Belajar Lagi, Sekolah Lagi (Bagian 2)

978
Sekolah Lagi
Dokumentasi Pribadi

 

LONDON – Banyak yang mengira, menempuh pendidikan di luar negeri mudah memulai (dan menjalaninya). Soalnya, kisah ‘manis’ tentang hal ini berseliweran di media sosial. Juga, gambar-gambar boarding pass, jejak atau peta perjalanan, dan foto-foto baju tebal plus senyuman.

Bagi sebagian, bisa jadi memang mudah jalannya, tapi saya yakin bagi sebagian besar, untuk memulai studi di luar negeri ini bukan jalan mulus.

Termasuk bagi saya. Bukan untuk membuat kisah sedih ya. Bukan pula ntuk meminta perhatian. Saya berbagi pengalaman ‘terjal’ saya memulai studi di luar negeri untuk sekedar jujur pada dunia bahwa inilah kenyataannya.

Apakah saya banjir tangis dan kesedihan? Hehe. Tidak juga, sebab sudah tahu bakal perlu perjuangan dan saya siap-siap betul menghadapi kesulitannya.

Di tulisan sebelumnya, saya sampaikan tentang bagaimana proses mendapatkan pembimbing dan sekolah. Bisa dibaca di sini. Sekarang, ini adalah perjalanan untuk mendapatkan izin masuk negara tujuan saya studi. Kebetulan saya berada di Inggris, tapi saya agak yakin apa yang saya tulis ini akan mirip, ya paling nggak nyrempet, dengan apa yang berlaku di negara lain, khususnya negara maju ya.

Izin masuk: sederhana tapi kompleks

Untuk masuk ke negara tujuan studi, kita perlu izin tentunya. Kita mengenalnya dengan nama visa, lebih khusus visa belajar atau visa studi. Visa sejatinya hanya tempelan sederhana di paspor kita yang menerangkan kita akan studi di negara mana dan berapa lama.

Namun kesederhanaan stiker visa punya proses mendapatkannya yang tidak sederhana sama sekali. Secara umum, proses ini dimulai dengan bukti komunikasi antara sekolah dengan imigrasi setempat. Di Inggris, ini biasanya disebut CAS number. Di AS, Sevis number. Rangkaian nomor khusus ini akan jadi referensi imigrasi negara tujuan studi untuk memastikan bahwa memang tujuannya studi. (Bukan uka-uka, hehe)

Sekolah Lagi
Dokumentasi Pribadi

 

Tidak semua negara menerapkan sistem ini ya. Tapi seharusnya ada mekanisme sejenis misalnya dengan kontrak studi yang lebih detail sehingga ketika kita mendaftar visa, imigrasi setempat bisa memastikan bahwa kita benar-benar ingin studi di negara tujuan.

Lalu mulailah kita mendaftar diri dan melaksanakan proses aplikasi visa. Sekarang rata-rata sudah online. Dalam proses inilah, akan diminta berbagai hal yang kalau tidak dipersiapkan dengan betul-betul, bisa benar-benar menjatuhkan mental dan fisik. (Gila dan miskin?)

Aplikasi visa memerlukan kejelian dalam menjawab ratusan pertanyaan tentang diri kita. Mulai dari tanggal lahir hingga kontak darurat akan ditanyakan. Ada juga pertanyaan yang agak serius, misalnya apakah kita mengikuti organisasi terorisme dan pernah membuat bahan peledak. (Pernah mainan mercon dihitung nggak ya? Bukan itu ya maksudnya. Maksudnya yang lebih serius… Mohon izin direfleksikan sendiri ya)

Seringkali isian aplikasi visa tidak bisa selesai sekali duduk. Saya sendiri mengisi aplikasi visa saya untuk studi ke Inggris ini kira-kira dua minggu (Lama amat ya?). Bolak-balik untuk memastikan bahwa saya mengisi formulir onlinennya dengan benar. Ini juga termasuk mengunggah dokumen yang tepat.

Banyak sekali informasi yang disertai dengan syarat-syarat tertentu yang sangat detail. Itu semua harus dibaca agar benar isian dan juga dokumen yang di-upload. Misalnya, diminta unggah dokumen paspor terbaru, ya jangan sampai salah upload paspor lama apalagi KTP.

Kebetulan saya mengajukan visa bersama dengan anak dan istri. Jadi, banyak sekali dokumen yang harus didigitalisasikan termasuk akta lahir anak, buku nikah, dan bukti kecukupan finansial. Beberapa dokumen yang ‘old’ misalnya akta lahir saya dan kartu keluarga yang belum memiliki teks bahasa Inggris di dokumennya perlu ditranslasikan ke penerjemah tersumpah. Begitulah, kenapa lama menyelesaikan proses aplikasi visanya.

Lihat juga, Berjuang Lagi, Sekolah Lagi (Bagian 1)

Kuras tabungan: jadi miskin?

Kami memutuskan untuk mengisi isian aplikasi visa secara mandiri. Kami lumayan yakin sebab dua bulan sebelumnya benar-benar riset dan refleksikan apa yang perlu dipersiapkan. Saya dengar beberapa rekan memerlukan bantuan agensi tentu dengan alasan tertentu. Bagimu yang sedang dikejar waktu dan memang buta (atau males hehe) soal aplikasi visa, agensi sangatlah membantu.

Aplikasi visa jelas bukan hanya isian saja. Ada biaya yang perlu dibayarkan. Inilah momen dag-dig-dug pengambilan keputusan sulit. Soal biaya sebenarnya saya sudah di-cover oleh LPDP, pemberi beasiswa studi saya. Namun karena saya akan berangkat bersama keluarga, anak-istri harus biaya mandiri.

Biaya pertama yang perlu kami keluarkan adalah biaya cek kesehatan. Untuk ini, kebetulan beasiswa saya tidak akan membiayai. Bertiga waktu itu kira-kira perlu biaya 3 juta rupiah. Masih dalam jangkauan.

Biaya kedua adalah biaya aplikasi visa dan juga asuransi. Dalam konteks Inggris, kedua biaya ini akan muncul saat kita mendaftar visa. Biaya asuransi akan muncul terlebih dahulu. Asurasi ini adalah asuransi publik yang bernama NHS atau National Health Service. Di Indonesia, semacam BPJS.

Sekolah Lagi
Dokumentasi Pribadi

Di aplikasi saya muncul biaya NHS sebesar sekitar 28 juta rupiah. Agak wow (banyak amat…) pas melihat biayanya. Namun karena tahu akan dibiayai LPDP, lumayan lega tentunya, meski sebenarnya ini jelas menguras tabungan. Lalu datang biaya aplikasi visa. Besarnya sekitar 7 juta rupiah. Jadi totalnya sekitar 35 juta rupiah. Masih agak lega, LPDP akan menanggungnya.

Bagaimana dengan anak-istri? Ya, inilah dag-dig-dug nya. Namun sebelum itu, saya ingin menyampaikan bahwa bagi mereka yang berumur 30-an seperti saya, 35 juta tentu bukan jumlah yang sedikit. Punya tabungan sebesar itu sudah untung.

Beruntung bukan berarti lebih baik ya. Sebab orang punya tahap dalam hidup dan prioritasnya masing-masing. Saya pernah hampir tidak punya uang saya sekali. Waktu itu pernah uang saya tinggal 100 ribu rupiah (posisi saya sudah bekerja, namun belum berkeluarga) sebab sebagian besar uang saya gunakan untuk membiayai perawatan almarhum ayah saya.

Baik, kembali aplikasi visa anak-istri. Untuk istri, ketika masuk tahap biaya NHS, muncul tagihan sebesar sekitar 30 juta dan aplikasi visa sebesar 7 juta. Jadi totalnya 37 juta. Ini baru wow betulan, bagi saya sekeluarga, khususnya, yang masih berjuang untuk menabung.

Lalu datang aplikasi visa untuk anak. NHS-nya sebesar 38 juta dan aplikasi visa-nya 7 juta rupiah. Jadinya, sekitar 45 juta rupiah. Jadi total biaya visa yang kami keluarkan mencapai 117 juta rupiah (Wow 3x). Meskipun nanti biaya visa saya akan ditanggung beasiswa, tetap saya jumlah tersebut bukanlah sedikit. Untuk anak-istri, biayanya sekitar 82 juta (Ini bukan hanya menguras, tapi, bahasa Jawanya, meng-koret-koret tabungan… hehe).

Mentalitas tamu yang baik

Untuk tahap hidup saya saat ini, jelas jumlah itu bukanlah jumlah main-main. Kami bisa menggunakannya untuk investasi tanah atau DP rumah tentunya. Namun saya sekalu mengingat pesan ibu dan beberapa tokoh senior yang saya kenal baik. Intinya, berapapun jumlah uang yang kita punya, keluarga, kesehatan dan pengalaman adalah hal paling berharga.

Lalu, harga murah atau mahal itu relatif. Kalau di kantong hanya uang 2 ribu, maka semangkuk bubur seharga 5 ribu jadilah mahal. Namun jika dikantong ada 50 ribu, harga bubur itu jadilah murah sekali. Jadi soal angka itu, tak perlu ambil pusing-pusing banget.

Tentu berat sekali melihat sebegitu banyak tabungan harus saya habiskan untuk aplikasi visa saya. Namun, pengalaman menarik dan menantang di depan telah menati. Selain itu, saya bisa menjalaninya bersama keluarga. Lagipula, dengan membayar NHS, setidaknya ada jaminan untuk kesehatan saya selama lebih dari 3 tahun saya belajar di Inggris.

Sekolah Lagi
Dokumentasi Pribadi

Singkat cerita visa kami diterima. Tantangan selanjutnya adalah mencari tempat tinggal. Di waktu normal, ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak kisah bisa ditemui dan dibaca tentang susahnya mencari akomodasi di negara tujuan studi.

Dulu ketika menempuh studi di Selandia Baru saya pernah tidur di ruang makan akomodasi teman karena waktu itu susah dan belum mendapatkan akomodasi.

Namun untuk konteks saya di Inggris saat ini, ceritanya lain. Karena pandemi Covid-19, banyak akomodasi yang kosong. Kedatangan mahasiswa internasional lebih terbatas sebab perbatasan juga sangat ketat aturannya. Tak perlu banyak mendaftar, aplikasi akomodasi kami langsung diterima. Namanya Nansen Village, lokasinya di London Utara.

Untuk ke Inggris ini, waktu lalu persyaratannya adalah test PCR. Di imigrasi, UK Border, waktu menunggu antrian adalah hingga 3 jam. Namun yang menunggu bukan hanya saya, tapi ratusan orang yang juga mengantri. Alhamdulillah, ketika tiba giliran saya ke konter imigrasi, chit-chat sedikit, lalu saya jelaskan apa tujuan saya, dan dimana tinggalnya.

Seperti biasa tentunya, petugas imigrasi memasang wajah garang dan terkesan cari-cari kesalahan. Tapi karena saya sudah tahu apa yang saya mau kerjakan di Inggris, ya saya jawab sesuai apa adanya.

Sekitar setelah 5-10 menit, Ciayo! Wes ewes-ewes, masuk Pak Eko… Eh, maksudnya langsung dipersilahkan masuk Inggris. Waktu yang sangat cepat tentunya. Sebab banyak saya lihat mereka yang tertahan lebih dari setengah jam karena satu dan lain hal.

Terkait semua yang saya ceritakan ini, satu hal sebenarnya ingin saya tekankan yakni mentalitas menjadi tamu yang baik di rumah orang. Maksudnya, bisa saja saya komplain soal mengapa aplikasi visanya terlalu detil, biaya visa dan asuransinya mahal sekali, dan juga mahalnya akomodasi untuk mahasiswa.

Juga komplain mengapa di imigrasi antriannya panjang dan lama sekali dan petugas imigrasi tidak ramah dan terkesan mengintimidasi.

Hikmah Menabung

Namun dengan mentalitas menjadi tamu yang baik, kita menyadari bahwa itu semua hak mereka. Itu rumah mereka yang suka-suka mereka atur aturan di dalamnya. Kitanya yang perlu menyesuaikan diri. Biaya visa mahal, menabunglah atau pinjam uang (jangan lupa dikembalikan ya). Isian aplikasi visa susah, siapkan persiapan dengan lebih matang dan banyak riset dan refleksi. Sebab jika salah isi sedikit, wah visa bisa ditolak dan uang aplikasi visa melayang.

Berisiko sekali ya prosesnya? Ya iya. Apa sih pilihan hidup yang ngga ada risikonya? Tidur-tiduran dan sosmed-an juga ada risikonya.

Karena kebijakan lockdown di masa pandemi, semua kelas masih berjalan online di Inggris termasuk perkuliahan saya di UCL. Namun ada kabar kalau PM Boris akan segera melonggarkan aturan ini. Ini adalah tulisan kedua dari seri Belajar Lagi, Berjuang Lagi. Seri-seri selanjutnya akan berkisar bagaimana perkuliahan saya di Inggris ini saya jalani dan refleksikan. (*)

Penulis: Muhammad Rosyid Jazuli
(Mahasiswa Doktoral UCL University)