Ideologi Santri. Ideologi tak lain adalah prinsip. Sebuah keyakinan seseorang (dasar pijakan berpikir) sebelum berani bersikap. Sedangkan santri, berawal dari sebuah hadits “man salaka thoriqon yaltamisu fiihi ilman, sahhala allahu lahu bihi thoriqon ila al jannah” (Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah swt akan memudahkan baginya jalan ke surga), maka dapat disimpulkan pemaknaannya mengerucut bahwa mereka adalah “man tafaqqoha fiddiin”, atau orang yang hidupnya dipenuhi kesungguh-sungguhan menggali ilmu-ilmu agama.
Syekh Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali atau seorang mujtahid tersohor yang biasa dikenal dengan Imam Ghazali mengatakan bahwa esensi beragama tidak akan lepas dari 2 hal : (1) Menjalankan perintah (taat) kepada Allah dan (2) Menjuhi larangan-Nya (maksiat). Dua konteks tersebut merupakan hal yang tidak bisa diceraikan dalam kehidupan seseorang yang mengaku beragama. Tidak pantas disebut manusia beragama, mereka yang memiliki intensitas pemutaran balik dari 2 esensi di atas (cenderung gemar bermaksiat dan enggan melaksanakan perintah). Namun, di sisi lain penting untuk diketahui dan dipahami bahwa untuk mencapai dua poin tersebut bukan lah perkara mudah. Terlebih dalam hal meninggalkan segala bentuk perkara yang dilarang.
Baca Juga: Aset Tanpa Harga Itu Bernama Santri
Imam Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah mengulas gambaran kontekstual mengenai hal ini dengan sebuah kutipan :
ترك المناهي هو الأشد، فالطاعة يقدر عليه كل احد. و ترك الشهوات لا يقدر عليها إلا الصديقون (بداية الهداية)
Meninggalkan hal-hal yang dilarang merupakan perkara yang amat sangat berat. Ketaatan / kepatuhan terhadap perintah Allah bisa dilakukan oleh siapa pun. Namun untuk meninggalkan hasrat syahwati, ia tidak bisa dilakukan sembarang orang; kecuali bagi mereka yang bersungguh-sungguh dan memiliki ketebalan iman.
Ketaatan dan kemaksiatan merupakan 2 hal yang berbanding terbalik. Keduanya saling singkur dan potensif untuk mengidentifikasi karakter dhohir manusia. Namun, meskipun keduanya adalah hal yang berbeda, kita harus mewaspadai kemunculannya yang bisa secara bersama-sama dalam satu kondisi. Dan itu tentu akan membatalkan esensi nilai dari ketaatan yang telah diupayakan. Contoh : Siap pun di antara kita bisa saja menjadi orang yang rajin salat, ahli ibadah, alim atau dan lain sebagainya. Tapi besar potensinya dalam kondisi demikian akan muncul riya’ dan sum’ah dalam hati kita. Siapa pun orangnya bisa saja jadi kiai, jadi profesor, jadi ilmuwan dan lain sebagainya. Tapi sangat sulit dalam kondisi tersebut, kita tak memiliki perasaan pandangan lebih hebat, lebih pandai dari yang lain.
Oleh karena itu, musuh tersulit manusia adalah sebuah polemik yang terbesut dalam dirinya sendiri.
المهاجر من هاجر السوء، و المجاهد من جاهد هواه
Orang yang berhijrah adalah yang berusaha menaikkan levelnya dari jurang keburukan menuju lembah kebaikan. Sementara orang yang berjihad adalah mereka yang bersungguh-sungguh memerangi tipudaya hawa nafsu dalam dirinya.
Tak elak, dunia terus mengalami proses rotasinya. Perkembangan segala sektor terus merekah. Hedonisme merajalela, modernitas melalang buana, gaya hidup berubah, hingga kehidupan mengalami guncangan perubahan yang begitu deras tak dapat diterka. Sementara jenis penghuninya masih sama; manusia. Wajar jika banyak kepala-kepala yang merasa seperti kalang kabut jika tak memiliki tiang penyangga yang kokoh mendasari gerak-gerik berpikirnya.
Kehidupan mengalami klasifikasi dua sisi. (1) Milenial, atau mereka yang tanggap terhadap kemajuan, dan (2) Tradisional, atau mereka yang kokoh terhadap nilai-nilai luhur. Dua sisi tersebut ibarat wajah dan kaki. Saling berebut menjadi ornamen paling berjasa terhadap laju keseimbangan. Padahal, keduanya merupakan poin yang harus saling mengisi demi harmonitas berkehidupan dan keselarasan alam. Masyarakat milenial beranggapan bahwa cita-cita dunia ada di benak mereka; yang dalam hal ini menguasai kunci-kunci mobilitas dan daya saing peradaban. Namun di benak masyarakat tradisional, gerbang kekuatan terletak pada sejarah. Pada nilai-nilai luhur yang harus dijaga, agar tak tergerus ombak globalisasi apa pun. Santri (kaum pesantren) adalah poros dan akar dari penghuni populasi masyarakat tradisional.
Pola berkehidupan seperti ini tentu membuat napas kehidupan semakin berwarna. Masyarakat milenial nyata mampu mengadopsi kemajuan-kemajuan kehidupan barat yang memang dibutuhkan untuk pribadi negara berkembang. Masyarakat tradisional pun terbukti sanggup menjadi pondasi negara tatkala gelombang polemik sedang deras-derasnya. Keduanya sama-sama penting untuk bergerak dalam jatah naluri masing-masing, selama tak saling ribut dan tegur demi merasa menjadi populasi yang paling berpengaruh.
Tinggal yang tersisa untuk direnungkan adalah tantangan hari ini. Kondisi kehidupan milenial teramat piawai menjadi bungkus yang tampak dalam kehidupan. Sementara kaum tradisional seperti mendapat klaim lemah lantaran pola bergeraknya hanya menyusup pada liang-liang bawah tanah kehidupan. Mereka tak saling bertemu. Sedangkan hedonitas, popularitas dan kuantitas terus menjadi cita-cita akbar arus hidup yang harus ditempuh.
Lantas, bagaimana nasib santri hari ini?
Santri menghadapi problem yang cukup menggiurkan. Namun sebagai subjek dari gerakan tradisional, mereka mau tidak mau harus mampu meredam atau bahkan membungkam agar mereka tak kalah angin pergerakan. Tantangan pertama bagi mereka adalah pola ‘materialisme’. Sebuah pemikiran global elite yang mengedepankan bahwa harta dan kemewahan dunia adalah segalanya. Dan tantangan kedua yang tak kalah menggelitik ialah pola ‘konsumerisme’. Sebuah pola pikir yang menghembuskan semangat agar melakukan transaksi dan terus-terusan transaksi yang bukan demi kebutuhannya, melainkan sebatas mempertontonkan sebuah gambaran kelas sosial. Dua tantangan tersebut terbukti mampu menggilas ideologi tradisionalisme yang telah lama dipupuk. Siapa yang tak menginginkan kenikmatan?
Dewasa ini dunia menawarkan kehidupan yang ambigu. Kehidupan yang penuh kemudahan, namun terkekang dalam himpitan-himpitan ke’syubhat’an. Tidak ada satu hal pun yang susah diraih. Uang, jabatan, popularitas, market, gaya hidup, dan lain sebagainya. Semua memiliki jatah peluang yang sama untuk meraup kesemuanya. Tapi yang menjadi rival bengis adalah hilangnya cara dan etika menuju tangga-tangga yang ditapakinya.
الحلال بين و الحرام بين. و بينهما أمور متشابهات
Perkara yang halal itu sudah jelas. Yang haram pun sudah jelas. Adapun yang berada di tengah-tengah antara keduanya adalah ke’syubhat’an (ketidakjelasan)
Bahkan, lebih dramatisnya,
من وقع في الشبهات وقع في الحرام
Barang siapa yang berada di tengah-tengah ketidakjelasan tersebut (ke’syubhat’an), mereka tergolong manusia-manusia yang ada di garis keharaman.
Dari sini, santri patut mendapat apresiasi hebat lantaran mereka lah para pewaris nilai-nilai luhur panjangnya sejarah kehidupan. Mereka seperti mendapat ilham jurus ampuh melalui sebuah laku sufi (yang sekaligus menjadi identitas kealiman seseorang), adalah sikap wira’i. Wirai adalah sebuah konsep moral sufi yang harus diteladani demi menghindarkan diri dari dua pokok tantangan tersebut.
Syekh Abdulloh bin Hijazi Al Khalwati dalam Syarah Hikam-nya menyebutkan, “Ada 4 hal yang bisa digunakan sebagai pegangan para santri agar tidak tergelincir menuruti hawa nafsu” :
– Shihhatul Yaqiin
Pentingnya mencari dan menjaga keyakinan yang benar, bahwa segala sesuatu itu mutlak datangnya dari Allah SWT. Tidak perlu merasa khawatir dan cemas (apalagi putus asa) dari rahmat Allah SWT. Lebih-lebih terkait rizki harta, makanan, kenyamanan, dlsb. Cicak yang bahkan tidak bersayap pun selalu mendapatkan jatah rizki santapan makanan yang justru dari hewan bersayap.
و ما من دابة في الارض إلا على الله رزقها
Tidak ada satu pun hewan melata yang hidup di bumi ini, kecuali Allah SWT telah memberi jatah rizki baginya.
– Kamalu At Ta’alluqi birobbi Al Alamin
Adalah sebuah sikap menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam keadaan apapun. Menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang tak kuasa atas apa pun, sekalipun atas dirinya sendiri. Hal ini menjadi penting lantaran di era modernitas seperti ini, kesaling-tergantungan antara mahluk satu dengan yang lain kerap menimbulkan kerugian. Melahirkan hasrat mental sebagai peminta-minta, pengemis yang rela menghinakan diri di hadapan yang tidak seharusnya.
– Wujuudu As Sukuuni Ilaih
Selalu merasa tenang dengan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Allah SWT selalu memberikan yang terbaik sesuai rencana-Nya.
و ما ربك بظلام للعبيد
Allah SWT tidak akan berlaku dholim kepada hambaNya.
Kekurangan, kemiskinan, kepayahan, kegelisahan mungkin cenderung kita maknai sebagai cobaan. Namun sejatinya kekayaan, kemewahan, kelebihan, keunggulan sejatinya juga merupakan ujian. Dari itu, bagaimanapun bentuk apa yang diberikan, ketenangan lah yang terbukti mampu menjadi bukti kerelaan atas penerimaan.
– Tuma’ninatu Al Qolbi Bihi
Merasa tenang hati dan yakin bahwa segala yang tejadi tak lain adalah sesuai dengan kehendak allah. Bisa jadi apa yang kita kehendaki bukan lah merupakan kehendak yang terbaik di sisi Allah. Sebaliknya, apa yang tidak kita kehendaki boleh jadi yang demikian merupakan garis terbaik yang Allah SWT kehendaki.
Ideologi bukan sebuah prinsip yang mudah diterapkan. Poros-poros bangunannya terlebih dahulu harus dikenali dan perlahan-lahan dibiasakan. Santri adalah aset kelestarian. Mereka adalah modal penyeimbang ritme berkehidupan. Dunia berjalan semakin cepat. Banyak moralitas yang gugur dilibas ketidak-adilan. Tapi santri, selamanya harus menjadi yang paling berani meredam kesalah-kaprahan dengan senantiasa mempertebal gizi keimanan.