Hikmah Perjalanan Hidup Hatim Al-Asham

160
Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam kitab Ayyuhal Walad-nya Imam Ghazali, diceritakan pada bab “Fawaid” (Faidah-Faidah Penting dalam Kehidupan), bahwa terdapat riwayat seorang murid yang bernama Hatim Al-Asham. Beliau telah berguru (menimba ilmu) selama kurang lebih 30 tahun kepada Syekh Syaqiq Al Balkhi.

Suatu hari, gurunya, Syekh Syaqiq bertanya pada Hatim, “Wahai muridku, sepanjang 30 tahun kau menemaniku di sini, apa saja kah yang telah kamu peroleh ?”. “Setidak-tidaknya, aku telah berhasil menghimpun delapan faidah (manfaat) dari ilmu, dan aku merasa cukup dengan hal-hal itu sebagai bekal keselamatanku nanti”, ucap Hatim di hadapan gurundanya kala itu.

Baca Juga: Kabar Gembira, UIN Raden Fatah Buka Beasiswa Jalur Mandiri Berprestasi, Daftar Segera!

Diantara ke delapan faidah tersebut, yang ke-empat adalah :

إني رأيت بعض الخلق يظنّ أنّ شرفه و عزّه في كثرة الأقوام و العشائر، فاغترّ بهم. و زعم آخرون أنّه في ثروة الأموال و كثرة الأولاد، فافتخروا بها. و حسب بعضهم أنّ العز و الشّرف في غصب أموال الناس و ظلمهم و سفك دمائهم. و اعتقدت طائفة أنّه في اتلاف المال و إسرافه و تبذيره، فتأمّلت في قوله تعالى : (إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم)، فاخترت التقوى و اعتقدت أنّ القرآن حق صادق، و ظنّهم و حسبانهم كلها باطل زائل.

“Bahwasaya aku (Hatim Al Asham) melihat manusia-manusia beranggapan bahwa kemuliaan dirinya dan keluhurannya diperoleh dari banyaknya jumlah pengikut, atau banyaknya orang yang mempercayainya. Oleh itu, aku sadar pandangan seperti ini menipuku. Sebagian yang lain kulihat beranggapan bahwa kemuliaan dirinya didapat dari banyaknya harta benda dan keturunan, karena peristiwanya banyak yang berbangga diri dengan hal itu. Sebagian lagi lebih ekstrem, mereka berasumsi kehormatan dirinya diperoleh dari ketika ia bisa mengambil harta orang lain tanpa ijin, jumawanya dalam kemampuan menindas dan menganiaya, bahkan membunuh. Sementara kelompok sisanya berkeyakinan bahwa kemuliaan dirinya bisa dicapai melalui kemampuannya menghambur-hamburkan harta, berkehidupan mewah dan foya-foya. Dari beberapa kaca mata itu, aku (Hatim) langsung mencoba merenungi firman Allah : (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa). Maka, sejak itu pula aku memilih taqwa sebagai pijakanku, dan aku yakin bahwa Al Quran adalah haq dan benar, sedangkan prasangka mereka semua adalah kebatilan yang (pasti) akan menemui titik penyesalannya”.

Asumsi-asumsi yang ditarik oleh Hatim Al-Asham sebelum mencerna ayat Allah tersebut di atas bukan lah asumsi yang halusinatif. Peristiwa-peristiwa penggambaran di atas bahkan beranak pinak penerusnya sampai detik ini.

Takaran kemuliaan dan keluhuran diri selalu kita identikkan dengan hal-hal yang membahagiakan, dengan bentuk-bentuk sifatnya yang tak lain diantaranya adalah : kekayaan dan kekuasaan. Ketika hal tersebut diyakini atau dijadikan sebagai hipotesis dalam melaksanakan amanat kehidupan, tentu yang terjadi adalah peristiwa-peristiwa yang tak sesuai dengan harapan. Allah SWT menghendaki sesuatu yang baik (terbaik) untuk hambaNya. Oleh itu, tidak ada kehendak yang sebelumnya tanpa disertai sebab. Manusia hanya dituntut untuk terlibat dalam pelaksanaan sebab-sebab yang akan kitabmengantarkannya pada kehendak terbaik.

Jikalau terjumpai manusia sedang mengalami takdir yang ‘kurang baik’ (dalam versinya), maka sejatinya itu adalah opsi takdir terbaik (versi Allah) atas dirinya, yang tentu tak lepas dari keterlibatannya dalam pelaksanaan sebab-sebab yang melatarbelakanginya, sebelumnya. Allah SWT bukan Tuhan yang galak lagi pendendam, kasih sayangNya begitu luas lagi dalam. Dari itu, atas satu kehendak takdir terbaikNya, Dia menciptakan jalan sebab yang banyak, tidak hanya satu. Manusia (dalam pelaksanaan sebab ini) diperintah memilih baginya yang termudah, yang ia bisa dan mampu, semaksimalnya.

Hatim Al-Asham, melalui kisah singkatnya sesuai yang ditulis dalam kitab ini, mengajarkan pada kita bahwa laku hidupnya sebagai murid alim yang memliki guru, bukan lah ditunjukkan pada kemampuannya membaca/memprediksi takdir Allah, akan tetapi justru menjadikan fenomena-fenomena sebagai katalog pelajaran yang harus dibaca, dipelajari, untuk kemudian Al Quran (Kalamulloh) dijadikan sebagai tolak ukur mediator validitas petunjuk kebenaran yang harus direnungkan sebelum menempuh laku sebagai manusia.

Semoga kita semua tergolong hamba-hamba Allah yang senantiasa diberi perlindungan dan kasih sayang.

Zufardien Muhammad