Saya penasaran, apa sih kebahagiaan itu? Menurut KBBI, kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir batin.
Tidak Menemukan Kebahagiaan
Saat masih mahasiswa di Yogyakarta, saya hanya memiliki uang saku yang cukup untuk membeli rokok sebungkus di pagi hari, makan satu kali di siang hari dan secangkir cangkir kopi di malam hari.
Saat itu saya berandai-andai, bila sudah mendapat pekerjaan dan gaji yang cukup, mungkin hidup akan lebih baik, saya bisa menemukan kebahagiaan.
Artikel terkait Kebahagiaan, lihat Menjaga Hakikat Kebahagiaan Pasca Menikah.
Saat ini, saya hidup di Jakarta, dengan gaji yang lumayan untuk mencukupi hidup sehari-hari bahkan menyisihkan sedikit uang untuk ditabung, ternyata hidup saya masih biasa-biasa saja, saya tidak menemukan kebahagiaan.
Kalau dipikir kenapa ketika saya mencari kebahagiaan, saya justru tidak mendapatkannya, persis seperti yang dikatakan Carl Gustav Jung. Tapi toh di novel Love In Time of Cholera-nya Gabriel Garcia Marquez, Florentino Ariza akhirnya mendapat kebahagiaan setelah bisa hidup bersama orang yang dia cintai, meski dia harus menunggu lima puluh tahun lamanya.
Kesenangan Sesaat Bukan Bahagia
Saya bisa merasakan kesenangan dengan melihat humor receh di Instagram, dan makin lama saya ketergantungan humor receh, hidup ada yang kurang kalau tidak ada humor receh yang baru. Mirip anak Indie yang selalu menantikan senja dengan secangkir kopi.
Keadaan yang tenteram pun tidak saya rasakan, karena saya masih gelisah. Bagaimana tidak gelisah ketika saya makin menyadari, meski sudah bekerja, saya baru sadar saya masih belum memiliki apa-apa. Belum memiliki rumah dan menikah.
Tambah gelisah lagi saat wawancara kerja saya pernah ditanya “Apa prestasi Anda di pekerjaan sebelumnya?”
Kesenangan yang makin susah dicari dan kegelisahan yang merundung tiap hari pernah membuat saya berpikir hidup ini sungguh absurd. Saya merasa seperti Meursault dalam novel L’Étranger karya Albert Camus. Hidup saya makin absurd ketika kecanduan membuka Twitter yang penuh dengan orang absurd.
Namun, membaca berita mengenai perempuan polos asal daerah, lulusan universitas terbaik Indonesia, yang bekerja di perusahaan ternama, lalu berkenalan dengan pria yang mengenalkannya dengan kehidupan malam Jakarta, lalu Ia membantu pria itu untuk membunuh. Saya jadi berpikir hidup saya belum se-absurd itu.
Ingatan yang Membuat Bahagia
Meski sedikit, masih ada “kebahagiaan” ketika akhir-akhir ini saya diberi jam tangan seratus ribuan oleh orang yang saya cinta, saya yakin dia membelinya lebih murah lagi, karena membeli saat toko online sedang flash sale.
Kesenangan lainnya ketika saat saya menulis di tengah malam, teman kontrakan saya berpura-pura jadi pocong dan membuat saya kaget. Hal-hal ini yang membuat hidup saya tidak absurd-absurd amat, dan merasa bahagia.
Namun “bahagia” bisa saya rasakan hanya di momen saya merasakannya, setelahnya bahagia hanya ada dalam ingatan. Seperti saya yang selalu ingat rasa “bahagia” ketika memakai jam tangan dari orang yang saya cintai.
Walau ingatan-ingatan ini membuat “bahagia”, menurut psikolog Daniel Kahneman sebaiknya kita tidak terjebak dalam ingatan itu, karena kesalahan manusia pada umumnya yaitu “memaksimalkan kebahagiaan”.
Misalnya saat kita punya teman, dan bahagia atas memori-memori kecil seperti bermain Playstation atau naik gunung bersama. Lama-lama karena cocok, kita mengajak teman kita tinggal serumah dan membuka bisnis bersama dan “kebahagian bersama teman” menjadi berkurang. Sebab kita jadi lebih mementingkan meraih pencapaian-pencapaian yang tinggi daripada sekadar bermain bersama.
Contoh lainnya ialah ketika teman saya mencoba memaksimalkan bahagianya dengan menulis di tengah malam agar ditakut-takuti lagi oleh teman kontrakan. Tentu saya tidak menemukan kebahagiaan ketika saya justru melihat pocong beneran.
Kebahagiaan Hadir Untuk Dimaksimalkan
Bila kebahagiaan berasal dari ingatan-ingatan kecil dan tidak untuk dimaksimalkan, maka buat apa mencari kebahagiaan. Bahkan filsuf marxis Slavoj Zizek berkata bahwa manusia sebenarnya tidak menginginkan kebahagiaan.
Kalau saya ingat-ingat lagi, kayaknya bukan saya deh yang menginginkan kebahagiaan. Waktu kecil saya pernah didoktrin untuk mencapai kebahagiaan di hari tua dengan menjadi PNS, punya istri yang usianya lebih muda dan membahagiakan orang tua.
Penulis: Affix Mareta