Lahir dan besar di Indonesia, saya mengenal puasa adalah sebagai ibadah yang dimulai dari sekitar jam 4 atau 5 pagi sampai jam sekitar jam 6 sore. Kita berpuasa setidaknya 13 jam dan itulah yang dilakukan berulang-ulang tiap tahunnya.
Dimaklumi, Indonesia adalah negara tropis dimana perubahan waktu siang dan malam relatif tidak terasa. Lain cerita tentunya di negara non-khatulistiwa. Di berbagai negara yang umum disebut sebagai pemilik empat musim ini, panjang siang dan malam berganti senantiasa sepanjang tahun. Karena itu, puasa khususnya di bulan Ramadhan, cukup variatif.
Di Britania Raya (UK), tempat tinggal saya saat ini, misalnya, masyarakat Muslim berpuasa setidaknya 16-18 jam tergantung dimana kota mereka tinggal. Di London, tempat saya sementara bermukim, puasa dimulai sekitar pukul 4 pagi sampai sekitar jam 8 malam. Di daerah lain, Glasgow misalnya, beda ceritanya. Puasa di sana dari jam 3.30 hingga jam 8.30 malam.
Puasa begitu lamanya di UK karena Ramadhan jatuh pada musim semi. Kami lumayan beruntung tahun ini dibanding beberapa tahun sebelumnya dimana bulan puasa jatuh pada musim panas. Di musim itu, waktu sahur bisa jadi sekitar jam 3 pagi dan berbuka pada jam 10 malam.
Terlepas dari lamanya waktu puasa ini, umat Muslim di UK sebagian besar taat dalam menjalaninya. Mereka berpuasa dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari dengan normal. Tentu ini menjadikan saya pribadi menjadi lebih bersyukur bahwa kita di Indonesia punya waktu puasa yang relatif konstan.
NU di UK
Umat Muslim di UK umumnya punya latar non-lokal. Sebagian memang lahir dan besar di luar UK lalu bersekolah atau bekerja di sini. Sebagian lain adalah generasi kedua, ketiga, atau seterusnya dari orang tua yang telah berlatar Muslim. Asal mereka tentu beragam seperti Asia Selatan (Pakistan, India, dll), Timur Tengah (Iraq, Afghanistan, dll), Eropa Timur (Turki), dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Komunitas Muslim berlatar Indonesia di UK bisa dibilang lumayan banyak. Tentu, jika dibandingkan dengan komunitas lain misalnya yang berlatar Pakistan, kita orang Muslim Indonesia masih jauh lebih sedikit jumlahnya.
Namun demikian, komunitas Muslim Indonesia tak kalah khidmat dan seru dalam menjalani puasa Ramadhan di UK. Salah satunya tentu komunitas Nahdlatul Ulama tempat saya bernaung.
Masyarakat NU di UK, di bawah bendera Pengurus Cabang Istimewa NU UK pimpinan Bapak Shandy Adiguna, secara rutin menyelenggarakan yasinan-tahlinan seminggu sekali selama Ramadhan 1443 H atau 2022 ini. Hal ini meneruskan kegiatan serupa yang telah rutin dilaksanakan di bulan-bulan lain sebelumnya.
Khusus di bulan puasa 1443 H kali ini, PCI NU UK mengadakan pengajian kitab tentang fadhilah, adab, dan hukum-hukum di Bulan Ramadhan yang diampu oleh Ustadz Abdul Rohman Apif yang merupakan mahasiswa Master di University of Birmingham.
Di luar kegiata rutin tersebut, warga NU di UK aktif dalam upaya pembangunan masjid Indonesia pertama di UK. Dikomandoi ibu-ibu Pengurus Cabang Istimewa Muslimat NU UK pimpinan Ibu Yayah Indra, masyarakat NU di UK berkomitmen untuk menyumbang sebesar £50.000 atau setara Rp1 milyar Rupiah untuk pembangunan masjid tersebut.
Menu bukber
Kembali ke kegiatan rutin puasa, buka Bersama di masjid menjadi salah satu hal yang dinanti masyarakat Muslim di UK. Banyak kegiatan bukber disediakan oleh berbagai masjid di sini, di luar kegiatan bukber terbuka di beberapa titik di kota besar termasuk London.
Beberapa kali saya ikut serta dengan bukber di masjid ini, tepatnya di North Finchley Masjid. Bukber ini bisa dibilang atmosfernya mirip dengan yang umum dilakukan di Indonesia. Sebelum waktu berbuka, waktu Maghrib, diadakan ceramah. Berbagai hal dibahas mulai dari sirah nabawiyah hingga diskusi mengenai fiqih. Suatu saat saya mengikuti ceramah terkati ilmu warisan atau faraid. Sebagai seseorang yang pernah nyantri, hal ini mengingatkan dengan ilmu yang sama yang saya pelajari dulu di pesantren.
Masjid di North Finchley ini pengelolanya sebagian besar adalah rekan Muslim dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Jadilah, makanan bukber selalu diisi dengan menu nasi rempah, baik itu nasi biryani, nasi mandi maupun nasi kabsah.
Saya berharap ada gado-gado atau soto. Sayangnya itu hanya mimpi. Namun untungnya, mimpi itu bisa diwujudkan ketika berbuka di rumah sendiri. Kebetulan saya dan istri suka masak masakan Indonesia. Jadi, alhamdulillah, rindu masakan Indonesia selalu dapat terobati.
Baca juga: Lebaran, London dan Lockdown
Puasa dan syukur
Jika direfleksikan, Ramadhan selalu menjadi momentum untuk me-reset diri. Bukan hanya fisik tetapi juka pikiran dan mental. Rasanya keseluruhan badan baik lahir maupun batin ditata Kembali dan kita secara teratur menyadari ternyata tak banyak yang kita butuhkan didunia ini kecuali setidaknya ketenangan, Kesehatan, dan kehidupan itu sendiri.
Ramadhan menjadi momentum untuk banyak bersyukur atas hal-hal sederhana yang kita miliki dan istirahat sejenak dari hal-hal yang berlebihan.
Ramadhan di UK pun membuat refleksi tersebut semakin intens sebab umat Muslim di sini adalah minoritas. Sebagai kelompok kecil, tak banyak tentunya yang bisa disistematisasikan. Misalnya, tidak ada penyesuaian khusus terkait jam kerja sebagaimana di Indonesia. Tak ada restoran yang buka di waktu khusus atau juga mereka yang harus tutup bisnisnya sepanjang waktu puasa. Semua normal saja.
Akhirnya, tentu pengalaman di berbagai daerah berbeda-beda. Cara dan makanan apa yang dimakan untuk berbuka juga berbeda. Namun akhirnya puasa menjadi ibadah yang sangat pribadi sifatnya. Semoga puasa kita menjadi berkah dan menghadirkan ketenangan dan rasa bersyukur sebanyak-banyaknya. (*)
Muhamad Rosyid Jazuli – Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Pengurus PCI NU UK, Mahasiswa Doktoral di University College London, dan Peneliti di Paramadina Public Policy Institute