Setiap agama termasuk Islam sesungguhnya bukan hanya tentang kepercayaan, tetapi juga tentang apa yang harus diajarkan dan apa yang harus dilaksanakan.
Khususnya Islam, agama rahmatan lil ‘alamin yang datang membawa kemudahan dan menjawab segala macam pertanyaan.
Islam sebagai agama yang membawa kemudahan dan jalan damai bagi setiap muslim yang mengerjakan terhadap apa yang telah di perintahkan.
Islam tidak hanya tentang ritual-ritual ibadah yang memiliki ketentuan tetapi juga nilai-nilai sosial yang harus diperhatikan.
Dilema Jamaah Jumat di Masa Pandemi
Seperti halnya pada saat Sholat Jum’at, yaitu dalam penyelenggaraannya harus sesuai ketentuan.
Walaupun banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah jama’ah, madzhab syafi’iyah berpendapat bahwa 40 orang mukim/ penduduk asli yang mengikuti sidang sholat jum’at di dalam masjid adalah keharusan.
Perihal jumlah ini masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermadzhab syafi’i bahkan jumlah jamaahnya dilebihkan.
Saat ini ketentuan seperti ini sangat dipertimbangkan, mengingat virus corona yang sedang mewabah sampai pelosok pedesaan.
Berbagai ikhtiar dari lembaga keagamaan dilakukan untuk menemukan penyelesaian. Mulai dari musyawarah terbatas sampai bahtsul masail besar-besaran.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ketetapan tentang sholat jumat yang harus tetap dikerjakan atau digantikan.
Ikhtiar Komponen Pesantren dalam Menyikapi Dilema
Akhirnya, MUI dan para musyawir yang terdiri dari para ‘alim ulama, dewan asatidz dan santri senior memberi keputusan.
Masjid-masjid yang berada di zona merah (daerah yang terdapat pasien covid-19) diwajibkan untuk mengganti sholat jamaah jum’at dengan sholat dzuhur di masing-masing kediaman.
Sontak hal ini menuai berbagai pertanyaan dari sebagian kalangan. Bahkan mendapatkan kecaman dari pihak yang berseberangan.
Padahal bukan tanpa dasar beliau-beliau dalam memberi keputusan. Tanpa dibahas lebih lanjut pun seharusnya maqoshidusyari’ah sudah bisa menjadi pijakan.
Yaitu pada poin hifdzunnafs (menjaga jiwa) yang berarti menjaga kelangsungan hidup sangat diutamakan.
Tidak boleh dalam menyelenggarakan peribadatan malah menimbulkan kerusakan bahkan kematian.
Itulah mengapa Islam tidak hanya aspek vertikal (‘indalloh) tetapi juga aspek horizontal (‘indannas) yang diutamakan.
Pijakan Keputusan Sesuai Kaidah Fikih
Selain dari poin maqoshidussyari’ah di atas sebagai pijakan, kita juga harus melihat kaidah-kaidah fikih sebagai pertimbangan.
Yaitu pada kaidah Dar’ul Mafasid Muqoddamun min Jalbil Masholih yang dikaji dari kitab An-Nasybah Wannadhoir Karya Imam Jalaludin Suyuthi jelas telah menerangkan bahwa menolak keburukan itu lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.
Maksudnya adalah bahwa menyelenggarakan jamaah jumat adalah kemaslahatan karena kewajiban dan meniadakan jamaah dengan menggantinya sholat dzuhur sebab menghindari penyebaran virus corona adalah menolak kemadhorotan, maka sebaiknya menolak kemadhorotan itu didahulukan, yaitu dengan mengganti jamaah jumat dengan sholat dzuhur di kediaman.
Perspektif lain tentang corona dapat dilihat di Corona Mematikan Kepakaran.
Hal inilah yang berbahaya jika beragama tanpa keluasan pengetahuan, yaitu hanya mengetahui mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan, maka disitu kita akan mudah menyalahkan.
Padahal produk hukum dalam islam tidak bersifat absolut pada setiap permasalahan.
Kita harus mampu menggali apa maksud, sebab, dan tujuan dari sumber hukum yang di dapatkan.
Perlunya mengkaji dari berbagai sisi pandangan agar tidak saling berbenturan. Sehingga terciptalah produk hukum yang selalu mendatangkan kemanfaatan.
Semakin banyak kita memiliki cakrawala pengetahuan, maka akan semakin sedikit potensi menyalahkan orang lain karena perbedaan pandangan.
Skala Prioritas Hukum dalam Islam
Toh, walaupun ada perbedaan pandangan dengan mengatakan keduanya (melaksanakan/mengganti sholat jum’at) memiliki kemadharatan, islam telah berhasil memutuskan dengan skala hukum pertimbangan.
Yaitu dengan kaidah Idza Ta’aradzal Mafsadataani Ru’iya A’dzomuhuma, Dzaraaran Birtikaabin Akhoffihima yakni apabila ditemukan dua kemadharatan/ keburukan, maka pilihlah satu pilihan yang dampak kerusakannya lebih bisa di tekan.
Mengkaji dua kaidah tersebut sudah mampu menunjukkan skala prioritas yang digunakan.
Jika meninggalkan sholat jumat adalah keburukan karena meninggalkan kewajiban dan tetap mengadakan jamaah jumat juga adalah keburukan karena akan mendatangkan kerusakan, maka pilihlah yang dampaknya bisa lebih di tekan yaitu dengan mengganti jamaah jumat dengan sholat sendiri di kediaman.
Karena jika pada zona berbahaya perkumpulan jamaah tetap di adakan, maka berapa jiwa yang keselamatannya harus dipertaruhkan.
Padahal sejak awal islam datang dengan membawa ajaran yang menyelamatkan baik di dunia maupun di hari kemudian.
Disini sudah tergambar bahwa islam sangat mengutamakan keselamatan umat, bukan hanya paradigma ibadah yang pelaksanaanya dipaksakan.
Penulis: Fahmi Akbar
(Ketua Komunitas Budaya Sedleng Nusantara)