Bike Boom di Masa Pandemi

566
Bike Boom di Masa Pandemi
Photo by Dovile Ramoskaite on Unsplash

Pada masa karantina wilayah dan pembatasan sosial populasi sepeda meningkat pesat. Kekhawatiran dan resiko penyebaran virus Covid-19 pada transpormasi umum dan makin banyaknya orang-orang yang berolahraga, hal ini membuat banyak orang beralih menjadi pengguna sepeda, yang dikenal sebagai istilah “Bike boom”, atau ledakan tren bersepeda.

Mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua ramai menggunakan sepeda, baik sekedar untuk berkumpul dengan teman-teman komunitas, bermain, berolahraga hingga menjadikan alat transportasi sehari-hari untuk kebutuhan bekerja (bike to work).

Bersepeda merupakan pilihan olahraga atau alat transportasi yang dianggap dapat memenuhi unsur pembatasan sosial, masyarakat dapat melakukan mobilitas dengan bersepeda untuk menghindari kepadatan angkutan massal. Hal tersebut selaras dengan saran otoritas kesehatan untuk menghindari penyebaran virus Covid-19 yang dianjurkan oleh pemerintah.

Baca juga: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Pandemi

Bersepeda dipilih oleh masyarakat tidak hanya di Indonesia, namun diseluruh dunia negara yang terdampak pandemi Covid-19. Berdasarkan penelitian oleh People for Bikes,

sebuah koalisi industri yang berbasis di Colorado Amerika Serikat, satu dari sepuluh orang dewasa melaporkan telah mengendarai sepeda untuk pertama kalinya dalam setahun (atau lebih lama) sejak awal Covid-19.

Peningkatan Omzet Sepeda

Menurunnya perekonomian di tengah kondisi yang serba sulit membuat melemahnya beberapa industry manufaktur di Indonesia. Namun siapa sangka, adanya tren goes  justru menghasilkan dampak yang sebaliknya bagi industry sepeda di dalam negeri.

Permintaan sepeda dikabarkan melonjak di tengah merebaknya wabah pandemi Covid-19. Gejala ini dirasakan oleh banyak produsen sepeda lokal di dalam negeri. Berdasarkan berita dari AYOJAKARTA.COM, salah satu toko sepeda Rodalink yang terletak di kawasan kota Semarang, peningakatan omzet penjualan sangat dirasakan.

Supervisor Rodalink, Tunggono mengungkapkan, jika peningkatan penjualan di masa pandemi ini meningkat sampai 75% dengan penjualan puluhan unit sepeda setiap harinya.

Sumber lain yang dilansir Detik.com, Sumitro seorang pedagang sepeda di jalan Veteran kota Bandung mengatakan, penjualan sepeda melonjak tajam setelah Idul Fitri 2020 atau sejak ada pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kota Bandung membuat pendapatan omzet per bulannya pencapai Rp 200-250 juta dengan penjualan 50 unit dalam satu bulan.

Baca juga: Menjadi PNS: Antara Mimpi dan Euforia Orang Tua Belaka.

Di Jakarta, direktur Happy Bike, Michale mengatakan, saat ini Happy Bike sudah melayani lebih dari 200 dealers di seluruh Indonesia, mengimport dari Taiwan, China dan Jepang dengan kenaikan omzet sampai 190 di tahun 2020.

Tren Sepeda Pada Masa Hindia Belanda

Dilansir dalam Goodnewsfromindonesia.id, Sepeda merupakan transportasi yang sudah ada sejak masa Hindi-Belanda. Sepeda bukan barang baru di Indonesia, bahkan sampai 1950-an, kereta angin tersebut pernah mendominasi transportasi di Batavia sebutan untuk Jakarta pada masa Kolonial pada tahun 1890 selain becak.

Pada zaman pemerintahan kolonial, Belanda menyebut sepeda dengan sebutan Velocipede. Sejarah keberadaan sepeda di Tanah Air sudah terekam 130 tahun yang lalu. Pada zaman itu hampir kebanyakan orang bepergian menggunakan transportasi sepeda, seperti ke sekolah, ke kantor, ke bioskop atau tempat hiburan lain.

Bahkan, pada masa kolonial dulu disediakan fasilitas berupa parkir khusus sepeda. Pasalnya, untuk transportasi lain seperti mobil dan motor masih sangat jarang jumlahnya seperti sekarang ini, hanya dipakai oleh para bangsawan.

Orang-orang Portugis memperkenalkan mobil dengan sebutan ‘kereta’, karena masih mirip seperti andong dengan roda berjari-jari kayu dan ban yang terbuat dari karet mati.

Pada tahun 1938 di Batavia terdapat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Pada saat itu penduduk masih sekitar ± 600 ribu jiwa. Karena itulah sepeda disebut sebagai penguasa jalanan Ibu Kota pada zaman Hindia-Belanda, sekitar tahun 60-an sampai 70-an atau pertengahan tahun 80-an.

Penulis: Naufal Imam Hidayatullah
(Mahasiswa PBA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)