Antara Sujud, Pesujud, dan Masjid

140
Ilustrasi Pesujud Sujud di Masjid (Foto dari www.aksam.com.tr)
Ilustrasi Pesujud Sujud di Masjid (Foto dari www.aksam.com.tr)

Secara bahasa, tentu akan ditemui perbedaan dan hermeneutika makna yang jauh antara ‘sujud’, ‘sajid’ (pesujud), dan ‘masjid’. Namun meskipun saling berbeda, ketiga istilah tersebut memiliki kedekatan erat. Keluarnya istilah-istilah di atas dari rumus kaidah sharfiyah (yang semula dari akar sajada-yasjudu) berimbas pada hubungan antar makna dan kata, sebelum akhirnya menjadi hal yang disepakati bersama.

Sujud adalah sebuah aktivitas, ekspresi, atau tindakan menundukkan diri setunduk-tunduknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Aktivitas ini tentu tak lain dilakukan seseorang dalam rangka pengagungan terhadap Allah SWT. Sehingga, secara verbal, syariat sujud adalah meletakkan anggota badan tertentu di atas tanah sebagai simbol kerendahan diri, ketiadaan daya dan kuasa, serta kelemahan atas segala pengupayaan. Oleh itu, sujud kerap dibahasakan sebagai pusaran energi salat. Ia merupakan inti dari ekspresi penghambaan seorang muslim.

Baca Juga: Mendulang Suara Lewat Citra dan Algoritma

Sebuah aktivitas dapat dikatakan sebagai aktivitas jika di dalamnya terdapat pelaku yang melaksanakan aktivitas tersebut. Orang yang melakukan sujud (pesujud) ini lah yang dalam bahasa arab disebut dengan istilah ‘sajid’. Dengan kata lain, pesujud adalah orang atau sekelompok orang yang merendahkan diri, menundukkan diri di hadapan keagungan Allah SWT.

Sementara dua istilah lain yang erat kaitannya dengan kaidah sharfiyah dalam hal ini adalah istilah ‘sajadah’ dan ‘masjid’.  Sajadah merupakan alat tertentu dari selembaran kain yang penggunaannya tak lain digunakan sebagai sujud. Dan masjid sendiri sejauh ini telah tersepakati pengertian sederhananya adalah sebuah bangunan yang digunakan untuk bersujud. Dalam bahasa pesantren, sering terjumpai pemisalan-pemisalan epik dalam merangkai sekaligus menjelaskan kalimat sharfiyah, antara lain :

السَّاجِدُ يَسْجُدُ عَلَى السَّجَادَةِ فِي الْمَسْجِدِ

“Ada seorang pesujud yang bersujud di atas sajadah di dalam masjid”

Antara pesujud dan masjid jelas memiliki kedekatan prosedur, meskipun sah dan boleh seandainya pesujud bersujud tidak di dalam masjid. Karena dalam pengertian yang lebih khusus, masjid realitasnya tidak hanya digunakan sebagai tempat sujud. Sangat mungkin dipergunakan untuk aktivitas lain, seperti; membaca shalawat, rapat takmir, i’tikaf, dan lain sebagainya. Namun, sepanjang bagaimana pun masjid dipergunakan untuk hal-hal di luar sujud, keterkaitan antara masjid dan sujud tidak boleh hilang. Masjid dengan serangkaian keperluan penunaian aktivitas di dalamnya tetap harus diisi sesuai aktivitas fungsi dasarnya. Tetap harus digunakan untuk sujud, seberapa pun sedikit skala prioritasnya.

Masjid akan menjadi batal sebagai masjid ketika telah kehilangan fungsi utamanya. Sebaliknya, pesujud tidak harus bersujud di dalam masjid. Namun, akan batal pula nilai dirinya sebagai pesujud jika ia sama sekali tidak pernah bersujud di dalam masjid. Karena pada intinya, untuk apa lagi masjid dibangun jika tidak bertujuan sebagai tempat sujudnya para pesujud ? Maka dari itu, jika banyak masjid dibangun namun tidak ada pesujudnya, maka kongkrit kelalaian ada pada masyarakat muslimnya. Apa guna membangun masjid jika tak dijumpai aktivitas sujud di dalamnya?

Dari rangka berpikir sederhana ini, dalam lingkup prioritas perjuangan, akan wajar jika kemudian lahir pertanyaan krusial, seperti “lebih penting mana sejatinya antara membangun masjid yang bagus atau membangun umat yang gemar bersujud secara bagus?”, “Manakah yang lebih harus didahulukan antara keduanya?”. Karena pada konteks kasat matanya banyak masjid bagus dibangun di tengah masyarakat, namun implementasinya jarang yang mau bersujud di dalamnya. Kalau pun banyak yang berbondong-bondong sujud, problem berikutnya yang muncul adalah pada bagaimana kualitas sujudnya para pesujud tersebut. Sujud dalam lingkup aturan syara’ memang terbatas pada pengaturan pola gerakan ritual (di mana posisi beberapa anggota badan harus ditundukkan dan menempel di tanah, dll).

Sementara itu jika digali lebih dalam seputar sujud dalam skala kualitas, misal perihal bagaimana harusnya para pesujud bersujud, apa yang harus dipikirkan oleh pesujud ketika sujud, dll, maka akan beda lagi konteks masjid jika disesuaikan pada hakikat fungsinya. Sujud bagus di masjid yang sederhana itu lebih bagus dari masjid bagus yang tidak ada pesujudnya.

Di Indonesia ini, jumlah masjid, mushalla, langgar, dan sejenisnya kurang lebih terdapat sebanyak 800.000 bangunan (kutip data dari Kementrian Agama Republik Indonesia), hampir satu juta. Sementara populasi penduduk Indonesia yang muslim sejumlah kisaran 220 juta orang. Secara logika, memandang hal ini, jumlah masjid dibanding jumlah penduduk muslim di Indonesia jelas akan kurang jika seluruh masjid digunakan sesuai pada fungsinya dan atau seluruh penduduk muslim di Indonesia sadar tentang pentingnya mengimani hakikat sujudnya. Padahal yang harusnya mengisi masjid-masjid tersebut adalah penduduk muslim yang memiliki iman betapa butuhnya sujud kepada Allah SWT. Jika nyatanya masih banyak masjid yang kosong shofnya, maka tak salah jika kita bertanya pada diri sendiri “ke mana iman penduduk muslim yang sejumlah 220 juta tersebut  (termasuk kita) ? Jangan-jangan, mayoritas dari penduduk muslim kita belum sampai pada taraf “man amana billahi wal yaumil akhir?“. Wallahu a’lam.

Di antara indikasi orang beriman sesuai ayatulloh adalah gemar ke masjid. Setidaknya, kita tidak punya alasan untuk tidak menyebut seseorang itu orang alim (orang beriman), jika dalam sehari-harinya dia rajin ke masjid. Tapi sungguh beruntungnya kita (dalam hal ini mewakili masyarakat muslim yang turun naik semangatnya dalam urusan memakmurkan masjid), bahwa kualitas keimanan seorang muslim ternyata tidak hanya diukur dari kegemarannya ke masjid saja. Menengok dalil-dalil yang lain, masih banyak tolak ukur keberimanan yang lain selain seseorang harus memakmurkan masjid.

Minimal, ketika seorang muslim ingin membuktikan keimanannya kepada Allah SWT, ia harus bisa membuktikan dari sisi-sisi yang sesuai dengan indikator keimanan. Misal dalam beberapa potongan yang mengandung indikasi keimanan adalah : falyasil rohimah, falyukrim jaaroh, falyaqul khoiron au liyasmut, idza dzukirolloh wajilat quluubuhum, wa idza tuliyat ayatihi zaadathum imana, wa alaa robbihim yatawakkalun, dll. Semakin banyak indikator keimanan yang bisa dibuktikan seseorang, semakin sempurna pula keimanan orang tersebut.

Wallahu a’lam bis-shawab..

(Zm/Red_Mading)