Tujuan pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantoro, adalah agar anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Guru atau fasilitator mendapat amanat untuk merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. Walaupun bukan berujud sekolah formal dengan kurikulum resmi, namun pemikiran Ki Hajar bisa dirasakan mewujud di Pesantren Assalam di Gunung Geulis, Bogor. Para santri didorong membuat pilihan kreatif yang didasari pada aktivitas kesadaran diri sendiri.
Gambaran umum pesantren adalah sistem pendidikan dengan aturan yang ketat dan penuh disiplin. Hubungan pimpinan pondok dengan santri bersifat feodalistik. Namun tidak demikian yang terjadi di pesantren –yang para santri senang menyebutnya dengan Pesantren Gugel, akronim dari lokasi pesantren berada. Para santri memanggil pimpinan pondok dengan sebutan “Ayah” ketimbang Kyai, atau Guru. Mereka seperti tidak berjarak. Kang Aang, sebagai pimpinan, menempatkan dirinya sebagai ayah yang mengayomi.
Walaupun para santri datang dari keluarga prasejahtera, namun dari wajahnya, terlihat ada kegembiraan. Mereka pun dengan percaya diri berbicara dengan Bahasa Inggris, bahasa sehari-hari yang digunakan selama berada di lingkungan pondok.
Karena Bahasa Inggris menjadi bahasa percakapan sehari-hari warga pesantren. Tidak heran bila pesantren yang nama resminya Assalam tersebut dikenal masyarakat sekitar sebagai Pesantren Inggris. Kecuali Kang Aang, semua santri lancar berbahasa Inggris, termasuk seorang anak umur lima tahun yang begitu lahir di daerah Kramat, Jakarta dibawa dan dibesarkan di pesantren ini. Sering sekali mereka kedatangan Warga Negara Asing (WNA) untuk tinggal beberapa saat sambil berbagi ilmu, mengajar secara volunteer.
Selain bahasa Inggris, sebagian santri bisa berbahasa asing lainnya. Sesekali mereka kedatangan backpackers dari negara non-English speaking yang berbagi ilmu mengajar bahasa ibunya. Santri yang berminat, melanjutkan belajar bahasa secara online sekembalinya pengajar volunteers ke negara asalnya. Belajar bahasa asing terintegrasi pada filosofi pendidikan di sini. Bagi pesantren, bahasa adalah alat pembebasan, minimal, pembebasan dalam pergaulan internasional.
Walaupun, mungkin Kang Aang tidak pernah bersentuhan langsung dengan Maria Mentessori atau Paulo Freire, pionir pendidikan kaum tertindas, namun advokasi dan pendampingan pada santri-santri di Pesantren membuat anak-anak terbebaskan dari himpitan beban ekonomi dan relasi kekuasaan yang tidak adil. Anak-anak, santri-santri mendapatkan kemerdekaan di sini.
Kang Aang punya pengalaman lama di kerja-kerja pendampingan anak-anak jalanan. Jejaknya terentang dari Kediri, Pasar Senen, Klender, dan Puncak, sebelum mendirikan Assalam di Gunung Geulis, Gadog. Tiga perempat hidupnnya dihabiskan, meminjam judul novel Pramoedya Ananta Toer, bersama “mereka yang dilumpuhkan”: pelacur di bawah umur, pengamen, copet di stasiun, anak-anak jalanan.
Kurikulum atau sistem pendidikan di Pesantren Assalam menjadi seperti adonan pemikiran Ki Hajar Dewantoro, Tan Malaka, Paulo Freire, dan Montessori. Dari Tan Malaka, para santri didampingi untuk memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Jika Anda sempat berkunjung ke Assalam, Anda akan mendapat sambutan yang ramah dari santri. Sejak mulai dari pintu gerbang, santri akan dengan sigap membukakan pintu, menyambut, mengantar ke kamar penginapan, sampai menemani keliling kompleks pesantren. Sementara dari Montessori –dikenal dengan metode pendidikan yang didasari pada aktivitas kesadaran diri sendiri–para santri mendapat pembelajaran langsung dan permainan kolaboratif, didorong membuat pilihan kreatif dalam pembelajaran mereka.
Kang Aang sebagai pimpinan pondok, juga para mentor dan pembimbing, sadar sekali kalau para santri adalah putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri. Santri-santri ada di Pesantren, tapi bukankah miliknya. Ya, santri-santri di pesantren ini seperti anak-anak panah dalam puisi Kahlil Gibran, sementara pimpinan dan pembimbing, seperti busur,
Berikanlah mereka kasih sayangmu
namun jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri
Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
yang tidak dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau
Sang Pemanah tahu arah bidikannya
Engkaulah busur
Anak-anakmu adalah anak panah
yang akan melesat pergi
Senang sekali bisa berinterkasi dengan santri-santri Pesantren Inggris. Akhir pekan, kami, Jihadis Tata Bahasa: Pakde Ray, Om Hajime, dan saya, diajak Guru Anam mengunjungi Pesantren Gugel –yang katanya harus dikunjungi minimal sekali dalam hidup. Karena ada aturan tidak tertulis bahwa berkunjung akan lebih afdol dengan memberi yang kita bisa, maka, Pakde Ray mengajar seni peran atau tetar; Om Hajime yang Indo-Jepang-Dayak mengajar Bahasa Jepang, Mas Anam, yang biasanya mengampu Tata Bahasa Indonesia, kali ini mengajar TOEFL. Sementara saya sendiri mengajak latihan yoga.
Selain mengajar, sepertinya, kami malah yang banyak belajar dari kehidupan di Pesantren ini. Membuat akhir pekan yang menyenangkan.