Kopi Pendidikan)
Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia kerap diposisikan elitis, berdiri di menara gading. Rumusan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 (K13) bahkan, tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai karakter melekat yang perlu diajarkan melalui pembiasaan di sekolah. Karakter yang dimaksud dirinci dalam fragmen-fragmen yang saling terpisah, lalu kerap membingungkan guru dalam praktik pembelajaran.
Dalam sebuah diskusi yang bertema laku Pancasila dalam pendidikan, diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG), sejumlah guru berbagi praktik baik, bagaimana mengajarkan moral Pancasila secara sederhana.
Misalnya Ibu Sulis, guru dari Jember, terus berupaya menginternalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam benak anak agar mewujud dalam laku nyata melalui pembelajaran bermakna. Dan itu bukan soal sulit bagaimana menerapkannya, tapi tinggal kita membiasakan dalam laku sederhana dan mulai dari diri kita sendiri untuk menjadi teladan.
Ibu Sulis, sang guru matematika ini memancing muridnya dengan pertanyaan ringan, “tahukah kalian apa itu perbuatan baik?”. Para murid lalu menjawab pertanyaan dengan masing-masing sudut pandangnya, dan definisi berbuat baik lekat lah sudah dengan jiwa anak-anak. Langkah berikutnya memunculkan potensi kebaikan itu menjadi laku nyata yang dilakukan dengan sepenuh kesadaran.
Ibu Sulis meminta anak muridnya, melakukan perbuatan baik pada diri sendiri sebanyak dan semampu mereka dalam seminggu. Selang sepekan perbuatan baik yang dilakukan anak-anak saling dibagi di kelas. Ragam kebaikan tak kuasa membikin sang guru matematika itu menahan haru.
Berikutnya beliau meminta lagi anak didiknya melakukan perbuatan baik untuk keluarga. Pekan depannya mengimbau siswa berbuat baik untuk sekitarnya. Terakhir, anak-anak diajak melakukan kebaikan untuk orang yang tidak dikenalnya. Sekali lagi, terserak begitu banyak kebaikan yang dilakukan oleh peserta didik mulai dari berkata baik pada orangtuanya, mematuhi lampu lalu lintas, menyumbangkan sebagian uang jajan untuk korban gempa dan lain-lain.
Dari Pak guru Zeth Pieter kita belajar betapa sekolah bisa menjadi agen perubahan sosial di masyarakat luas. Kita ketahui, kerusuhan Ambon di awal masa reformasi yang disebabkan kesalahpahaman berbau SARA meluluh lantakkan bangunan kebersamaan yang sudah terjalin bertahun-tahun. Di sekolah pak Zeth inspirasi perdamaian lahir dari kearifan lokal yang kembali digaungkan. Misalnya kegiatan baku bantu, sekolah mengajak seluruh elemen di dalamnya membantu pembangunan masjid.
Keterbatasan bukanlah halangan untuk tetap melangsungkan pembelajaran. Hal itu yang bisa kita tangkap dari penuturan pak guru Xavier, fasilitas apa adanya dalam arti yang sesungguhnya, dinding sekolah yang bukan permanen, bahkan hanya dari daun lontar, rasanya jauh sekali membayangkan ketersediaan akses Internet. Di masa pandemi covid 19 ini, pak guru ini bersama rekan-rekan sejawatnya mendatangi rumah siswanya dari pintu ke pintu menjajakan materi pelajaran tanpa kenal mengeluh.
Keragaman dihargai sungguh-sungguh oleh SMP Santa Maria Banjarmasin. Sekolah katolik dengan seluruh warga sekolah baik murid, guru, dan staf tata usaha yang beragam dari sisi agama dan etnis. Bu Siti Ramziah dengan program math counseling memberikan pelayanan konsultasi matematika gratis untuk anak murid sekabupaten Tulang Bawang, Lampung. Layanan matematika untuk semua tanpa membedakan siswa dengan agama apa atau etnik mana.
Tiga Pilar Utama
Apa yang disampaikan oleh para guru inspiratif di atas, mengurai tali yang mengikat kemauan kita untuk memulai menanamkan nilai-nilai kebaikan yang sejatinya sudah melekat pada jiwa peserta didik. Sebagai juru didik, tugas guru adalah menarik keluar sifat baik itu melalui teladan dan tata kelola kegiatan yang dirancang agar kebaikan itu mewujud pada laku yang nyata sekaligus menetap menjadi kebiasaan positif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam diskusi tersebut, Yudi Latif, pakar aliansi kebangsaan menguatkan hal itu. Laku Pancasila dalam pendidikan semestinya hadir di seluruh sudut kurikulum. Pembinaan laku Pancasila tak terbatas pada mapel Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Semua mata pelajaran punya kewajiban menyemai nilai-nilai Pancasila melalui aktivitas belajar kontekstual.
Membincang nilai-nilai Pancasila, merupakan bicara soal kedirian (the self). Dalam hal ini, ada dua karakter diri yang bersifat pribadi (private self) dan bersifat khalayak (public self). Sebagai personal, setiap individu memiliki keistimewaan dalam hal bakat dan kecerdasan. Apapun bakat dan kecerdasannya, nilai-nilai tekun, jujur, disiplin, pengendalian diri dll, seyogyanya melekat sebagai sebuah keniscayaan.
Kedirian yang bersifat personal ini belum lah final, anak didik yang tumbuh dengan karakter dan nilai-nilai Pancasila diharapkan mampu membangun tata sosial yang baik di masyarakat. Dari private self menuju public self. Menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Mengutip Amartya Sen, Yudi Latif mengatakan bahwa pendidikan perlu melakukan pendekatan kapabilitas. Apa yang diajarkan di dalam kelas, tak boleh berhenti pada terciptanya private self, kapasitas dasar yang yang hanya kembali pada diri.
Pendekatan kapabilitas menghendaki kapasitas pribadi yang berfungsi efektif dalam realitas kehidupan yang lebih luas. Misalnya, pribadi yang baik, jika tidak disediakan tata kelola sosial yang memadai ia akan mengikuti pola umum yang kurang positif itu.
Sebagai contoh, sebelum era Jonan, orang berjubel di KRL menjadi pemandangan lumrah. Barangkali yang duduk di atap kereta ada yang sesungguhnya pribadi baik. Tapi karena tak ada tata sosial yang semestinya, jadilah ia mengikuti keumuman yang keliru. Dan kita bisa menyaksikan, saat pak Jonan mereparasi tata kelola itu, sekarang tak pernah lagi kita jumpai ketidakdisiplinan penumpang kereta api.
Artinya, sebuah konsekuensi logis, bahwa pendidikan perlu melatih siswa memiliki kemampuan tata kelola sosial (social engineering) sebagai sumber penyelesaian problem kolektif. Misalnya saja, jika mengadakan kegiatan pertunjukan, siswa tidak lagi memungut iuran yang mengandalkan orangtua. Mereka perlu didampingi oleh pendidik agar mampu menyelenggarakan kegiatan itu dengan pembiayaan dan sosialisasi dari upaya mereka sendiri.
Terakhir, tata sejahtera. Yudi Latif mengemukakan kekayaan Indonesia belum cukup dikelola dengan sentuhan sains dan teknologi. Dampak nyata pendidikan yang berorientasi pada kemampuan menjadi ‘tukang’ bukan inovator. Kelapa sawit diekspor mentah tanpa lebih dulu diolah. Pun sejumlah hasil tambang. Kita mendapatkan harga murah dari penjualan itu lalu mengimpor produk turunannya dengan harga jauh lebih mahal.
Alhasil, ada tiga nilai dalam pendidikan yang harus terus diupayakan agar dipunyai oleh peserta didik. Pertama, tata nilai pribadi. Nilai-nilai kebaikan universal, apapun bakat dan kecerdasan seseorang, ia haruslah merupakan pribadi yang tekun, jujur, disiplin, mampu mengendalikan diri dan lain-lain.
Kedua, tata sosial. Generasi masa depan perlu dilatih menciptakan sistem tata kelola masyarakat agar kehidupan tetap dalam kebersamaan dalam keragaman. Ketiga, tata sejahtera, kurikulum haruslah dekat dengan lingkungan sekaligus mampu mengadaptasi temuan sains dan teknologi. Dekatkan anak dengan kekayaan alam yang dimiliki daerah tempat tinggal di mana murid itu berada.