Selain tempat Dilan dan Milea merajut kasih di masa SMA, selain nama dari ibu kota provinsi Jawa Barat, Bandung adalah tempat di mana banyak sejarah diabadikan. Dengan suasana yang dingin disertai pegunungan indah, bandung menjadi kota yang asik untuk berwisata sejarah dengan kemanjaan alamnya.
Salah satu wisata sejarah di Kota Bandung tentu saja adalah Museum Konferensi Asia afrika. Selain menyimpan banyak pengetahuan sejarah, museum ini juga menempati posisi yang sangat strategis. Berada di jalan Asia Afrika, dekat sekali dengan masjid Raya Bandung – yang hari ini untuk ke WC nya dan meminjam mukenanya harus berbayar. Juga hanya berselang beberapa meter dengan jalan Braga; tempat cafe-cafe ala luar negri berjajar. Dan tidak lupa, museum Asia Afrika juga menyambung dengan Gedung Negara dimana banyak foto Sukarno dipajang, sayangnya ajarannya bukan lagi menjadi tauladan; hanya sebagai lambang.
Baca juga: Memaknai Kembali Nasionalisme dan Patriotisme
Kita mengetahui bahwa bangsa kita kaya akan Sejarah. Dan itu semua tidak berjalan lurus dengan pengetahuan sejarah anak muda masa kini. Itu dapat diketahui dari mudahnya penyebaran hoax tentang isu-isu Sejarah. Apalagi tentang Sejarah Museum Konferensi Asia Afrika yang tidak terdaftar dalam kurikulum wajib pendidikan formal kita.
Padahal, dari Sejarah Konferensi Asia Afrika, nilai-nilai toleransi dapat diketahui. Perbudakan di negara bagian ke-3 menemukan sejarah barunya. Kesehatan anak-anak mulai diprioritaskan. Karena Konferensi ini lahir dari rasa solidaritas Bangsa Asia dengan Bangsa Afrika, dan itu tersirat pada wejangan Sukarno:
“Kalau barong liong sai dari Tiongkok bekerjasama dengan Lembu Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir, dengan Merak dari Birma, dengan Gajah Putih dari Siam, dengan Ular Hidra dari Vietnam, dengan Harimau dari Filipina, dan dengan Banteng dari Indonesia, maka pasti hancur lebur kolonialisme internasional”.
Bukan hanya Soekarno, gagasan-gagasan luar biasa itu pun sudah muncul sejak kongres Bierville dari Bung Hatta, Achmad Subardjo dkk. Betapa saat itu, berpuluh-puluh tahun yang lalu, para founding father telah merumuskan keadilan dan perlawanan yang luar biasa dari ketidak adilan kemanusiaan.
Setelah Konferensi Asia Afrika, tanggal 19 Nopember 1969 disidang PBB, Indonesia dibabat habis oleh wakil Ghana tentang permasalahan Irian Barat. Kita dituduh sebagai bangsa yang juga ikut melestarikan perbudakan dengan dipaksanya Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Dan itu dibela oleh ketua delegasi Al-Jazair; Yazid, karena adanya Konferensi Asia Afrika. Inti pokoknya adalah sebagai berikut:
“Siapa yang menyamakan politik Indonesia terhadap Irian Barat dengan politik kaum rasialis di Afrika Selatan atau Portugal, mereka itu lupa akan Konferensi Bandung. Di Bandung pejuang-pejuang kemerdekaan seluruh Asia-Afrika dibela oleh Indonesia”
Itu memang membanggakan. Bagaimana Indonesia telah tersebar di telinga dunia karena konferensi Asia-Afrika yang berasas kesamaan dan perlawanan terhadap kapitalis Internasional. Sehingga Wakil dari Al-Jazair; Yazid membela Indonesia di sidang PBB.
Tapi kini, ketidaksadaran dan ketidaktahuan lebih menguasai. Kita tidak sadar bahwa nilai-nilai konferensi itu sudah hanya tinggal tulisan. Asas perlawanan kini menjadi pedoman yang jarang didengungkan. Dahulu kita melawan kapitalis, hari ini malah kita sendiri yang menjadi kapitalis. Hidup acapkali hanya bergantian menjustfikasi.
Asas kesamaanpun hanya sekedar wacana yang bahkan sulit ditampilkan wajah kita sendiri. Dahulu orang komunis bisa merokok bersama orang islam, akan tetapi saat ini sekedar mendengar komunispun bangsa kita sudah mengeluarkan taringnya.
Setara Institute menyebutkan bahwa Jawa Barat adalah provinsi paling intoleran di Indonesia. Bandung sebagai kota dengan sejarah Konferensi Asia Afrika yang berasaskan kesamaan malah masuk dalam lima besar kota paling intoleran di Jawa Barat. Selain dari data tersebut, kita juga bisa memulai meneliti rasa intoleran dalam diri kita.
Masihkah kita mau mendengar seminar orang yang berbeda pendapat dengan kita? masihkan kita mau shalat berjamaah dengan orang yang berbeda aliran beragama dengan kita? masihkan kita mau semeja dengan orang yang berbeda pilihan politiknya? atau masihkah kita mau terus belajar kepada orang yang berbeda?
Kita memang masih harus terus belajar, memahami nilai Konferensi Asia Afrika untuk Bandung yang nyaman, aman, tentram, silih asah juga silih asih. Baik menggunakan Gojek, Grab atau Ojek Tradisional. Baik memilih si A atau si B dalam Pilkada. Baik memeluk Ormas yang hijau atau biru. Baik memeluk Agama Islam atau Kristen. Atau lebih jauh untuk Indonesia yang lebih baik siapapun pilihan Presiden kita. Dan lebih jauh lagi, untuk dunia yang aman dengan kebahagiaan Rohingya, Palestina dan kita semua.
Tulisan ini Pernah dimuat di Buntu Literasi
Penulis: Tia Istianah