Oleh: Wahyu Widodo
Perkembangan ilmu pengetahuan melangkah dengan cepat melalui publikasi di jurnal-jurnal terakreditasi, baik di kancah nasional maupun (lebih-lebih) internasional. Sayangnya, perkembangan ilmu itu –untuk kasus Indonesia– tidak dibarengi dengan adanya juru wicara pengetahuan (science communicator). Ia bertugas memopulerkan temuan-temuan teranyar di bidang science sehingga bisa dibaca khalayak umum, baik itu pemangku kepentingan maupun masyarakat umum (pengguna IPTEK). Penulis jurnal ilmiah tidak ada cukup waktu untuk mensyiarkan temuan-temuannya. Apalagi secara teknis, jurnal ilmiah memiliki kata dan istilah ilmiah khusus yang hanya bisa dipahami penekun ilmu itu. Alasan substansinya adalah bahwa keingintahuan peneliti atas pemburuan temuan lebih jauh mengasyikan dan dipentingkan daripada hanya memahamkan terhadap awam apa yang ia geluti dan ia hasilkan. Usaha itu–pensyiaran temuan– semacam membuang waktu yang tidak perlu. Untuk itu, diperlukan pewarta ilmu pengetahuan, yang menjembatani apa yang telah ditemukan oleh peneliti kepada khalayak umum (pemakai ilmu). Sejauh ini keterpautan antara capaian bidang ilmu dan masyarakat sebagai pengguna ilmu sangat jauh. Acap kali peneliti dan penulis jurnal ilmiah (kasus Indonesia) pasti memahami sajak Chairil Anwar: “Mampus Kau dikoyak-dikoyak sepi”. Saking asingnya temuan dan bidang yang ditekuni, hanya segelintir orang saja yang mampu memahami peneliti dan temuannya, biasanya murid-muridnya dan bimbingannya bahkan rekan kerjanya tidak tahu menahu tentang apa yang dikerjakan oleh peneliti itu, paling banter nanti ramai ketika mengurus administrasi kepangkatan dan berkas remunerasi. Energi kita banyak tersedot untuk yang akhir ini.
Pengalaman saya terkait ini –sebagai kasus– adalah tatkala saya menghadapi anak saya yang memiliki kelainan jantung bawaan dan harus operasi dua kali (pertama Januari 2018 operasi BT-Shunt di RSCM Jakarta dan keduanya operasi total koreksi (open heart surgery) di Amrita India pada Januari 2019). Saya membutuhkan informasi terkait penanganan jantung anak pada bidang kardiovaskular, khususnya penanganan koreksi total untuk anak penyakit Jantung Bawaan tipe Tetralogy of Fallot (PJB TOF). Di sana, saya banyak menemukan istilah-istilah asing yang rumit. Di tengah kesulitan istilah-istilah itu, saya mencoba mencari informasi semampu saya. Saya menemukan informasi-informasi yang penting, misalnya, faktor-faktor pemicu risiko tinggi yang menyebabkan serangan kematian mendadak (sudden death) pasca-koreksi total bagi anak PJB ToF. Prasyarat dasar membaca setiap jurnal ilmiah harus memiliki pengetahuan cukup dari setiap disiplin ilmu itu. Untuk kasus saya: biologi dasar dan seluk beluk jantung. Padahal saya tidak tahu sama sekali tentang bidang ini. Saya harus sesekali membuka kamus dan mesin perambah untuk hanya sekedar mencari satu atau dua istilah kunci. Saya membayangkan seandainya ada juru wicara pengetahuan di masing-masing bidang ilmu sungguh mudahnya pengguna ilmu untuk menikmati sajian temuan-temuan penelitian termutakhir dengan ‘sajian menu yang beragam dan bahasa yang populer. Kasus di atas adalah kasus yang saya alami, saya yakin di luar sana banyak orang membutuhkan informasi hasil riset mutakhir. Lebih-lebih orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan penyakit langka lainnya pastilah membutuhkan informasi untuk memahami apa yang dialami mereka dan sebagai upaya menerima kenyataan buruk yang dialaminya. Selain itu, ia juga berfungsi sebagai dasar mengambil tindakan medis ke depan untuk penyelamatan dirinya atau keluarganya. Tipe pembaca seperti ini bukan bertujuan mengkritisi artikel ilmiah dalam upaya melakukan literature review selayaknya peneliti, tetapi lebih pada tujuan praktis: hanya sekadar memahami informasi yang terkandung. Akan tetapi, membaca langsung jurnal ilmiah membutuhkan prasyarat yang tidak mudah: bahasa Inggris, prosedur ilmiah, dan istilah yang rumit. Ini adalah tantangan tersendiri.
Saat ini temuan ilmiah, terkait kasus covid-19 berkembang cukup pesat di jurnal-jurnal internasional ternama dari upaya melacak penyebaran virus, penanganan medis, hingga tujuan praktis pencegahan. Membludaknya temuan-temuan ilmiah itu tidak dibarengi dengan cepatnya pewartaan hasil kepada masyarakat umum dan para pengambil kebijakan. Apalagi protokol penanganan kasus covid-19 berubah-ubah. Perubahan itu didasarkan pada temuan teranyar di bidang disiplin ilmu tertentu. Untuk itu, juru wicara ilmu pengetahuan selayaknya dihadirkan saat ini. Mereka memiliki keterampilan menulis dengan baik dan memiliki pengetahuan dalam bidang disiplin ilmu kedokteran atau disiplin lain. Mereka bertugas membaca temuan-temuan terbaru di jurnal-jurnal ilmiah, yang terkait covid-19 dan kemudian mewartakannya ke masyarakat atau pemangku kepentingan. Mereka dipandu oleh pakar yang merekomendasikan jurnal yang harus dibaca dan menekankan hasil, yakni panduan tata laksananya di masyarakat secara disiplin.
Memang banyak media sudah melansir panduan penanganan covid-19 dan istilah yang berkembang, tetapi itu belumlah cukup bagi keluarga pasien dan yang terpapar atau potensi terdampak. Misalnya, orang yang memiliki gejala dengan kovid-19 —menurut protokol rumah sakit dalam masa pandemi—dikategorikan PDP, yang ditunjukkan salah satunya dari rekam-pindai paru-parunya ada bercak yang mengarah ke pneumonia. Padahal orang yang bersangkutan dirujuk ke rumah sakit karena terkena serangan stroke pada usia lanjut. Apakah yang terjadi pada keluarga pasien apabila tidak memahami protokol medis dan terbatasnya alat uji penegakan diagnosis, baik rapid test (rapid diagnostic test) maupun real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR)? Ke sumber otoritas manakah rujukan yang mereka ugemi? Belum lagi stigma masyarakat terhadap keluaga pasien dalam bentuk pengucilan kerap terjadi, padahal statusnya masih PDP. Selain itu, banyak orang meninggal dengan status PDP karena hasil swabnya belum rilis dan mereka diberlakukan pemakaman dengan protokol kovid-19. Bagaimanakah dan kemanakah penguatan dan penyelematan keluarga pasien memahami semua prosedur semua itu? Hal yang bisa dilakukan pada masa awal adalah keluarga pasien adalah mencari ke mesin perambah dan mereka menemukan banyak sekali informasi yang tidak sedikit bersumber dari berita lancung (berita hoaks).
Untuk itu, mengingat temuan mutakhir di bidang covid-19 ini terus berkembang, maka sudah selayaknya ada pewarta pengetahuan yang otoritatif yang bersumber dari jurnal ilmiah terkemuka. Pada saat ini biarkan sejenak hidup kita dituntun oleh kepemimpinan dan kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan dengan bagian kecilnya adanya juru wicara ilmu pengetahuan. Anda tertarik? Banyak orang akan terbantu dengan apa yang Anda tekuni, Juru Wicara Pengetahuan.
Wahyu Widodo, Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang dan Pengurus Yayasan Jantung Kecil Indonesia (YJKI), sebuah yayasan nirlaba yang bergerak dalam edukasi dan penanganan anak dengan kelainan jantung bawaan di Indonesia.