Terorisme adalah salah satu problem besar Islam di dunia. Seperti diketahui, di indonesia sendiri, rentetan peristiwa terorisme marak terjadi terutama rentang tahun 2000-an. Pemerintah telah melakukan upaya deradikalisasi dengan menelurkan perangkat hukum untuk melawan dan mencegah terorisme, namun sejauh ini langkah yang diambil hanya sebatas tindakan penangkapan, sedangkan pencegahan berkembangnya ideologi dan pembinaan pelaku yang tertangkap maupun yang telah dibebaskan masih sangat lemah.
Peristiwa pelemparan molotov di depan Gereja Oikumene 13 November 2016 lalu adalah bukti nyata kegagalan fatal program deradikalisasi Pemerintah. Pelaku pelemparan molotov adalah Juhanda, mantan pelaku bom buku di Tangerang 2011 silam.
Baca juga: Berkurban Atau Sedekah
Pelaku yang dibebaskan tiga tahun setelah mendekam di penjara, nyatanya dibiarkan berkeliaran sampai ia melakukan aksi terornya kembali, padahal semestinya BNPT terus mengawasi dan membina siapa pun orang yang pernah terlibat dalam aksi teror meskipun orang tersebut telah dikembalikan kepada masyarakat.
Kembalinya Juhanda sebagai pelaku teror menandakan bahwa tugas dan fungsi ‘pembinaan kemampuan’ yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Pasal 15 dan 16 tidak berjalan sama sekali. Pemerintah jelas harus segera mengevaluasi program ini di BNPT.
Konflik Syi’ah–Sunni di Maluku Utara dan Sampang Madura
Sebuah penelitian bertajuk: Mengungkap Ketegangan Minoritas Syi’ah dan Mayoritas Sunni di Maluku Utara, Indonesia: Pelajaran dari Masa Lalu mencatat bahwa sampai saat ini, konflik ideologi yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni di Maluku masih rentan terhadap gesekan dan konflik sejak insiden pada November 2012 silam.
Seperti diketahui bahwa warga kota Ternate, Maluku Utara menyerang puluhan pengikut aliran Syiah. Akibatnya, pimpinan ajaran Syiah dan beberapa pengikutnya yang berada di dalam rumah yang sering dijadikan tempat ibadah menjadi amukan massa. Selain itu, rumah yang sering dijadikan tempat ibadah ikut dirusak. Warga menganggap ajaran Syiah menyimpang.
Kasus yang sama juga terjadi di Sampang pada Agustus 2012, di mana pada saat warga Syi’ah sedang melaksanakan perayaan lebaran ketupat di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang. kemarin, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26 Agustus 2012.
Dalam kasus kaum Syi’ah di Maluku, M. Amin Nurdin, dkk., mencatat bahwa kondisi kaum Syi’ah di sana masih jauh dari kata aman. Posisi mereka masih sangat rentan diserang oleh kelompok-kelompok Muslim Sunni tertentu yang tidak menerima kehadiran mereka di Maluku Utara.
Padahal, masyarakat Maluku Utara secara umum menginginkan kehidupan yang damai, baik antara Syi’ah dan Sunni, maupun antara Muslim dan non-Muslim. M. Amin Nurdin, dkk menambahkan bahwa ketegangan yang terjadi antara kedua belah pihak, tidak perlu diseret kembali dan dikait-kaitkan dengan konflik ideologi atau politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah. Bersambung…………..
Penulis: Hijrah Ahmad
(Kopitalis Akut, Koki di Emirbooks)