Ingin Mudik Memeluk Kampung

1025
Photo by Hugo Matilla on Unsplash
Photo by Hugo Matilla on Unsplash

Oleh : Abdul Muttalib

(Penikmat Buku & Wakil Ketua GP. Ansor Polewali Mandar)

“Aku merantau maka aku ada, seseorang pernah berkata tentang dirinya, dan membuat kota rantauannya tiada. Tapi, di kampungku, orang-orang merantau maka kota-kota ada.”

Demikian nukilan kisah para perantau yang kembali ke kampung membawa cerita dan harapan atas kota-kota berdebu yang dibawa serta dalam kopernya. Kota yang dihidupkan Raudal Tanjung Banua dalam cerpennya “Kota-kota Rantauan,” (Jawa Pos: 3/10/10).

Raudal sepertinya bersepakat, peneguh eksistensi perantau tidak hanya didapat di kota, melainkan di kampung. Kota hanya semacam jalan berliku “menuju” kosakata sukses, meski sesungguhnya, kehadiran kampung justru ikut melegitimasi kesuksesan perantau, sewaktu pulang bersama setumpuk cerita suksesnya.

Cerita sukses yang saban waktu dituturkan disertai pemberian barang tentengan dari kota yang dibagikan kepada segenap handai tolan. Dari situ, cerita kota rantauan hadir penuh gairah, mengharu biru, sekaligus menggoda untuk terus di taklukkan. Cerita kota rantauan yang tiap tahun sukses mengundang perantau baru untuk bertandang dan mencoba peruntungannya di kota.

Segenap impian kota rantaun yang terus tumbuh di dalam kepala. Kota-kota itu hadir semacam magnet, terlebih bagi calon perantau yang terus mengikuti alur cerita sampai ke kota usai lembaran berlalu. Kota rantauan yang girang dipandang dari sudut kampung. Kampung yang diklaim minim pertumbuhan, nihil potensi dan miskin daya hidup.

Kampung

Tradisi mudik yang dilakukan, tidak hanya untuk silaturahmi dengan sanak saudara, melainkan untuk kembali menikmati kenangan dan nostalgia masa lalu, atas keagungan tradisi kampung yang coba diraih melalui tradisi mudik. Anak-anak di Mandar, Provinsi Sulawesi Barat misalnya, dengan serentak, riang gembira dan bergerombol menyalakan Palla-pallang (pelita) atau solung di malam lebaran.

Photo by Tajriani Thalib
Photo by Tajriani Thalib

Solung yang terbuat dari isi kemiri yang ditumbuk halus dengan kapas atau isi buah kapuk. Hasil tumbukan itu yang digunakan membungkus bilah bambo kecil atau menggunakan sumbu yang dinyalakan untuk menghiasi area pekarangan rumah, tangga rumah panggung, kamar, bahkan di atas bubuhan rumah.

Selain di malam Lebaran, tradisi menyalakan Pallang-pallang itu kerap dilakukan sebagai semacam prosesi dalam menyambut bulan Ramadan (marromai bulang puasa). Meski tradisi menyalakan Palla-pallang paling meriah di jalankan di malam lebaran. Tradisi itu dapat dimaknai, sebagai penanda masuknya bulan Syawal yang dipenuhi rasa penuh suka cita.

Makna dari tradisi menyalakan Palla-pallang bagi masyarakan di Mandar di simbolkan dalam wujud cahaya kebaikan, cahaya ketenangan dan cahaya kesucian Palla-pallang, seusai menjalankan ibadah puasa. Ragam, pernak-pernik, serta nuansa autentik dari tradisi yang masih dilakukan di kampung, senantiasa membawa nuansa kerinduan mendalam bagi para pemudik.

Mudik

Setidaknya fenomena itu menjadi pangkal atas semaraknya tradisi mudik. Mudik yang menurut Maman S Mahayana (Kritikus Sastra dan Dosen di Fakultas Budaya UI) sebagai tradisi kaum udik, jika ditinjau dari segi bahasa bermakna berlayar ke hulu. Pengertian hulu bersinonim dengan daerah terpencil atau jauh dari kesan kemajuan alias udik.

Hal itu dikuatkan Syukri Rahmatullah dalam tulisan berjudul “Lebaran dan Tradisi Mudik” di www.okezone.com (26/09/08) mengutip Umar Kayam (2002) yang menerangkan bahwa mudik adalah tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit.

Tradisi yang awalnya dilakukan sebagai ritus nyekar ke makam leluhur, disertai ritual doa bersama untuk para Dewa di Kayangan. Tujuannya agar perantau dan keluarga yang ditinggalkan mendapat rezki berlimpah serta dijauhkan dari masalah, musibah dan marabahaya, meski pembatasan tradisi mudik sejak pandemik covid-19 menjadi kurang semarak.

Tradisi mudik yang sebenarnya tidak lagi sebatas menjadi fenomena sosiologis, melainkan telah mendapat ruang aksentuasi sebagai peristiwa budaya, sekaligus menjadi ritus bermakna teologis. Tempat pemudik menziarahi masa lalunya. Tempat para pemudik pulang menuju cangkang tradisi, budaya dan kenangan masa lalunya di kampung.

Kampung yang saban waktu menawarkan peluk hangat nihil tendensi. Terlebih pada momen seperti lebaran dan hari raya lainnya. Tidak seperti kota yang kian terlihat resah diburu target-membuat mayoritas penghuninya giat menguras segenap energi hidup, menuju takaran sukses bersifat material-pragmatis.

Pemudik seolah tidak berdaya menumbuhkan ruang kolektif-transenden yang coba diraihnya lewat tradisi mudik, yang justru menampilkan wajah paradoks nan ironik. Hidup di kota dengan kesadaran individualis-materialiastik, tapi terus dirundung rindu atas iklim komunal-primordial  kampung halaman, di tiap tahunnya.

Ziarah

Lan Fang dalam pengantar kumpulan cerpennya “Ciuman di Bawah Hujan” (2010) mengutip pendapat Car Gustav Jung Psikolog asal Swiss yang mengungkapkan adanya keterikatan pikiran alam bawah sadar seseorang dengan manusia lainnya. Konsep itu diistilahkan Jung sebagai konsep sinkronitas.

Bisa jadi konsep ini yang mendera pikiran alam bawah pemudik dengan orang terkasih yang masih bersetia hidup di kampung, meski yang diziarahi kerap kali sudah ditemui dalam bentuk nisan kubur yang mulai lapuk, termamah usia. Tempat pemudik leluasa bersimpuh, menderaikan air mata, seraya menghamburkan doa ke langit.

Berharap di tiap tahunnya dapat kembali berkumpul dan nyekar di makam orang tua, keluarga yang maknanya, tidak lagi sebatas melanggengkan hubungan sinkronitas. Melainkan sudah memasuki ruang kontemplatif bersifat immanen yang melibatkan dirinya, orang terkasih dan sang Khalik.

Hubungan itu jauh lebih esensial jika coba dibandingkan dengan seabrek masalah yang  mengintari kota dengan segenap kuasa sentralistiknya. Seolah sejarah pembangunan hanya milik kota. Kampung hadir, hanya sebagai ruang nostalgia berdimensi kenangan dan berada di sudut jauh nan lengang. Jika sempat, akan diziarahi ketika mudik. Seusai mudik, perantau kembali ke riuhnya kota untuk menabung lelah, agar tahun berikutnya dapat kembali mudik.

Kota  

Cerita mudik itu yang terus berdenyar di kepala pemuda kampung, ketika memandang kota yang seolah tidak mengenal kata; tua, kisut dan renta. Mungkin karena kota rajin bersolek, penuh pesona  dan terlihat menggoda buat mengundang perantau baru. Kian banyak perantau yang datang, kota rantauan di dalam kepala kian sesak dan saban waktu didera kemacetan.

Tidak seperti kampung. Masih terlihat lengang. Mungkin karena tidak semenggoda kota. Ladang-ladangnya sudah tidak menarik lagi dicangkul, makanya mulai rimbun ditumbuhi mini market yang bersumber dari selera kota. Selera hidup konsumtif yang mengharuskan untuk senantiasa berpacu lebih cepat, lebih keras, hingga tak jarang, membuat gamang, diserang lelah, diberondong kalut, disergap stres yang bermuara pada sikap disorientasi yang akut.

Pada titik itu, perantau perlahan rindu kampung halaman. Kampung halaman yang tiba-tiba terasa sangat jauh. Tempatnya dulu memandang kota-kota berdebu dengan harapan membuncah lewat cerita sukses perantu ketika mudik. Cerita sukses pemudik yang terus tumbuh di dalam kepala, entah sampai kapan…