Buta Sejarah, tidak Paham Konteks
Secara garis besar, banyaknya konfik yang terjadi di Indonesia disebabkan banyak faktor. Salah satu dan yang paling banyak ditemukan adalah paradigma ideologis umat Islam yang sangat tinggi sehingga memunculkan prasangka teologis dan formalisme agama yang dogmatis seperti diungkap M. Amin Nurdin, dkk.
Selain itu, masing-masing dari mereka tampaknya tidak ingin belajar dari sejarah, terutama terkait dengan budaya lokal mereka sendiri, yang merupakan dasar nilai-nilai yang menaungi kehidupan mereka sehari-hari.
Baik kaum Syi’ah maupun Sunni harusnya paham bahwa akulturasi nilai-nilai Islam Syi’ah dan Sunni lokal telah berlangsung selama beberapa abad.
Bahkan sejak awal kedatangan Syi’ah di Maluku, suasana yang harmonis dan damai telah dipupuk. Sehingga dalam menyelesaikan ketegangan dan konflik antara minoritas Syi’ah dan mayoritas Sunni di Maluku Utara, semua didasarkan pada nilai-nilai dan tradisi keagamaan yang telah berlangsung beberapa abad yang lalu.
Tidak Boleh Ada Provokasi
Oleh sebab itu, dalam kesimpulannya, M. Amin Nurdin, dkk., mengatakan bahwa semua pemangku kepentingan tidak boleh membiarkan kelompok Syi’ah dan Sunni yang terlibat dalam konflik di Maluku Utara untuk diprovokasi, dipengaruhi dan diseret oleh transmisi persaingan Syi’ah-Sunni di Timur Tengah karena hanya mempersulit kompleksitas masalah, ketimbang memfasilitasi penyelesaian masalah itu sendiri.
Sama halnya dengan masalah terorisme di Indonesia, kiranya umat Islam perlu juga memahami bahwa kejadian-kejadian yang terjadi di Timur Tengah tidak serta merta dapat dikait-kaitkan dengan kondisi umat Islam di Indonesia karena jelas konteks Timur Tengah dan Indonesia berbeda.
Selain itu, pemerintah juga harus selalu mengevaluasi lemahnya program pencegahan dan pembinaan di BNPT.
Jelas, pemerintah juga harus lebih bekerja keras lagi memonitoring berkembangnya gerakan dan ideologi yang banyak bertransmisi dari Timur Tengah. Pemerintah juga harus lebih cermat dan ketat mengamati propaganda-propaganda di dunia maya dan media sosial, karena dari sinilah masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi tentang paham-paham radikalisme agama yang disebarkan, baik dari dalam atau luar negeri.
Peristiwa Oikumene harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Saat ini juga pemerintah harus berbenah diri. Upaya penanggulangan terorisme jangan hanya dilakukan dengan menindak tegas pelaku, akan tetapi harus juga dilakukan cara pencegahan yang bersifat kultural supaya masyarakat tidak lagi gampang terpengaruh oleh ideologi yang radikal.
Untuk itu, Pemerintah harus merangkul seluruh lapisan masyarakat dan juga organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk membendung pengaruh dan berkembangnya pemahaman keagamaan radikal di Indonesia.
Konservatisme Agama dan Krisis Islam
Jika ditelusuri lebih mendalam—terutama dari kasus-kasus yang telah disebutkan sebelumnya—kiranya dapat dipahami bahwa yang menjadi akar terjadinya konflik dalam Islam di Indonesia adalah adanya pemahaman dan pengaruh gerakan dan ideologi Timur Tengah yang ‘akrab’ dengan konflik antarsuku dan antarideologi (baca: Sunny-Syi’ah), juga dengan kondisi umat Islam di sana yang kerap berjuang melawan Amerika, Yahudi, dan sekutunya, yang kemudian kondisi tersebut diadopsi begitu saja oleh umat Islam Indonesia tanpa melihat konteks.
Pengadopsian gerakan dan ideologi tersebut juga tidak hanya terwujud dalam gerakan-gerakan radikal (baca: terorisme dan memusuhi Syi’ah), namun juga termanifestasi dalam pola hidup umat Islam Indonesia saat ini.
Seperti disinggung pada awal tulisan bahwa saat ini umat Islam Indonesia tengah beramai-ramai melakukan upaya ‘syari’atisasi’ di segala bidang, seperti pendidikan, perdagangan, dunia showbiz, birokrasi pemerintahan, sampai pada lini politik.
Fenomena ini persis dengan apa yang digambarkan Allawi dalam bukunya The Crisis of Islamic Civilization. Allawi mengatakan bahwa gerakan Islamisasi, upaya pelaksanaan Syariah, dan peran politik Islam yang belakangan ini sedang menggeliat, tertuju pada masalah pembentukan (dan pelaksanan) kehidupan spiritual atau batiniah.
Baik Islam politik, maupun ortodoksi fundamentalis, keduanya cenderung mengisimewakan bentuk-bentuk lahiriah kesalehan dan ketaatan sebagai konfirmasi adanya landasan Islami dalam masyarakat mereka.
Instrumen Peradaban Islam
Allawi menilai bahwa model atau bentuk tersebut tidaklah penting dan tidak menjadi instrumen dalam membangun peradaban Islam yang baru karena itu hanya memberikan peluang munculnya bentuk Islam yang hanya berkutat pada ‘aturan’ dan ‘ritual’.
Allawi menambahkan bahwa bentuk-bentuk lahiriah kesalehan juga dilakukan oleh berbagai autokrasi Islam dengan demokrasinya yang semu. Allawi mencontohkan bahwa identitas Islam tersebut kini banyak diciptakan oleh para penguasa dengan cara membangun masjid-masjid besar, perayaan-perayaan Islam, menampilkan program-program televisi, dan aspek lainnya yang berbau Islam dan bersifat seremonial.
Sekali lagi, Allawi menilai bahwa semuanya hanya merupakan manifestasi lahiriah Islamisme dan memandang bahwa semua itu tidaklah mungkin mendorong peradaban Islam yang baru.
Apa yang sedang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam saat ini, menurut Allawi hanyalah romantisme mereka terhadap masa lalu (zaman keemasan Islam). Hasil peradaban masa lalu kerap dijadikan sebagai motivasi semangat, kepastian, dan jalan keluar dari masalah yang dihadapi Islam saat ini.
Allawi mencatat, usaha-usaha tersebut kebanyakan dibangun oleh kelompok fundamentalis yang selalu bernostalgia pada zaman keemasan dan merindukan sebuah negara ideal (Allawi mencontohkannya dengan karya al-Farabi: al Madīnah al Fādhilah).
Allawi menilai fundamentalisme hanya serangkaian tindakan nostalgia semata. Gerakan fundamentalisme (dengan agenda pendirian negara Islam) sering menjanjikan penganutnya suatu jalan menuju keberhasilan peradaban.
Konservatisme Agama
Namun setelah mereka berkuasa, semua tujuan awalnya berubah, dan lebih buruknya, tirani yang baru justru muncul dari gerakan ini. Walhasil, sampai saat ini Islam dalam pandangan sebagian orang—terutama dunia Barat, hanya termanifestasi pada urusan politik dan radikalisme.
Sejurus dengan Allawi, Azyumardi Azra mengistilahkan fenomena ini dengan ‘Konservatisme Agama’. Azra mengatakan bahwa kebangkitan konservatisme agama merupakan respons dan reaksi atas kesulitan ekonomi dan krisis politik.
Pada level yang lebih ekstrem, menurut Azra, gejala ini akan muncul dalam bentuk ‘fundamentalisme agama’, yang dalam perkembangannya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.
Azra mencermati bahwa gejala konservatisme keagamaan (Islam) dapat dilihat dari tren busana hijab (jilbab), meningkatnya gaya hidup yang ‘dianggap’ Islami, seperti poligami, dan gaya hidup halal atau berbasis syariah. Konservatisme agama bisa saja berimplikasi pada orientasi politik, misalnya pembentukan khilafah atau dawlah Islamiyah.
Bentuk-bentuk ‘lahiriah kesalehan’ dalam istilah Allawi atau ‘konservatisme agama’ dalam istilah Azra, yang saat ini sedang dipertontonkan oleh sebagian umat Islam, jelas bukanlah indikator kebangkitan Islam, tapi justru menandakan bahwa umat Islam sedang mengalami decline (kemunduran) karena bentuk-bentuk tersebut sedikit banyak telah berperan melahirkan benih-benih konflik.
Penulis: Hijrah Ahmad
(Kopitalis Akut, Koki di Emirbooks)
Daftar Bacaan:
- Ali A. Allawi (2009). The Crisis of Islamic Civilization. London: Yale University Press.
- Azyumardi Azra, Konservatisme Agama di Indonesia: Fenomena Religio-Sosial, Kultural, dan Politik. https://wwwco.id. (18 November 2020)
- Hijrah Ahmad, Molotov Oikumene dan Kegagalan Deradikalisasi. https://www.indonesiana.id. (27 April 2019).
- “Kasus penistaan Agama oleh Ahok hingga Dibui 2 Tahun. Reporter: Dedi Rahmadi. Sabtu, 30 Desember 2017 06:00. https://www.merdeka.com.
- “Kronologi Penyerangan Warga Syiah di Sampang” Senin, 27 Agustus 2012 08:00 WIB. https://www.tempo.co.
- Amin Nurdin, Herdi Sahrasad, Smith Alhadar, Mengungkap Ketegangan Minoritas Syi’ah dan Mayoritas Sunni di Maluku Utara, Indonesia: Pelajaran dari Masa Lalu.
- “Rumah pengikut Syiah Dirusak Warga”. Laporan: Syamsudin Sidik Kamis, 1 November 2012 – 08:35 WIB https://www.sindonews.com.