Oleh: Annisa Zuhra
Ketika saya diterima menjadi mahasiswi program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, terlintas di pikiran bahwa komunikasi adalah hal yang sederhana: sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan komunikasi untuk saling membantu. Seiring berjalannya waktu, beberapa konsep membawa saya berefleksi bahwa komunikasi ternyata sangat kompleks. Saya dibawa untuk melihat bahwa cara komunikasi orang Aceh misalnya, berbeda dengan orang Batak yang dalam beberapa situasi bisa menimbulkan konflik.
Dalam tulisan ini, saya akan menulis refleksi pribadi ihwal komunikasi dan konflik.
Saya adalah perempuan yang besar dengan setengah asuhan media mainstream (TV) dan setengahnya diasuh oleh media baru (IG, WA, FB, YouTube). Saya dibentuk menjadi pribadi yang percaya bahwa kebenaran itu tunggal saat masih bersama media mainstream dan mulai melihat keberagaman perspektif saat bertemu media baru. Cara menghadapi konflik juga saya yakini berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Bahkan, cara saya melihat diri sendiri hari ini dengan masa lalu bisa berbeda juga. Banyak pengaruhnya, beberapa di antaranya adalah pola asuh, pengalaman buruk/baik, bacaan, hingga perjumpaan.
Konflik adalah indikator bagi adanya kehidupan. Nggak mau berkonflik? Ya jangan hidup. Gitu aja kok repot. Dasar saya. Konflik juga kecil kemungkinan terjadi pada orang yang tidak berhubungan. Duh, saya konflik dengan pacar. Lah, kan wajar, namanya saling dekat jadi ya akan bergesekan. Konflik pun muncul jika ada yang ingin mengendalikan. Ih kesel deh saya, masa saya harus paksa dia. Ya itu beberapa contoh gerutuan saya saja.
Diasuh oleh dua jenis media membawa saya pada kelabilan sikap. Terkadang saya bisa menghargai keberagaman perspektif, tetapi di titik lain saya menjadi orang yang tidak dapat mengontrol diri jika kebenaran yang saya imani dinistai orang lain, terlebih jika tidak ada niat terbuka untuk melihat diri (juga kebenaran yang masing-masing yakini) secara lebih dalam satu sama lainnya.
Lah, kan labil banget ya. Sudah tau keberaaman itu nyata, kok malah tersinggung saat ada yang mendiamkan saya gara-gara pesan tidak sampai maknanya. Dasar saya. Di kondisi seperti ini, konflik akan sangat rentan terjadi. Gimana? Pernahkah mengalami juga?
Komunikasi adalah kebutuhan, ia ibarat perantara. Dalam memenuhi kebutuhan itu tentu kita perlu mencapainya secara baik agar pesan yang kita sampaikan tidak memperkeruh suasana. Mengapa begitu?
Nurudin, salah satu cendikiawan komunikasi Indonesia, mengatakan bahwa saat ini kita berada dalam masyarakat yang tidak tulus. Ini adalah masalah besar yang dipicu oleh cara kita yang berkomunikasi hanya untuk sekadar meluapkan emosi, kepentingan, dan tujuan serta ambisi pribadi atau kelompok dalam pengantar bukunya Media Sosial: Agama Baru Masyarakat Milenial. Masing-masing individu berteriak lantang, namun gaungnya memekakkan dan merusak gendang telinga. Tidak tulus di sini, juga karena semua didasari dengan prasangka atas orang lain.
Tentu saja, asumsi di atas bukan sekadar didasari pada kebencian dan pesimisme berlebihan. Dan asumsi tersebut tidak juga berlaku pada semua dari kita. Saya percaya masih ada individu yang mau berkomunikasi dengan tulus dalam masyarakat yang tidak tulus.
Mau bukti?
Misalnya, dalam percakapan komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang, kita bisa mengingat atau mengamati kejadian seperti, banyak di antara kita yang cenderung senang berbicara daripada mendengar untuk mengerti penjelasan. Jika ada seseorang yang sedang berbicara, sangat mungkin seseorang lain suka memotong lalu dia sendiri yang berbicara. Ada juga orang yang senangnya mendominasi pembicaraan.
Entah mengapa, hasrat memotong dan menjawab pembicaraan orang lain dianggap wajar (oleh beberapa orang). Saya sedang berpikir, Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut apakah salah satu harapan-Nya agar kita mempunyai kemampuan mendengar lebih baik untuk mengerti daripada berbicara?
Hei Gaes, taukah kita? The biggest communication problem is we do not listen to understand. We listen to reply”. Menulis ini seperti menampar diri saja. Duh, selama ini saya mendengar orang berbicara untuk memahami apa yang dikatakan atau berhasrat menjawabnya, ya? Saya menjadi ingat pernah membalas pesan lewat WA kepada seorang teman dan kita menjadi tidak bertegur sapa setelahnya. Ya mungkin ini akibat saya membaca pesannya dengan keinginan menjawab, bukan mengerti maksudnya. Kamu, pernah seperti itu juga?
Apakah memang saat ini kita berada dalam posisi tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik? Bisa jadi banyak di antara kita yang mengucapkan pesan, tetapi pesan tersebut tidak dimengerti oleh penerima pesan atau bahkan salah sasaran. Akibatnya, pesan yang seharusnya benar bisa diterima salah. Anehnya, pesan yang salah dimengerti membuat kita benci atau marah pada orang yang mengirim/mengatakannya. Kenapa kita tidak mengambil jeda sejenak untuk memikirkan, dia kenapa? bagaimana perasaannya? dan lain lain lah ya.
Dalam salah satu paradigma komunikasi bahkan menawarkan solusi, bahwa dalam komunikasi dan resolusi konflik perlu melihat pasangan dari titik pandang yang berbeda, karena pengalaman setiap individu bergantung pada titik pandangnya serta perlu juga mengetahui sesuatu atau penyebab konflik langsung dari sumbernya.
Sudahkah saya demikian, ya? Semangat saya.
*Annisa Zuhra, mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam.