Berbekal Tawakkal Menuju Madinah

1082
Moslem Today

Oleh: Ahmad Faiz Muttaqin
(Mahasiswa Universitas Islam Madinah)

Sejak kecil, anak laki-laki di keluarga saya sudah ditanamkan didalam dirinya masing-masing: “kalau punya anak laki-laki, buang jauh-jauh dari rumah, jangan ditaruh dekat rumah”. Mungkin jika diliat dari kata kata nya cukup menyeramkan, tapi justru maknanya mempunyai arti yang sangat dalam, yaitu : “kalau punya anak laki-laki, tempatkan di sekolah yang jauh dari rumah, supaya tidak hanya dapat ilmu pelajaran saja, tapi juga dapat ilmu kehidupan” begitu kata ayah.

Setelah lulus dari SD, saya langsung mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi tanpa menghadiri acara perpisahan menuju Pondok Pesantren Daarussalam Gontor Ponorogo, walau berbekal pengetahuan agama seadanya, alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk belajar di sana. Ketika di pesantren, saya memaksimalkan peran yang diamanatkan ke saya, baik amanat sebagai santri, ketua acara, hingga ketua organisasi. Dan alhamdulillah, Allah menjanjikan kepada hamba-Nya bahwa setiap orang akan mendapatkan sesuai kadar apa yang dia usahakan, dan saya lulus dengan predikat mumtaz dari gontor.

Setelah menyelesaikan pengabdian di Gontor, timbul pertanyaan dalam hati: “mau kemana habis ini?”. Pada saat itu yang dihadapkan dengan beberapa pilihan: “apakah saya melanjutkan pengabdian di Gontor?”, ”apa justru mengambil beasiswa ke Mesir?”,  “atau mencoba untuk ke Pesantren Tahfidz Al-Quran?”, akhirnya setelah meminta saran dan pertimbangan orang tua, saya melanjutkan studi ke Pesantren Tahfidz Al-Quran.

Di pertengahan tahun saya di Pesantren, ayah mengajak sekeluarga untuk menunaikan ibadah umroh dan menyarankan untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Madinah. Dengan dibantu ayah, saya pun menyiapkan berbagai persyaratan dan berkas yang dibutuhkan pihak kampus, mulai mendatangi pimpinan pesantren yang diasuh oleh temannya untuk dimintai surat rekomendasi, hingga menemui Pak Din Syamsudin untuk memperoleh rekomendasi yang sama.

Tiba saatnya kami sekeluarga berangkat untuk menunaikan ibadah umroh, ketika sampai di Madinah ayah langsung bergegas menyuruh saya mempersiapkan diri untuk muqaabalah atau ujian wawancara di Universitas Islam Madinah. Setibanya di sana, kami diajak mengelilingi kampus dan menuju tempat ujian oleh senior saya ketika di pesantren.

Setelah ujian selesai,  saya dan ayah hanya bisa tawakkal dan berdoa semoga diberikan yang terbaik saat berada di tempat yang mustajabah. Beberapa bulan selesai menunaikan ibadah umroh, ayah sakit dan wafat. Saya dan keluarga harus kuat dan tegak menjalani kehidupan tanpa adanya sosok seorang ayah lagi.

Setelah 1 tahun menunggu kabar dari Universitas, saya mulai memikirkan opsi tempat belajar jika saya belum keterima di Universitas Islam Madinah. Dan selang enam bulan kemudian, alhamdulillah nama saya termasuk diantara mahasiswa yang diterima di sana.  Rasa syukur tiada henti kepada Allah SWT karena akhirnya saya bisa mewujudkan impian ayah untuk menuntut ilmu di kota Nabi, dan hidup bertetangga dengan maqam Nabi Muhammad SAW, hingga hari ini.

Kerja keraslah, karena Allah lebih tau apa yang kamu butuhkan. Jangan pernah berputus asa, terus lakukan yang terbaik untuk dirimu, karena usaha tidak akan membohongi hasil.

Salam, akhukum fillah Faiz. Man jadda wajada.