Kisah Santri Muda Yang Disangka Teroris

709
Teroris
Photo by Wesley Mc Lachlan on Unsplash

Disaat ramai isu Teroris di daerah lampung ada kisah menarik yang dialami oleh teman saya yang menyandang status Pengurus Santri di Pondok Pesantren Darussalam. Tepat pada hari Senin, dimana para pekerja memulai aktivitas awal pada pekan baru. Hari itu keluarga besar Pondok Pesantren Darussalam pergi keluar kota guna mengurus beberapa keperluan sekolah.

Mengantar Berkas ke Kantor Dinas Pendidikan

Libur akhir semester genap menjadikan suasana pesantren kian menjadi sepi, hampir seluruh santri pulang kampung, hanya beberapa saja yang masih menetap menunggu  giliran, terkecuali para ustadz dan ustadzah.

Sebab itulah semua diajak ibu nyai yang juga menjabat sebagai kepala sekolah madrasah aliyah untuk menemani beliau menghantarkan berkas ke kantor dinas pendidikan di Kota Bandar Lampung.

Kesempatan itu digunakan Ustadz Alif, ya begitulah anak-anak memanggilnya, kendati masih muda dan parasnya tak jauh beda dengan para santri hal itu tak mengubah derajat dan kedudukannya sebagai seorang guru di madrasah.

Sebenarnya ia merasa kurang nyaman dengan panggilan tersebut, namun sebagaimana panggilan ustadz bagi seorang guru di madrasah ataupun pesantren tetap saja berlaku termasuk bagi dirinya.

Kurang lebih empat jam perjalanan mereka tempuh dengan mengendarai toyota kijang berwarna biru tua hingga akhirnya tiba di lokasi tujuan.

Usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah di Musholla dekat lokasi, Ibu Nyai Aisyah ditemani Ustadz Maulana meninggalkan rombongan menuju ruang kepala dinas hendak mengantarkan berkas guna menyelesaikan tugas hari itu.

Sedangkan Alif bersama Ustadzah Pertiwi menunggu di beranda musholla bersama santri yang turut ikut.

Suasana saat Menunggu

Suasana semakin penat merusak waktu tunggu Alif yang nyaman, kini ia mulai jenuh. Berkali-kali ia mengusap layar handphone yang ia genggam berharap sesuatu hadir menghilangkan kejenuhan pada dirinya.

“Ustadz galau aja dari tadi,” tegur Ustadzah Pertiwi tak jauh dari tempat duduk Alif yang sedari tadi memperhatikannya.

“Aku bosanlah disini, panas. Apakah kalian merasakan hal sama?” jawabnya sembari memberi kode kepada anak-anak agar turut mendukungnya untuk beranjak dari ruang tunggu di beranda mushola.

Artikel terkait Santri, lihat Santri Finalis Kompetisi Startup Dunia 2020.

“Ayo tadz kita pergi kemana gitu, cari makanan atau minuman dingin. Seger nih pasti,” ajak Alvin seorang santri memberikan penawaran sembari merangkul santri lainnya. -“Ayolah tadz,”

Mata Ustadz Alif berkedip memberi kode supaya Alvin dan kawan nya membujuk Ustadzah Pertiwi.

Menemukan Kenyamanan Saat Menunggu

Setelah berhasil membujuk Ustadzah Pertiwi akhirnya mereka beranjak meninggalkan beranda Musholla. Rombongan itu pergi menuju kantin terdekat guna mencari makan. Siang itu memang belum ada makanan sedikitpun yang masuk ke perut mereka.

Usai menyantap makan siang di kantin pada pinggir jalan raya tepat depan kantor dinas pendidikan tersebut. mereka duduk menyepi di pinggir pos jaga. sembari menunggu ibu nyai dan Ustadz Maulana yang tak kunjung keluar dari gedung pendidikan.

Suasana panas yang semakin redup itu, ditambah sepoi terpaan angin menambah rilek waktu santai mereka. Semakin asyik Alif dan para santri bercengkrama sambil sesekali melirik kanan dan kiri, melihat situasi setempat.

Pada saat bersamaan mereka melihat puluhan polisi dan polwan muda tengah latihan, lari-lari kecil dari arah barat menuju halaman kantor samapta bhayangkara (Sabhara).

Hal itu menjadi tontonan menarik untuk dipandang oleh mata Alif serta para santri, dengan khusyuk mereka memperhatikan secara seksama polisi muda itu berlatih. Teringat dalam benak Alif jika sahabat semasa sekolah menengah atas dua tahun silam yang kini telah resmi menjadi anggota polisi, menjalani pendidikan di kantor tersebut.

Ditengah ramai nya angkatan muda tersebut wajah Arman sahabatnya muncul dalam pandangan mata Alif, ia ingin sekali melambaikan tangan memanggil sahabatnya agar ia tahu jika saat itu dirinya sedang berada di lokasi tersebut. namun hal itu sangat tidak memungkinkan apalagi jika Arman sedang latihan.

Percakapan Menarik dengan Anggota Polisi

Namun hal itu tak berlangsung lama sebab perhatian mereka justru menjadi pertanyaan dan curiga oleh beberapa polisi. Kawanan polisi itu menyamperi dan bertanya dengan nada tinggi kepada mereka.

“Bapak mau kemana?” tanya salah seorang polisi kepada Alif, tatap matanya seolah menaruh curiga.

“Buset dah ini polisi, baru juga pendidikan sudah galak saja,” gumam Alif sembari memandang polisi tersebut. Bibirnya sembrawut menahan geli tawa sebab paras polosnya dipandang bapak-bapak oleh kawanan polisi tersebut.

Kendati demikian ia tetap tenang menghadapi situasi yang mulai membuat dirinya risi.

“Kami sedang menunggu ibu nyai, beliau ada di dalam,” jawab Alif dengan tegas sembari menunjuk ke arah kantor dimana ibu nyai dan ustadz pergi tadi.

“Bapak dari mana?”

“Kami dari Pondok Pesantren Darussalam. Ada apa ya?” tutur Alif sembari menunjukkan logo yang tertera pada almamater biru muda yang ia dan santri kenakan siang itu.

“Ooh dari pesantren ya. Tidak apa-apa pak, kami hanya bertanya saja,”

Polisi berlalu Keresahan Mulai Muncul

Kini nada tinggi yang sempat terucap dari bibir kawanan polisi itu berubah seketika. Tidak berlangsung lama kawanan polisi muda tersebut meninggalkan Alif dan para santri. Hal itu justru menjadi tanda tanya, rasa penasaran ditambah bingung kini menyelimuti Alif.

Sebab penasaran yang semakin bertanya-tanya dalam benaknya, akhirnya Alif memutuskan untuk bertanya langsung kepada sahabat SMA yang sedang mengikuti pendidikan di kantor Sabhara itu. Melalui pesan whatsapp ia dan Arman sahabatnya saling memberi kabar.

Arman meminta maaf sebab belum bisa menjumpai sahabatnya itu, sebab ia tidak mengetahui jika sahabatnya itu sedang berada di lokasi pendidikan. Sedangkan ia hanya memiliki waktu sangat sedikit untuk memegang handphone, yakni pada saat istirahat.

Singkat cerita, penasaran dan kebingungan yang membuat Alif bertanya-tanya terhadap sikap kawanan polisi itu kini terjawab. Polisi tersebut mengira jika ia dan para santri adalah kawanan teroris.

Mendengar informasi sebagaimana dijelaskan sahabatnya Arman tersebut, Alif tertawa terbahak-bahak, perutnya sakit terkekeh. Bagaimana tidak, wajahnya yang polos dan masih sangat muda bahkan tak jauh beda dari para santri yang duduk di bangku madrasah aliyah tersebut disamakan dengan seorang teroris.

“Masa iya, seorang yang hanya mengenakan peci dan membawa tas saku kecil disangka teroris, itu polisi ada-ada saja. Apalagi wajah santrinya juga masih sangat muda,” ucap Alif pada sahabatnya.

Ternyata oh Ternyata

Seseram dan menakutkan seperti itukah wajah Alif dan para santri sampai disangka sebagai teroris. Memang akhir ini banyak beredar informasi yang sedang viral dan hangat diperbincangkan.

Banyak sekali para teroris yang tertangkap pihak penegak hukum dan menurut data informasi yang beredar pada media rata-rata bahkan hampir semua berkedok agama. Mereka menjelma sebagai orang yang agamis dengan membawa tas atau bingkisan yang isinya alat peledak semacam bom dan lainnya.

Ia berharap para teroris-teroris tersebut mampu terbasmi hingga ke akar-akar nya. Hal ini sangat meresahkan tak hanya bagi dirinya, juga pasti masyarakat umum lain. Termasuk perlakuan polisi yang mengira dirinya seorang teroris, hal itu sangat membuatnya resah.

Mengingat parasnya yang polos, ceria, dan memancarkan wajah cerah, hanya dikarenakan mengenakan peci sebagai ciri khas seorang santri dan membawa tas saku kecil, apa iya langsung di cap sebagai teroris. Hal itu sangat lucu, ini polisi kurang ngopi kali ya.

Memang polisi adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk pengamanan, namun tidak seperti itu pula, sampai-sampai santri yang berwajah tampan dan ceria serta murah senyum di sangka teroris apalagi santrinya masih muda dan masih berstatus sekolah.

Penulis: Disisi Saidi Fatah