Corona Pasti Berlalu

1431
Photo by Robert Collins on Unsplash

Oleh: Yudi Septiawan
(Dosen STMIK Atma Luhur Bangka Belitung)

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), atau Corona adalah sebuah pandemi yang menjadi malapetaka bagi seluruh penduduk dunia. Bagaimana tidak, virus ini sudah menjalar ke 181 negara hingga memakan 165.759 korban jiwa (Tirto.id, 20 April). Jutaan orang juga terpapar oleh virus paling mematikan di abad ini. Tak pelak memang, Corona menjadi trendsetter di media sosial baik cetak maupun elektronik, bak seorang artis kondang, namun artis film horor, sangat mengerikan dan menakutkan.

Semua orang pasti tidak menginginkan situasi seperti saat ini. Sekolah dirumahkan berminggu-minggu, mau keluar rumah saja, sudah parno duluan takut terpapar Corona. Ada yang batuk-batuk kecil, dikira gejala Corona. Ada yang tergeletak, tidak ada yang mau menolong karena khawatir Corona. Bahkan ada yang meninggal dunia pun, pasti pertanyaannya “kena Corona ya?”. Semua serba Corona.

Corona membuat semua orang menjadi merana. Merana dalam segala hal, aspek, dimensi dan sendi kehidupan. Penulis sempat berbagi cerita dengan beberapa teman pekerja lepas (freelance). Mereka ini, kalau sehari tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan penghasilan. Mereka pun berharap Corona segera enyah dari Bumi Pertiwi ini. Nah, disini pemerintah hadir dengan jurus-jurus mautnya. Jurus pertama yaitu imbauan “stay at home”. Walaupun belum maksimal berjalan merata di seluruh pelosok negeri, usaha ini patut diapresiasi sebagai langkah awal dalam memangkas penyebaran corona.

Belum cukup dengan jurus pertama, pemerintah kemudian mengeluarkan jurus selanjutnya yaitu “Pembatasan Sosial Berskala Besar” alias PSBB. Hal ini secara tidak langsung lebih menegaskan bahwa pentingnya untuk “stay at home”. Lebih jauh, jurus ini juga mengimbau kita agar menunda mudik dulu. Iya, menunda mudik. Terdengar klise bagi para perantau karena mudik adalah agenda rutin tahunan yang sudah mendarah daging. Disinilah letak kesadaran kita diuji sebagai warga negara yang taat. Menunda bertemu dengan orang terkasih di kampung halaman adalah opsi yang bijak di tengah pendemi ini.

Dampak Corona ini sangat dirasakan oleh warga +62. Namun, kurang elok kalau kita mencari kambing hitam dibalik semua ini. Semua peristiwa tentu ada hikmah baik di dalamnya. Ingatlah kata-kaya bijak nan optimis dari R.A. Kartini : “Habis gelap, terbitlah terang.” Semoga, badai corona yang sudah empat bulan mampir di bumi pertiwi bisa segera enyah agar kita bisa hidup damai kembali.