Kurban dan Ketakwaan Seorang Hamba

575
Photo by Jyotirmoy Gupta on Unsplash

Sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Idul Adha. Meski masih dalam keadaan pandemi, namun gegap gempita Idul Adha sudah mulai terasa, hal ini bisa dilihat dari menjamurnya pedagang hewan kurban yang berjejer di jalan dan juga antusiasme masyarakat yang berbondong-bondong membeli hewan untuk dikurbankan pada hari raya Idul Adha.

Hari raya Idul Adha merupakan moment yang sarat akan makna dan sejarah bagi umat Islam, di mana kisah nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as. menjadi sosok penting dalam memberi contoh dan teladan kepada kita semua tentang bagaimana mengejawentahkan ketakwaan dan kepatuhan seorang hamba terhadap Tuhan-Nya di atas segalanya.

Jika menilik sejarah, Nabi Ibrahim sudah menunggu bertahun-tahun lamanya untuk mempunyai seorang buah hati. Akhirnya, Allah swt. mengabulkan doa Nabi Ibrahim as dengan hadirnya anak yang sabar, sebagaimana yang tertera dalam QS. As-Shaffat. 37:101, maka kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang shaleh.

Baca juga: Aktualisasi I’rob dalam Pendidikan Karakter

Betapa bahagianya Nabi Ibrahim as. atas karunia tersebut, moment yang diinginkan akhirnya dikabulkan oleh Allah, dia bisa menikmati hari-hari yang luar biasa dengan Ismail. Perjalanan hidup bersama keluarga yang nyaris sempurna ini pun terus berlanjut hingga akhirnya Ismail beranjak dewasa.

Namun, ketika Ibrahim as sedang sayang-sayangnya pada Ismail ternyata dalam tidurnya Ibrahim bermimpi menyembelih dan mengurbankan putra tersayangnya tersebut. Sebagaimana yang diabadikan dalam QS. As-Saffat.37:102 “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”

Saat itu Ismail sudah bisa membantu pekerjaan-pekerjaan ayahnya dan juga sudah mempunyai rasa tanggungjawab. Menurut sebagian pendapat, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi tersebut, Nabi Ismail sedang berumur tujuh tahun, ada juga yang mengatakan berumur tiga belas tahun.

Menyikapi mimpinya tersebut, Ibrahim merasa bingung, ia tidak lantas membenarkan, namun tidak pula mengingkari. Nabi Ibrahim merenunginya beberapa kali dan memohon kepada Allah untuk memberi petunjuk yang benar kepadanya. Setelah itu ia mendiskusikan mimpinya tersebut dengan Ismail, jawaban yang tidak disangka-sangka oleh Ibrahim keluar dari mulut Ismail, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.

Ketakwaan Ibrahim

Setelah pergulatan emosi, rasa cinta, dan kasih sayang seorang ayah terhadap anak semata wayangnya, tibalah saatnya Ibrahim akan menyembelih Ismail. Ibrahim mengambil pisau yang tajam kemudian diletakkan di leher Ismail, Ibrahim pun siap untuk menyembelih putra terkasihnya tersebut dan Ismail pun demikian bersedia untuk disembelih.

Setelesah semua skenario selesai, sangat tampak kesabaran dan ketakwaan nabi Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah, maka Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, Ibrahim tidak jadi menyembelih Ismail dan Ismail pun selamat.

Dari kisah di atas kita bisa melihat bahwa ketika ketakwaan, keimanan, dan keyakinan seorang hamba sudah melekat dalam jiwa, ia mampu mengalahkan segala keinginan hawa nafsu yang bersifat rasionalitas. Meski secara logika tidak bisa diterima mengenai tindakan seorang ayah yang akan menyembelih anaknya, namun ketakwaan dan keimanan lebih ia kedepankan dari semuanya.

Ketakwaan seorang hamba juga bisa dilihat pada kisah persembahan kurban Habil dan Qabil. (QS. Al-Maidah:27) Habil mempersembahkan hewan yang gemuk dan bagus sedangkan Qabil mempesembahkan hewan kurban yang kurus dan jelek. Akhirnya, Allah menerima persembahan kurban bukan karena persembahan kurbanya bagus tetapi karena di dasari ketakwaan dan keikhlasan dan menolak kurban dari Qabil bukan karena kurus dan jelek tetapi karena didasari oleh dengki dan bakhil.

Dengan demikian, selain kita disunnahkan (muakkad) untuk melaksanakan kurban bagi yang mampu ada hal yang perlu diperhatikan lebih dalam lagi yaitu kualitas ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah yang terkandung dalam perintah berkurban. Wallahu a’lam bissawab

Penulis: Abdul Aziz, M. Pd
(Lp. Ma’arif NU Tangsel & Guru SD Islam Al Azhar 8 Kembangan Jakarta Barat)