Universitas Jacobs, Bremen, Jerman menganugerahkan penghargaan Teacher of The Year Tahun 2020 kepada Hendro Wicaksono, seorang dosen asal Indonesia di kampus tersebut. Penghargaan itu diberikan berdasarkan penilaian para mahasiswanya selama setahun masa pembelajaran, September 2019 lalu hingga Juni 2020.
Sosok Hendro Wicaksono
Profesor teknik industri itu menyampaikan, penilaian baik yang diberikan para mahasiswanya didasarkan pada kenyamanan yang ia berikan selama proses pembelajaran.
Artikel terkait Menghormati Guru, lihat Pentingnya Menghormati Guru Bagi Seluruh Murid.
Hendro menaruh hal tersebut pada porsi yang paling tinggi sehingga mahasiswa pun menjalani kelasnya dengan sepenuh hati. Kenyamanan itulah yang membungkus materi, motivasi, dan inspirasi yang terus ia sajikan tanpa henti kepada ‘teman belajarnya’ itu.
“Orang belajar tidak hanya dari konten, tetapi juga dari pengajarnya. Harus didekati dan lebih nyaman dengan pengajarnya. Saya berusaha sebisa mungkin dekat dan menginspirasi mahasiswa”.
“Mereka mau mendalami ilmu dan melakukan lebih dari apa yang saya ajarkan hingga memilih karir di bidang yang relevan berhubungan dengan saya ajar,” katanya kepada Mading.id pada Ahad (13/9).
Proporsional
Di samping itu, kunci lain yang ia sampaikan adalah penempatan dirinya di tengah para mahasiswanya. Ini bukan berarti secara fisik, melainkan posisi hubungan dan interaksi dengan mereka mengingat latar belakangnya yang sangat beragam. Sebab, mahasiwa di kampus tempat dia mengajar berasal dari lebih dari 100 negara.
Perbedaan negara juga menandai perbedaan karakter dan budaya masing-masing mahasiswa. Keunikan mereka tidak bisa dinafikan begitu saja sehingga harus saklek menerapkan satu model pembelajaran saja karena tidak ada yang paling benar untuk semua situasi dan individu.
Sebagai pengajar, Hendro melihat profil mahasiswa seperti apa, menempatkannya dengan sesuai, serta memanusiakannya.
Baginya, jika memaksa satu model pembelajaran saja tentu tidak adil. Sebab, banyak jalan menuju Roma, tak sedikit cara mentransmisikan pengetahuan. Ia tahu diri harus proporsional di hadapan para peserta didiknya demi potensi yang mereka miliki dapat diasah secara maksimal di kelasnya.
Menghadapi Berbagai Karakter Mahasiswa
Dalam pandangannya, mahasiswa asal Jerman dan orang Eropa Tengah seperti Belanda terlihat kritis. Mereka kerap mengemukakan pendapatnya jika melihat kejanggalan pada apa yang disampaikannya.
Ia menyebut ada yang gemar menjilat seperti mahasiswanya asal Asia Selatan. Beberapa mahasiswa asal Rwanda, Kenya, dan Subsahara Afrika terlihat begitu pelan mengikuti proses pembelajaran yang dilakukannya.
Tidak saja tampak saat di kelas, tetapi juga tecermin dari gaya mereka makan dan berjalan. “Semua harus terakomodasi dengan kemampuan masing-masing,” katanya.
Sementara itu, anak didiknya dari Asia Timur terlihat introvert, menutup diri. Ia sendiri kadang-kadang tidak mengetahui apakah mereka memahami penjelasannya atau tidak, saking pendiamnya mereka.
Pada orang-orang yang demikian ini, Hendro memberikan kuis daring. Hal ini diterapkan karena jawaban yang dibutuhkan dari mereka tidak perlu disampaikan melalui angkat bicara.
Pengajar Kedepankan Etika
Pengambilan posisi secara proporsional itu, menurutnya, bagian dari etika seorang pengajar. Ia menegaskan, tidak hanya mereka yang belajar yang harus beretika, tetapi juga yang menjadi pengajarnya.
“Yang saya terapkan itu prinsip adab secara umum, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan beda-beda kultur saya seting customize supaya masing-masing mendapat porsinya,” ujarnya.
Saat pembelajaran dilakukan secara daring, misalnya. Penentuan waktu kuliah tatap muka secara virtual harus mempertimbangkan waktu setiap mahasiswanya. Paslnya, beberapa di antara mereka ada yang tengah kembali ke negara asalnya masing-masing, seperti Jepang, Ekuador, Argentina.
“Saya ngadain kuliah random karena perbedaan waktu. Saya coba mix, ngasih kuliah yang live berinteraksi langsung. Di konten tertentu, saya rekam 10 sampai 15 menit setiap bagian supaya mahasiswa tidak bosen. Mereka bisa mengulang-ulang,” terang pria asal Sidoarjo, Jawa Timur itu.
Hendro secara bergantian melangsungkan pertemuan tatap muka secara virtual sehingga ada interaksi di antara dia dan mahasiswanya. Tetapi dalam kesempatan lain, ia juga memberikan rekaman materi yang disampaikannya. Hal itu bergantung materi yang hendak ia bagikan kepada anak didiknya.
Motivasi juga menjadi hal penting lain yang selalu digelorakannya kepada segenap mahasiswanya. Ia yang berasal dari negara berkembang menjadi satu role model dan titik pacu bagi mereka yang juga berasal dari negeri yang berada di taraf yang sama.
Sebab, dengan melihatnya begitu, mahasiswanya bisa bangkit untuk memaksimalkan segala potensinya untuk menjadi lebih dari sekadar apa yang sudah diraih oleh dosennya itu.
Membentruk Struktur Berpikir Mahasiswa
Selanjutnya, ia juga mengupayakan untuk membentuk struktur berpikir para mahasiswanya. Ia tidak meminta mereka untuk menelan mentah-mentah apapun yang dijelaskannya. Ia meyakini, ada kemungkinan mereka dapat mengetahui sesuatu secara mendalam darinya, hal lain dari internet ataupun diskusi.
“Yang bentuk kita. Yang mengisi kontennya itu mahasiswanya sendiri,” jelas Kepala Grup Penelitian Manajemen Data Intelijen untuk Industri 4.0 (INDEED) itu.
Guna memudahkan dan sekaligus memberikan konstruk berpikir mereka, Hendro meminta mereka menghubungkan materi dengan konteks negaranya masing-masing. Sebelumnya, ia juga mengemukakan konteks Indonesia dan Jerman dalam penyampaiannya.
“Saya ngajar Smart City, saya tanya di India bagaimana, China gimana, Afrika gimana. Mereka akhirnya berpikir untuk mengkoneksikan antara materi kuliah dan negara masing-masing. Buat saya, itu keuntungan sendiri karena bisa belajar dari mereka,” pungkas Wakil Katib Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman itu.
Penulis: Syakir NF