Bucin adalah istilah baru yang viral akhir-akhir ini, sebagai generasi millenial bisa dibilang cinta-cintaan adalah sumber segalanya, kehidupan sehari-hari kita selalu dipenuhi oleh kata “cinta”. Khususnya bagi para ABG, yang mana cintanya sedang menggebu-gebu dan membara layaknya arang sate.
Cinta Tak Kenal Logika
Ketika anda sudah jatuh cinta jangan harap anda mampu berlogika dengan baik. Seperti kata pepatah Cisoka “cinta dengan logika adalah kefanaan belaka”
Sebagai contoh saja, ada orang depok berpacaran dengan orang bekasi. Bisa dibayangkan, betapa dia menyingkirkan logika jauhnya dua planet tersebut. Padahal jika kita memakai logika, bisa saja kita mencari pasangan yang domisilnya tidak terlalu jauh, seperti lagu ayu ting-ting “pacarku memang dekat lima langkah dari rumah”. Tapi, permasalahanya adalah dalam cinta tidak memakai logika.
Akhirnya muncullah istilah, bagi orang-orang yang terikat cinta. Yaitu, “BUCIN” atau “Budak Cinta”. Dalam intrepertasinya kata “BUCIN” banyak dikonotasikan negatif. Mungkin dari akronim di atas kata “Budak” yang menjadikanya negatif, padahal bagi saya yang orang sunda itu adalah hal biasa.
“BUCIN” sendiri seperti sudah melekat di kalangan millenial, khusunya bagi mereka yang sudah berpasangan. Jadi jika anda masih sendiri anda tidak bisa dipanggil “BUCIN”. Kecuali anda orang sunda dan tinggal di Cinangka, anda bisa dipanggil “BUCIN” dengan arti yang berbeda, yaitu “Budak Cinangka”.
Layla Majnun Contoh Bucin Sempurna
Berbicara tentang “BUCIN”, tidak elok jika kita tidak membicarakan kisah Layla dan Majnun. Karena, menurut saya kisah mereka adalah contoh “BUCIN” yang sempurna. Di kesempatan kali ini saya akan membeberkan kisah cinta Layla dan Majnun, yang menurut saya bisa mengalahkan tingkat “BUCIN” pacaran LDR antar planet Depok dan Bekasi.
Seperti kisah FTV pada umumnya, Layla dan Majnun jatuh hati karena pertemuan mereka di satu sekolah yang sama. Mereka berdua bisa dibilang orang paling populer di sekolahnya. Setelah benih cinta mereka tumbuh, merekapun melakukan kegiatan yang biasa dilakukan anak muda pada umumnya, seperti melirik ketika sedang di kelas atau hanya sekedar memandangi wajah satu sama lain.
Tapi, lirikan itu hanya awal dari kegilaan Majnun. Lama-kelamaan saking cintanya dia kepada layla, dia meninggalkan segalanya bahkan sampai keluarganya juga. Orang-orang mulai menjauhi Majnun karena kegilaanya terhadap Layla, walaupun demikan Majnun tetap mencintai Layla meskipun teman dan keluarganya menjauhinya.
Hingga suatu ketika Layla dilarang oleh orang tuanya untuk menemui Majnun. Dalam keresahannya itu Majnun membuat banyak syair salah satunya “ketika dekat denganya aku merasa terbebani, namun ketika jauh rindu dan gelisah bersemayam dalam diriku”.
Entah memang Majnun memang pandai dalam membuat syair, atau karena cintanya kepada Layla yang membuat dia pandai.
Tak Ada yang Bisa Menghalangi Cinta
Mungkin jika saya ada di posisi Majnun saya akan mundur. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Majnun. Di lain waktu saking rindunya terhadap Layla, karena sudah tidak diperbolehkan bertemu. Dia pernah rela menyamar menjadi binatang ternak, agar bisa bertemu Layla.
Majnun berpura-pura menjadi binatang yang diternak di dekat rumah Layla agar bisa bertemu. Bahkan sampai kena cambukan sang peternak, karena pada waktu itu peternak mengawasi binatang ternaknya dengan cambuk.
Usaha dia tidak hanya sebatas itu saja, bahkan dia pernah menukar seluruh harta yang dia bawa agar bisa bertukar pakaian denga pengemis. Lalu setelah itu dia datangi rumah Layla dan menciumi tembok rumahnya layla, karena menurut dia tembok rumahnya adalah manifestasi perwujudan orang yang dicintainya. Kurang “BUCIN” apa Majnun sampai dengan menciumi tembok saja dia sudah bisa menyampaikan cintanya.
Setelah melihat cerita di atas, bisa kita lihat bahwa Majnun adalah contoh “BUCIN” yang kaffah. Maka jangan pernah bilang “apa cuman gua yang BUCIIN banget, sampe rela pacaran antar planet depok dan bekasi”. Sudah cukup bilang seperti itu.
Anda boleh bilang begitu, jika anda sudah berpura-pura menjadi binatang, baru saya akui anda adalah “BUCIN” sejati. Eh, atau jangan-jangan tidak perlu berpura-pura karena memang beneran. Huehueheu.
Penulis: Hifdhi Rizqon Saleh