Bertahan Hidup di Masa Pandemi

659
Bertahan Hidup di Masa Pandemi
Photo by kevin laminto on Unsplash

Di masa pandemi ini, banyak dari kita yang mengalami kesulitan. Sekolah dan kuliah online, yang bekerja dirumahkan, kesulitan ekonomi, kehilangan sanak saudara, dan berbagai permasalahan hidup.

Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk tetap bertahan dimasa sulit. Namun, tak jarang juga yang tidak mampu bangkit dari kesedihannya. Bagi ajaran Buddhism hal inilah yang disebut dengan “neraka”.

Meskipun dalam Buddhism konsep afterlife berbeda dengan “surga” dan “neraka”. Mereka mengenal “surga” dan “neraka” sebagai alam pikiran manusia saat ini.

Kesalahan Persepsi Dalam Hidup

Sering kali kesedihan dan kesulitan yang kita alami merupakan bentuk kesalahan presepsi terdahap permasalahan yang kita alami.

Kesalahan presepsi tersebut justru membuat kita menderita sendiri. “Surga” dan “neraka” hanyalah konsep untuk mengakomodasi kualitas pikiran sesorang.

Ketika kualitas pikiran seseorang dipenuhi dengan emosi negatif, secara psikologis ia hidup dalam neraka.

Orang-orang yang hidup di dalam “neraka” kerap kali menilai permasalahan hidup secara keliru sehingga ia merasakan kesedihan yang berlarut-larut.

Sebaliknya, jika seseorang mengembangkan pengetahuan secara benar makai a hidup di dalam “surga” karena suasana hati mereka sangat positif.

“Surga” dan “neraka” adalah batin kita sendiri. Konsep “surga” secara psikologis ini akan menjadi benih seseorang lahir ke alam Surga.

Itulah mengapa Buddhism tidak fokus pada masa yang akan datang.

Di masa pandemi ini memang rentan bagi kita mengalami “neraka”. Maka dari itu, ada baiknya kita belajar untuk mengembangkan kualitas pikiran yang baik.

Sama halnya dengan orang yang patah hati, jika terlalu fokus dengan masa lalu maka orang tersebut akan sulit move on.

Menciptakan Surga Tersendiri di Kehidupan

Alih-alih menjadi pribadi yang lebih baik, ia malah menderita sendiri. Maka dari itu kita perlu merubah kebiasaan-kebiasaan kecil untuk mengalami “surga” dalam kehidupan kita.

Pertama, mengurangi intensitas penggunaan media sosial. Media sosial memang penting keberadaannya untuk masa sekarang, terutama jika kita sedang menjalankan bisnis.

Namun jika hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, ada baiknya kita kurangi intensitasnya.

Kita rentan merasa iri dengan orang lain, merasa diri sendiri kurang, timbul rasa benci terhadap orang lain, dan emosi negatif lainnya saat sedang bermain sosial media.

Selain dari itu, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk produktifitas menjadi berkurang.

Kedua, selektif memilih lingkar pergaulan. Pergaulan sering kali mempunyai dampak besar pada gaya hidup seseorang.

Contohnya, ketika kita memiliki teman yang senang bergossip, maka lama kelamaan kita juga ikut terbawa arus. Itulah sebabnya lingkup pertemanan begitu penting untuk menjaga kualitas batin seseorang.

Jika kita memiliki obrolan yang berkualitas dengan ruang lingkup terdekat, maka kehidupan kita juga menjadi berkualitas. Teman yang memiliki pandangan luas akan membuka pandangan kita juga.

Dari pada membenci orang lain hanya karena obrolan gosip, lebih baik menambah wawasan.

Ketiga, istirahat sejenak dari kesibukan. Terkadang terlalu jenuh dengan pekerjaan dan rutinitas dapat membuat emosi negatif muncul.

Istirahat Sejenak Untuk Melanjutkan Perjalanan

Kejenuhan membuat produktifitas kita tidak maksimal dan malah menimbulkan masalah-masalah yang lain. Untuk terlepas dari kejenuhan, menyempatkan waktu untuk istirahat sejenak sangatlah penting.

Istirahat tidak perlu liburan mahal, ada banyak hal sederhana yang dapat menjernihkan pikiran kita. Contohnya, lari pagi, membaca buku, menonton film, atau sekadar nongkrong dengan teman-teman.

Yang paling penting ketika sedang istirahat jangan memikirkan pekerjaan dan rutinitas supaya istirahat kita maksimal.

Yang terahkir, kita perlu fokus dengan saat ini. Terlalu khawatir dengan masa depan dan terlalu mikirkan masa lalu hanya membuat kualitas batin kita buruk.

Berusaha semaksimal mungkin dengan hal-hal yang ada saat ini lebih baik dari pada khawatir dengan hal yang sudah atau belum.

Hal yang sudah terlanjur terjadi memang tidak dapat diperbaiki, jadi memikirkannya adalah perbuatan yang sia-sia. Sebaliknya, terlalu khawatir dengan masa depan juga membuat kita kurang menyadari potensi kita saat ini.

Masa depan juga bergantung pada apa yang kita lakukan saat ini. Oleh karena itu, fokus dengan saat ini juga membuat masa depan kita menjadi “surga”.

Kita adalah tuan dari kehidupan kita sendiri. Maka dari itu, yang bisa membebaskan kita dari kesedihan dan kesulitan hanyalah diri kita sendiri. Karena hidup adalah present moment.

Penulis: Odila Paska Apriliana
(Mahasiswi Sampoerna University)