Ikhlas. Hidup dan kehidupan ini sarat mengundang berbagai perilaku. Baik itu erat kaitannya dengan sesama, dengan alam, benda-benda sekitar, dengan Tuhan, maupun diri sendiri. Jika dilihat dari hasil dan dampaknya, perilaku-perilaku yang dilakukan seorang manusia tak luput dari banyak faktor, antara lain : lingkungannya, keadaannya, pengetahuannya, hingga budayanya. Sejauh manusia tidak melakukan hal-hal di luar norma kemanusiaan, penyimpangan adat istiadat, serta aturan syara’, maka sejauh itu pula ia tergolong layak dikatakan berbudi.
Tidak ada satu pun sebab yang tak berbuah akibat. Oleh itu, setiap manusia dituntut mampu mengupayakan sebab-sebab terbaik, agar jika tiba saatnya berjumpa dengan akibat, ia tak lantas menggunjing takdir. Yang oleh itu pula, Tuhan (yang dalam hal ini kapasitasnya sebagai pemegang mutlak kendali hasil) tidak semena-mena mempersempit arah gerak sebab. Manusia diberikan kebebasan memilih dan menentukan sikap-sikapnya, yang dengan potensi pengetahuannya sanggup mengantarkan ke arah prediksi akibat. Maha Baik Tuhan dengan segala kebijaksanaanNya.
Baca Juga: Green lifestyle : A Path Towards Sustainable Living
Tidak sedikit pihak yang telah menyepakati sebuah pernyataan bahwa kesanggupan ikhlas dalam berperilaku terhadap apa pun, akan menentukan takdir baik manusia. Ikhlas disinyalir menjadi kunci keberhasilan seseorang dalam menuai pundi-pundi kebaikan yang maslahi. Maka dalam proses pencarian pengertian ikhlas yang puncak, seseorang tidak boleh tidak dituntut tak menyerah dalam upaya konsistensinya memperjalankan perilaku-perilaku baik. Ikhlas adalah pekerjaan mulia batin. Yang tentunya, hanya mampu dicapai melalui praktik-praktik baik yang diaktifitaskan oleh lahir. Ikhlas tidak bisa disandarkan pada sebuah perilaku tidak baik yang dilakukan oleh manusia. Ikhlas mencuri misalnya, ikhlas menggunjing, ikhlas menipu, atau dan lain sebagainya.
Yang menjadi penyulut pertanyaan inti adalah, apa, atau bagaimanakah ikhlas itu sebenarnya ? Apakah setiap perilaku baik selalu mencerminkan keikhlasan ? Siapa sejatinya yang pantas disebut muhlis ? Apa ciri-ciri ikhlas itu ?
Imam Ghazali pernah memberikan argumentasinya mengenai ikhlas ketika sedang mewejang salah satu muridnya. Wejangan ini ditulis dalam Kitab Ayyuhal Walad pada bab Khisholu at Tashawwuf:
و سألتني عن الإخلاص، و هو أن تكون أعمالك لله تعالى لا يرتاح قلبك بمحامد الناس و لا تبالي بمذمّتهم
Wahai muridku, ketika kamu bertanya padaku perihal ikhlas, ia adalah ketika seluruh amal perbuatanmu hanya untuk Allah SWT, dan (atas perbuatanmu itu) hatimu tidak merasa menjadi senang sebab pujian-pujian manusia, serta tak lagi merasa terganggu dengan ejekan-ejekan dari mereka yang kamu terima.
Demikian Imam Ghazali menuturkan kepada muridnya perihal karakter ihlas yang sebenarnya. Dari hikmah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ternyata hakikat ikhlas tidak hanya menyoal seputar definisi. Namun ikhlas juga bukan hal yang tidak bisa didefinisikan.
Pengertian-pengertian yang sejauh ini pernah kita dengar seperti, “ikhlas itu ibarat surat al ikhlas, yang secara substansi termuat nyata dalam cakupan hermeneutik ayat, namun pada konteksnya tidak satu pun ada kata ikhlas di dalamnya”, ternyata semakin mengantarkan kita pada keterjebakan pemahaman yang dangkal. Yang oleh pengertian asumtif di atas, kita seolah dipaksa untuk tidak lagi berpikir bagaimana kah memperjuangkan ikhlas secara sungguh. Memahami kalimat itu, kita hanya dihadirkan pada suasana ketiadaan pelafalan, yang justru semakin wegah memperdalamnya. Ikhlas dalam pendefinisian itu cukup dimaknai “selama seseorang mengatakan dirinya ikhlas, artinya dia belum mencapai koridor keikhlasan yang sebenarnya”. Padahal, ditinjau dari sudut pandang ilmu bahasa yang falsafi, semakin terjadi permainan kata-kata, semakin pula sukar ditemukan ta’wil makna yang sebenarnya.
Imam Ghazali adalah seorang sufi terkemuka yang buah pemikiraannya valid menjadi jembatan keberlanjutan kehidupan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Bertolak dari ungkapan yang pernah dikatakan pada muridnya di atas, dapat disimpulkan bahwa ihlas ternyata tidak serumit yang kita cerna sebelumnya.
Hanya terdapat tiga unsur yang perlu diperhatikan setiap manusia ketika ia hendak menempuh perilaku ikhlasnya. Pertama, perihal muara perilaku. Tentang kesadar dirian manusia bahwa ‘La haula wa laa quwwata illa billah” lah yang mendorongnya mampu melakukan segala sesuatu. Momentum sadar diri ini lah yang diharapkan harus selalu ada dan membalut di perasaan manusia. Ia tidak akan bisa melakukan apa pun (bahkan hal baik sekalipun) jika tidak dibisakan oleh Allah SWT. Konteksnya mengarah pada syukur, kefakiran diri, dan pengagungan Tuhan. Lillahi ta’ala adalah peniadaan diri yang menganggap bahwa dirinya mampu melakukan segala sesuatu berdasarkan kemampuannya sendiri.
Unsur kedua dan ke tiga adalah perihal mantawassutkan perasaan, menetralkan hati, serta membawanya ke arah tengah-tengah, yang berarti menihilkan prestasi ragawi. Meskipun sejatinya manusia hadir di antara manusia sekelilingnya, namun hal-hal yang kaitannya dengan elegi spiritualitas harus mampu dibanting setega-teganya, untuk kemudian dimi’rojkan secara langsung kepada Allah. Adanya pujian dan gunjingan tak lain adalah fenomena akibat kebersosialan manusia kepada antar sesamanya. Semakin keduanya dianggap sebagai elemen prioritas yang berhak menghuni batinnya, semakin sempit pula ruang Allah yang seharusnya ada di dalamnya.
Dalam studi-studi agama yang menyadur ibadah, keberadaan ikhlas tidak pernah diatur secara rinci terkait waktu pelaksanaan serta aturan gerakannya seperti ibadah-ibadah ritual lainnya. Itu artinya, ikhlas adalah sebuah nilai yang harus mampu dibalutkan dalam rangka memperindah ritualitas. Tanggungjawab hubungan manusia dengan manusia yang lainnya adalah saling meneladankan perilaku-perilaku baik yang fisik. Ada pun urusan hal-hal yang holistik, sesama mereka tidak ada yang berhak memberikan penilaian untuk ketercapaiannya.