Oleh: Hyang Ismalya Mihardja
Mengetahui aku menuliskan cerita tentang Ayah, Ibuku cemberut lalu menuntut; dia ingin aku tuliskan juga cerita tentang dia, katanya kalo perlu satu buku.
Ibu, Mantan Pacar Ayah.
Tak bosan saya menyaksikan bagaimana ayah menatap ibu, bikin GR kalo ditatap ayah, tuh; tapi jangan dulu berpikir romantis, ya. Kelanjutannya agak nyebelin, dalam tatapan itu ayah berkata, “Ya Allah, ayah mah seleranya perempuan yang tinggi semampai, kenapa dapetinnya yang pendek bulet begini…” buahaha ngakak gue.
Sebelum ibu siap melancarkan rundungan balasan, ayah buru-buru meluruskan, “Tapi ibu tuh cinta terakhir ayah, dari banyaknya mantan pacar ayah, terakhir ibu pemenangnya”. Bukannya bangga, spontan dengan nada menghanyutkan sekaligus menyudutkan ibu menjawab, “Boleh jadi ayah yang pertama dan terakhir buat ibu, tapi sorry ye, di tengah-tengahnya banyak, tuuuh”, Hahahaha
Begitulah percakapan kemesraan mereka. Ini rahasia ya, tapi ibuku yang selalu menang. Ayah mencintai ibu sampai dengan hal kecil. Dia ingat bagaimana cara ibu pegang sendok makan, yang dia bilang tak pernah berubah sedari dahulu baru kenal.
Kalo selera musik ayah sekelas Rolling Stone, versi Ibu nggak kalah legend, ibu penggemar berat musiknya sang Raja Dangdut alias Satria Bergitar, Rhoma Irama. Meskipun dangdut is the music of my country, ada peraturan tidak tertulis di rumah kami; dilarang musik dangdut didendangkan. Kecuali, saat ayah sedang menggagaskan rayuan ke ibu, dimainkanlah itu musik dendangan gendang dan suling bambu, My dad was a play boy, he knows how to play with my mom’s heart.
Ibuku Seorang Guru
Ibuku berasal dari keluarga Tubagus Banten, keturunan guru agama. Huru-hara terjadi kala ayah, anak band asal Bandung tulen, datang bertandang ke rumah ibu. Ayah berdandan flamboyan. Ayahku sangat modis, semua pakaiannya up to date, sepatu jenggelnya tak mau dia lepas waktu masuk ke rumah ibu, gaswat! membuat ngamuk abang dari ibuku. Ayahku sempat di cap ‘dasar orang Bandung sombong, nggak tau adat”. Padahal ayah pikir, dengan berdandan rapi itu tanda menghormati, yang dia paham lepas sepatu hanya jika masuk ke dalam masjid. Affinity Bias.
Ayah sudah tau sejak awal mengenal ibu, that she’s the one. Sedari masa pacaran ia sudah memanggilnya “istriku”. Saya tahu itu dari membaca koleksi surat cintanya untuk ibu. Ayah memilih ibu karena memang ia ingin mendaftar untuk belajar agama. Ayahku adalah murid pertama ibuku. Huruf pertama Alquran dan saolat perdana yang ia dirikan, ia pelajari melalui bimbingan ibuku. Sampai akhir hayat, ayahku adalah murid teladan, dialah seorang yang sudah bersiap dengan sarung, peci dan baju koko bahkan sebelum azan berkumandang. Insafnya ayahku adalah masterpiece ibuku.
Ibu menikmati kehidupannya sebagai guru, dari level usia PAUD sampai tingkat profesor pernah belajar membaca huruf dari ibu.
Seringkali ibu berucap padaku, “Iyang jadi Guru aja, supaya ada yang nerusin kakek, Iyang kan bakatnya ngajar sama kaya Ibu,” hah maksud ngana? Eike jadi guru ngaji? *tepok jidat.
Bergaul dengan banyak kalangan menanamkan visi ibu akan pentingnya pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Lekat dalam memoriku, saat ibuku mengantar aku ujian UMPTN. Sebelum masuk kelas, ibu mendekatiku, sedikit membungkuk, menggenggam tanganku dan menyelipkan secarik kertas, Ibu berbisik “Iyang, baca doa ini, ya. InsyaAllah nanti Iyang lulus masuk ke universitas terbaik di negeri ini. Ibu doain.”
Sampai sekarang, aku masih menyimpan kertas doa itu di dalam dompetku, sebagai jimat keberuntungan. Ibuku juga, yang repot mengumpulkan persyaratan untuk aku ospek, beliau mengantar sedari subuh dan setia menunggui aku selesai ospek di gerbang UI Depok, sampai lewat tengah malam untuk menjemput aku kembali yang dalam keadaan tepar. Ibu adalah guru pertamaku sekaligus supporter utama dalam hidupku. Ibu membukakan jalanku untuk melihat dunia.
Aneh tapi nyata, pada fase kehidupanku sekarang, bisa dibilang aku ini part time lawyer–full time teacher. Pekerjaanku justru lebih banyak mengajar, sampai keliling penjuru Indonesia, bahkan sampai ke Eropa. Alhamdulillah, berkat doa ibuku, aku juga seorang guru, seperti Ibu. Walaupun bukan guru ngaji ya, hahaha, tapi ya mirip-miriplah in universal way.
Ibuku Anak Gaul.
Ibuku punya banyak teman, dari kelas sosial pasar becek sampai komplek real estate. Semua pertemuan mengharapkan kehadiran ibu, setiap teman-teman ibu akan bela-belain jemput dia, memastikan dia hadir. Katanya nggak ada si ibu gak seru. Jika orang-orang melihat ayahku bikin rasa segen, berbeda kesan dengan Ibu yang selalu bikin suasana riang.
Ibu baik sih, misalnya saat naik bajaj, dia akan bilang sama Abang Bajaj, “Bang saya turun di sini aja, sebab kalo ke depan lagi, Abang nanti susah muter baliknya”. Dia pengertian kalo bajaj tuh jalannya cuma bisa maju gak bisa mundur, itu salah satu contoh, so sweet, kan.
Di tempat tinggal kami dulu, di daerah Jakarta Barat, dari Gang 1 sampai Gang 17 semuanya ada anak asuh Ibuku, yang setiap bulan dia perhatikan biaya sekolahnya, jika tidak mampu dari kocek sendiri, Ibu mengkoordinir fund raising, Ibuku bak sosialita di lingkungan kelurahan, keren ya Ibuku.
Di lingkungan tempat kami tinggal, tak ada seorang anak pun baik yang kehilangan Ayah (yatim) atau kehilangan Ibu (piatu), yang luput dari perhatian Ibuku. Radius 5 km dari rumah kami, tak ada nenek-nenek maupun janda tua yang meleset dari salam tempel beliau. Karena hal itu aku jadi beruntung sering dapet nasi uduk gratis dari si nenek, hehehe lumayan. Aku bangga menyebut Ibuku seorang ahli sedekah.
Ibuku si Warrior Princess
Namanya juga hidup, pasti ada masalah ya, kan. Dalam hal ini masalah yang menimpa anak-anaknya.
Kalo ayahku menghadapi masalah dengan gelar sajadah, cinta ayahku sifatnya metafisik. Pembelaan ayah katanya udah kenyang berantem terus dari muda, ayah lebih senang pendekatan spiritual.
Berbeda dengan Ibuku yang bakal langsung bangkit berdiri menyatakan perang “lo macem-macem sama anak gue, panjang urusan…!!” Alamak!
She truly is my driving force. Ejawantah pengorbanan dan cinta Ibu dalam bentuk nyata begitu fisik. Misal, ibu akan dengan senang hati menemani saya, yang out of the blue, as if lagi kesambet ruh Bung Karno, minta jalan ke Museum Fatahilah atau Museum Nasional, berdua aja kita jalan-jalan. Atau kala saya patah hati, Ibu akan setia mendampingi saya menyetir mobil tak tentu arah, pergi ke gunung atau ke pantai, berduaan juga. Ibulah yang keliling tengah malam, mencari adikku yang nggak pulang-pulang, main kelamaan. Itulah Ibuku si warrior princess.
Sudah pernah aku cerita kan ya, ayah sering menunggui aku belajar sampai dini hari. Lain lagi dengan ibu, doi seneng ajak aku jalan, pernah loh suatu hari dia bilang, “Yang, hari ini nggak usah sekolah ya, bolos aja, kan besok juga sekolah lagi. Hari ini ikut Ibu aja jalan-jalan.” Ibuku temen yang asyik. Ibuku, my forever best friend.
Ibuku Aktifis Ulung
Ibu rajin, semua hal senang dia pelajari, dari mulai kursus jahit, bikin kue, apalagi pengajian, seven days a week; nggak ada hari yang kosong. Ibu kader Posyandu, aktif di PKK, member berbagai arisan. Ibu juga suka berdagang, pernah juga mengimpor pakaian batik dari Solo untuk dijual di Jakarta, produksi dan jual keripik singkong, kue-kue, buka warung kelontong semua pernah dia kerjakan, tapi entah gimana ceritanya alhasil jarang untung biasanya malah buntung, dengan setumpuk piutang yang tak tertagihkan. Pada satu titik Ibu kapok berdagang, dia kembali ke fitrahnya sebagai seorang guru.
Ibuku Ahli Politik Paling Asik
Pernah Ibuku bertanya, “Yang, kalo ibu nggak ada, apa yang Iyang inget dari Ibu? pasti deh Iyang inget ibu lagi baca Alquran, ya kan? hehehe”, What?! aku jawab dong “Nggak lah, Iyang ingetnya ibu lagi senderan di kasur, nonton berita politik, sambil ngemil kacang sukro”. ha ha ha. Ibuku tuh tiap kali dia WA bunyinya kira-kira begini, “Yang, nonton Trans TV, Mata Najwa”, besok lagi, “Yang, sekarang TV One ILC”, lain hari lagi “Yang, Metro TV sekarang ya, Kick Andy”, biasanya saya jawab, “Oke, Bu”, padahal saya lanjut nonton HBO ho ho ho, begitulah gaya kami berkomunikasi.
Gantian aku tanya balik dong, “Kalo Iyang nggak ada, ibu ingetnya apa?” jawabannya fantastis, Bok, “Iyang tukang komplen” ishhh sebel banget kan, padahal saya berharap kata-kata pujian. Perlu beberapa hari perdebatan karena nggak rela dibilang begitu, untuk paham kata-kata dia bahwa saya si tukang komplen. Ternyata maksudnya seperti club pengacara yang saling argumen di program TV favoritnya itu, katanya cuma tukang komplen yang bisa melihat celah, apa yang salah, lalu serang. Well oke lah, not bad.
Sering kami terlibat dialog mendalam tentang tafsir kitab suci yang ibu pelajari, kemudian saya timbul banyak pertanyaan, tanya lagi… tanya lagi dan lagi, tahu nggak apa yang dia lakukan? saat udah males kasih jawaban dari pertanyaan saya, dia lari menuju kamarnya, saya kejar dong, lalu…gabruk…pintu ditutup tepat di depan muka saya, lalu dikunci, pertanda yang fisik banget bahwa doi nggak mau diteror pertanyaan lagi. Sebel ya bikin gantung tau gak.
Ibuku jarang WA apalagi telpon, jual mahal dia mah, tapi menjelang weekend bisa dipastikan muncul sekilas info, “Yang, kalo sibuk Iyang nggak usah ke sini, ya. Minggu depan aja”, saya jawab “Oke bu, makasih, ya!” alhamdulillah ibuku pengertian. Lalu, setelah beberapa waktu, “Yang, ibu masak ayam kecap sama balado kentang nih, Raya dan Rangga juga katanya besok mau ke sini, tapi Iyang kalo sibuk nggak usah ke sinilah.” see what I mean…?! Belum mandi pun saya langsung bergegas masuk mobil, berangkat.
Politiknya Ibu menyerang lahir (hasrat perut) batin (bocah-bocah jantung hati) saya. Dahulu saya gak terlalu paham bahasa Ibu itu, biasanya suami saya yang ngerti dan menjadi penerjemah maunya Ibu. Intinya, Ibu selalu dapat yang dia mau, dengan cara dia yang asik.
Ibuku Sang Ratu Pemilik Duniaku,
Sejak kecil saya membayangkan suamiku pasti mirip Ayah; cowok modis, cool, bercita rasa seni, bahkan saya membayangkan barangkali pasanganku di masa depan bau tangannya pun seperti Ayah, perpaduan oplosan antara harumnya Dji Sam Soe dan Gudang Garam Filter, hmmm yummy, kenyataan….ZONG! Suamiku saat ini sepertinya saudara kembar Ibuku pada kehidupan sebelumnya, mirip banget cyiin, hadeuuh, tak pernah terbayangkan dalam khayalan siang bolong sekalipun.
Faktanya memang suamiku adalah calon jagoan usungan Ibuku. Kalo versi Ayah, calon suamiku mesti tipe James Bond, berlawanan dengan versi Ibu yang menjagokan calon suami versi si Doel Anak Sekolahan, tau kan (sing: “aduh sialan, nih si Doel anak betawi asli…kerjaannya sembayang mengaji…tapi jangan bikin diee…” – lanjutin sendiri nyanyiannya ya hehehe), intinya, alamaaak!
Ibu sangat piawai melancarakan jurus politik kelas domestik rumahan, demi memenangkan kursi mempelai pria di pelaminan, kalo diceritain bisa jadi episode sendiri nih, ruwet deh pokoknya. Begitulah ibuku, maka aku pun terjebak dengan indahnya, di dalam dunia yang beliau impikan untukku, aku memang milik Ibu. And, I love her. Semoga suatu hari Tuhan perkenankan aku menjadi seorang Ibu, seperti Ibuku.
Seperti itulah Ibuku,
melalui tulisan ini aku ingin Ibu tahu,
Ibu bagaikan lontong sayur untuk jiwaku
(baca: food to my soul).
Barangkali ada yang membatin, kok Hyang cerita Ibunya banyak dari kacamata Ayah? Apakah lebih sayang sama Ayah?
Jangan salah guys, what I’m trying to say is Ibu is one definitive person I see as bidadari ayah baik di bumi dan di surga.
What else better that that? itu kan hakikatnya tujuan seorang perempuan, menjelma jadi bidadari bagi kekasihnya.
Dalam pandanganku, Ibuku telah menjadi perempuan, utuh.
Bagaimana dengan saya atau kamu, bidadarinya siapa ya…?
———————————————————————
Saya sempat mengirimkan tulisan ini ke Ibu sebelum saya posting, mau tau komentar beliau, demikian saya copas:
“Kok lontong sayur, maksud loh?????”
hwakakaka sontak saya ngakak, lucu yah dia tuuh.
Very wise advice dari Mbak Kristin Samah,
beneran deh selama masih ada Ibu,
kasih tau isi hati kamu, menulislah untuk beliau.
It makes her fly.