Pembatasan mobilitas masyarakat saat pandemi COVID-19 mengakibatkan masyarakat jengah dan rindu berwisata. Namun, terlepas dari dampak positif pada perekonomian, pemerintah perlu waspada dengan keinginan masyarakat untuk ‘wisata balas dendam’ (revenge tourism) akibat lamanya terkungkung di rumah. Hal ini mengingat potensi penyebaran virus yang masih terjadi hingga kini.
Istilah revenge tourism atau revenge travel tengah populer di dunia. Revenge tourism, yang secara harfiah berarti ‘perjalanan wisata balas dendam’, muncul sebagai dampak COVID-19 yang membatasi kebiasaan melancong masyarakat.
Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas masyarakat yang secara beramai–ramai datang mengunjungi sejumlah destinasi wisata yang sudah diizinkan beroperasi.
Hasil survey asosiasi penerbangan International Air Transportation Assosiation (IATA) tahun 2021 menunjukkan bahwa 60% wisatawan menganggap kebijakan pembatasan perjalanan udara berlangsung terlalu lama. Sekitar 75% wisatawan berpendapat bahwa mereka merasakan tertekan akibat kebijakan pembatasan perjalanan ini.
Artinya, pariwisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat, terutama sejak adanya pandemi. Masyarakat memiliki keinginan menggebu-gebu untuk berwisata dan menghilangkan stres setelah hampir tiga tahun kelelahan melawan pandemi dengan mengurung diri di rumah.
Ramai Tren “Healing”
Belakangan ini ramai tren “healing” di kalangan masyarakat, utamanya di kalangan muda-mudi. Istilah kekinian ini kerap digunakan warganet untuk mengungkapkan sesuatu yang menyenangkan melalui unggahan media sosial. Healing sendiri dimaknai secara beragam. Ada yang healing dengan makan enak. Ada yang healing dengan liburan ke tempat wisata, dan banyak lagi lainnya.
Menanggapi hal itu, psikolog klinis Veronica Adesla mengatakan, healing adalah termin untuk penyembuhan atau pemulihan secara general. Healing bisa dilakukan sendiri atau oleh tiap individu maupun dibantu oleh profesional.
Terkait istilah “healing” yang kerap dipakai orang-orang di media sosial, liburan bisa saja menjadi tindakan self healing. “Bisa saja liburan menjadi self healing kalau misalkan aktivitas yang dilakukannya selama liburan tersebut memang membantu yang bersangkutan untuk memulihkan dirinya dari kelelahan fisik maupun mental yang mungkin sedang dialami,” lanjut dia.
Self healing dengan healing memiliki arti yang berbeda dalam ilmu psikologi. Namun itu pada dasarnya tren healing berasal dari istilah “self healing” adalah tindakan/upaya yang dilakukan oleh individu tersebut untuk menyembuhkan atau memulihkan dirinya sendiri.
Pemulihan COVID-19 memakan waktu yang lama dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Oleh sebab itu, pembatasan perjalanan internasional dianggap bukan lagi menjadi solusi terbaik mengingat dampaknya pada perekonomian. Melonggarnya pembatasan perjalanan di dunia memberi ruang bagi pemerintah negara-negara untuk memperkenalkan berbagai kebijakan demi mendorong pemulihan sektor pariwisata.
Namun, kebijakan–kebijakan tersebut masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat berwisata. Dampaknya, terdapat potensi melonjaknya perjalanan wisata dalam bentuk revenge tourism yang dapat memicu penyebaran virus.
Pemicu fenomena wisata balas dendam
Pertama, pada 23 maret 2022, pemerintah menetapkan kebijakan bebas karantina bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing yang tiba dari luar negeri. Bebas karantina ini mulai berdampak terhadap peningkatan kedatangan penumpang dari luar negeri terutama di Bandara Soekarno–Hatta, Tangerang.
Kedua, libur Idul Fitri – yang pada tahun 2022 berlangsung pada tanggal 3-4 Mei – memancing animo masyarakat yang tinggi untuk menjalankan tradisi mudik atau pulang kampung. Sebabnya, menurunnya kasus COVID-19 di Indonesia membuat 85 juta orang merasa aman untuk bepergian libur Idul Fitri 2022.
Ketiga, tahun ini pemerintah menetapkan cuti bersama Idul Fitri mulai 29 April – 6 Mei 2022. Hal ini berbeda dibandingkan tahun sebelumnya ketika pemudik hanya diberikan satu hari untuk bepergian. Sementara, pada tahun 2020, pemerintah memberlakukan laranga mudik untuk mencegah laju penyebaran COVID-19.
Ketiga hal tesebut dapat mendorong lonjakan revenge tourism di Indonesia, baik internasional melalui kebijakan bebas karantina maupun domestik melalui momen lebaran dan cuti bersama.
Hal ini dapat memicu penyebaran virus. Potensi munculnya gelombang ketiga bukan tidak mungkin menjadi dampak terburuk dari adanya revenge tourism di Indonesia.
Pemerintah perlu antisipasi
Industri pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang paling terdampak akibat kebijakan pembatasan perjalanan domestik dan internasional selama pandemi. Indonesia kehilangan 74,84% atau sekitar 12,06 juta kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang tahun 2020. Hal ini berimbas pada turunnya kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan domestik bruto (PBD) Indonesia, dari 4,7% pada 2019 menjadi 4,05% pada 2020.
Di balik dampak ekonomi yang dihasilkan dari fenomena revenge tourism ini, peningkatan jumlah kasus dan munculnya gelombang COVID-19 baru membayangi negara-negara di dunia termasuk Indonesia yang akan menerapkan PPKM Level 2 kembali.
Pemerintah Indonesia harus segera menentukan berbagai skenario pencegahan lonjakan yang terjadi sebagai potensi adanya fenomena revenge tourism, terutama di daerah destinasi pariwisata. Wisata bahari, wisata panorama alam, dan wisata kuliner yang palimh diminati oleh masyarakat.
Pemerintah dapat melakukan peningkatan cakupan vaksin, pembatasan jumlah kunjungan, penerapan protokol kesehatan, pemeriksaan massal, serta menjamin ketersediaan ruang isolasi dan rumah sakit dapat menjadi salah satu solusi. Selain itu, pengelola pariwisata juga dapat bersinergi dalam menerapkan protokol kesehatan serta fasilitas yang mendukung pencegahan meningkatnya COVID-19.
Penulis: Mukhammad Khasan Sumarhadi
(Mahasiswa UIN Walisongo Semarang