Kesulitan Manusia Hadapi Perubahan Iklim

744
Kesulitan Manusia Hadapi Perubahan Iklim
Photo by Agustín Lautaro on Unsplash

120 peneliti menyatakan perubahan iklim memiliki dampak semakin parah bagi kesehatan manusia di seluruh negara. Secara umum, perubahan iklim disebut sebagai fenomena pemanasan global, dimana terjadi peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer dan berlangsung untuk jangka waktu tertentu.

Laporan tahunan The Lancet Countdown on Health and Climate Change menyajikan data terbaru tentang dampak kesehatan akibat iklim yang berubah. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan ada 296.000 kematian dini berkaitan dengan panas di Benua Asia yang lebih dari 65 tahun belakangan ini, kemudian mulai naik 54% di tahun 2018.

Riset The Lancet Countdown sendiri berfokus terhadap migrasi manusia di dunia yang semakin luas. Riset tersebut memperkirakan, berdasarkan data populasi saat ini, 145 juta orang akan berpotensi menghadapi banjir dengan muka air laut global naik satu meter. Jumlah ini akan bertambah menjadi 565 juta orang dengan kenaikan muka air laut 5 meter.

Iklim sendiri berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponenya dan faktor ekternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebebkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan penggunaan lahan dan bahan bakar fosil.

Konsekuasi dari perubahan iklim bagi kesehatan akan memburuk apabila umat manusia tidak melakukan tindakan apa-apa. Belum lagi pandemi Covid-19 yang hampir 2 tahun belakangan ini menjadi fokus tersendiri di segala elemen dan di semua Negara tak terkecuali Indonesia. Artinya, tindakan-tindakan mengenai cara mengatasi perubahan iklim menjadi bukan prioritas.

Panas ekstrim, kekeringan dan kebakaran

Perubahan iklim juga merupakan faktor awal penyebab kekeringan. Pada tahun 2019, kekeringan berlebihan mempengaruhi wilayah dua kali lebih luas di seluruh Dunia bila dibandingkan dengan baseline 1950-2005. Dan kekeringan tersebut presentasenya akan bertambah secara terus menerus.

Tanpa kita sadari kekeringan dan kesehatan memiliki keterkaitan yang sangat erat, ini dibuktikan dengan kekeringan disuatu daerah akan berujung kepada berkurangnya suplai air minum dan menurunnya kualitas air. Ketika siplai air bersih sudah terdampak secara membabi buta akan mempengaruhi kualitas hasil kebun dan ternak, dan ini akan menjadi problem baru bagi produktivitas pangan.

Baca juga: Pentingnya Menjaga Identitas Nasional

Tak hanya soal pangan yang terkena dampak besar dari perubahan iklim, kenaikan risiko kebakaran hutan yang disebabkan oleh kekeringan juga berpotensi merusak tatanan ekosistem dari mulai rusaknya lingkungan satwa-satwa hingga tercemaranya udara di sekitar pemukiman. Tercemarnya udara pun berdampak besar terhadap pernafasan manusia.

Hal ini juga akan menjadi masalah besar bagi mereka yang sudah memiliki kondisi keseharian tertentu dan pekerja di lapangan seperti di sektor pertanian dan konstruksi lapangan. Meski kematian terkait panas ekstrim tidak berhubungan langsung dengan perubahan, namun kenaikan suhu dan kelembaban bisa berarti semakin banyak kematian dini terkait cuaca panas.

Kenaikan muka laut, migrasi manusia dan kesehatan.

Ketika dunia menghangat dan muka laut naik, jutaan orang akan terdampak akibat perubahan pesisir, termasuk banjir dan erosi. Kenaikan permukaan laut memiliki konsekuensi langsung dan tidak langsung bagi kesehatan manusia. Di beberapa tempat, kualitas air, tanah dan suplai akan terganggu akibat adanya instrusi air laut.

Banjir dan arus laut akan merusak infrastruktur, termasuk air minum dan layanan sanitasi. Selain itu, ekologi vektor penyakit juga berubah, seperti densitas nyamuk meningkat di habitat pesisir, yang berpotensi menyebarkan penyakit menular seperti dengye atau malaria.

Ada juga persoalan dampak kesehatan mental bagi orang yang kehilangan keterikatan dan koneksi mereka dengan tempat mereka berada. Namun, beberapa kali reaksi migrasi terhadap perubahan iklim bisa mendatangkan keuntungan kesehatan.

Berpindah dari pesisir pantai yang rentan akan mengurangi paparan terhadap dampak, seperti banjir, mendorong untuk mencari mata pencarian dan gaya hidup yang lebih sehat dan meningkatkan akses bagi layanan kesehatan.

Belum lagi seperti yang sudah di singgung diatas, melelehnya Lapisan Es Antartika Barat akan menyebabakan kenaikan muka laut 5 hingga 6 meter. Berdasarkan skenario ekstrim ini, 565 juta orang akan mengalami banjir.

Meski demikian, penting juga untuk menyadari bahwa ketidakpastian membatasi kemampuan peneliti untuk mempredikasi jumlah migrasi akibat kenaikan muka laut. Ketidakpastian ini termasuk faktor lingkungan dan demografi di masa depan, serta respons adaptasi (dan maladaptasi), seperti tinggal bersama air atau benteng pantai.

Apakah ada kabar baik?

Upaya global untuk perubahan iklim masih jauh dari harapan saat perjanjian Paris dibuat 5 tahun lalu. Laporan 2020 Lancet Countdown menuliskan beberapa perkembangan dengan adanya sektor dan negara-negara yang mengambil langkah tegas dalam merespon perubahan iklim.

Kita lihat misalnya, keuntungan kesehatan yang muncul dari peralihan ke energi bersih, kematian dari polusi udara terkait dengan pembangkit listrik tenaga batubara menurun dari 440.000 pada tahun 2015 menjadi 400.000 di tahun 2018, meski ada kenaikan populasi. Namun, masih banyak hal yang harus dilakukan, seperti: kita perlu menurunkan emisi gas rumah kaca, meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dan proaktif dalam aksi adaptasi.

Di Indoensia sendiri, komitmen Presiden Joko Widodo Indonesia akan menahan laju perubahan iklim dengan mencanangkan transformasi menuju energi baru dan terbarukan. Indonesia juga telah mengakselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau pada Agustus 2020.

Bahkan pada tahun 2060 Indonesia sudah menargetkan netral karbon (Net Zero) dengan kawasan percontohan yang masih terus dikembangkan. Ini termasuk pula pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 20 ribu hektar yang digadang bakal menjadi terbesar di dunia.

Kita perlu tidak hanya fokus kepada pandemi dan mengorbankan aksi perubahan iklim. Apabila respons terhadap dampak ekonomi akibat Covid-19 bisa sejalan dengan respons terhadap perubahan iklim, kita bisa mendapat keuntungan berlipat bagi kesehatan manusia, dengan udara bersih, dan kota-kota yang lebih nyaman dihuni.

Upaya global yang terkoordinasi untuk mengatasi mengatasi panemi Covid-19 dan perubahan iklim menjadi penting, dan ini bisa menjadi kemenangan berlipat : kesehatan publik yang baik, ekonomi berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan.

Penulis: Mukhammad Khasan Sumahadi
(Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)