Tepat di hari ke 17 setelah SWAB pertama, saya melakukan SWAB ulang. Bila SWAB pertama diliputi kepasrahan karena saya hampir sepenuhnya yakin bahwa hasilnya akan positif, SWAB kedua dipenuhi harapan tentang tubuh yang menang mutlak dan sakit yang tuntas. Ternyata, proses yang saya lalui dalam Bab ini belum cukup utuh menurut Tuhan. Dokumen yang saya terima hari ini seperti menghadirkan kembali kelas proses yang lain. Rangkaian huruf bercetak tebal yang terlampir di dalamnya cukup jelas untuk memengaruhi suasana hati saya dan merubah alur cerita yang tadinya telah diproduksi oleh kepala. Rangkaian huruf tersebut membentuk satu kata sifat yang dulu pernah saya nantikan kehadirannya untuk menunjukkan hasil kerja sistem reproduksi yang baik. POSITIF. Hanya saja kali ini hadir di lembar yang berbeda dan dengan makna yang jauh dari sebelumnya.
Baca juga: Menutup Tahun 2020, Tanpa Terobsesi pada Potret Menyeluruh.
Ya.. saya masih Positif Corona. Sebelumnya saya sudah mendapat penjelasan dari Adik ipar dan Tracer Covid di wilayah setempat mengenai probabilitas ini. Mereka juga meyakinkan saya bahwa bila sudah melewati durasi masa isolasi, disertai dengan pengurangan gejala, dan dengan hasil CT yang meningkat (di atas 30), maka hampir dapat dipastikan virus yang ada di tubuh saya tidak lagi infectious. Mereka bahkan memberikan artikel pendukung untuk mengupayakan saya tetap tenang, just in case hasil tesnya masih positif. Hanya saja, tetap tidak semudah itu menjaga hati dan pikiran untuk menerima dengan tenang realita yang menjadi oposisi bagi ekspektasi.
Namun pada detik selanjutnya, saya dapat merasakan tubuh saya terasa lebih rileks tanpa usaha yang berlebihan. Sepertinya kepala saya lebih memilih untuk mengkomparasi nilai CT sebelum dan sesudahnya, daripada dua kata positif yang sama. Peningkatan yang cukup signifikan pada angka CT adalah penguatan positif yang sangat berarti bagi perjuangan tubuh saya. Secara tersirat besaran angka itu menjadi bukti otentik bahwa saya tidak diam di tempat. Bahwa saya berjalan ke arah yang tepat. Belum lagi pernyataan para ahli yang jelas merupakan data yang kuat. Akhirnya saya bernegosiasi dengan diri sendiri, dan terciptalah kompromi.
“Mungkin kemenangan besar ini harus ditunda sebentar. Mungkin Tuhan memberikannya secara perlahan agar saya belajar untuk tidak menyia-nyiakan. Atau mungkin pribadi saya mudah menjadi angkuh bila begitu saja melalui jalan yang ditempuh.
Banyak kemungkinan yang perlu dicerna. Semuanya akan menjadi suplemen dalam perkembangan diri saya. Namun satu yang dapat dipastikan, saya tidak mau hasil tes ini membuat saya mengerdilkan kemenangan-kemenangan sebelumnya. Saya tidak mau menjadikan “kemenangan mencapai negatif” sebagai prerequisite untuk menghargai kemenangan lainnya.
Ya, momen kemenangan pertama saya adalah ketika mengetahui hasil tes mas romzi dan keluarga negatif. Kemenangan juga saya peroleh saat berhasil mengontrol ego yang mau mengakali protokol yang berlaku. Saya adalah juara atas 14 hari merawat diri. Sayapun berhasil melewati malam mencekam dengan panik yang menyerang. Saya adalah pemenang saat satu persatu gejala berkurang. Semuanya adalah kemenangan yang sensasi menyenangkannya tidak perlu dikondisikan. Apalagi dikerdilkan karena menunggu kemenangan lain datang. Masih ada proses yang harus dilalui di depan. Namun akan saya lalui dengan mengapresiasi setiap pencapaian.
“Karena ternyata, mengizinkan diri mengakui setiap kemenangan dapat menjadi kekuatan yang tidak terbantahkan.
Di Bumi para Pejuang, 7 Januari 2021 Rini Aulia.